Beberapa waktu belakangan ini, Anak
Beruang menjalani hidupnya sebagai beruang yang lebih besar. Ia sudah tidak
terlalu sering tersesat karena tahu ke mana saja harus pergi. Ia juga mulai terbiasa
menghitung waktu. Itu sebabnya, ia tak lagi mudah terdistraksi oleh warna dan
warni yang berusaha mencuri perhatiannya di sepanjang perjalanan.
Pada suatu hari, dalam suatu
perjalanan pulang, Anak Beruang menyadari, warna dan warni di sekitarnya berubah
pias. Beberapa bahkan menjelma menjadi hitam dan putih yang tebal-tipis. Kali itu Anak Beruang menghentikan langkahnya. Bukan karena tidak menghitung waktu, tetapi karena menyadari, ada yang
berubah dengan cara retinanya bekerja.
Anak Beruang memejamkan matanya
sejenak, kemudian membukanya lagi. Ternyata semarak warna dan warni di
sekitarnya tetap tidak menampakkan diri. Anak Beruang jadi mengerti, apa yang
selama ini membuatnya banyak kehilangan cerita.
pict La Petite Femme/pixabay |
Dengan gelisah Anak Beruang duduk di
tepi Anak Sungai. Ia menyentuh alir yang sejuk, yang dulu pernah dianggapnyaterlalu serius.
“Hai, Anak Beruang, sekarang kamu
sudah besar, ya,” sapa Anak Sungai.
Anak Beruang membalas sapaannya
dengan senyuman. Ia bercermin di permukaan Anak Sungai, “Sepertinya aku sakit
mata.”
“Bagaimana rasanya?” tanya Anak
Sungai.
Anak Beruang tidak menjawab. Ia baru
menyadari sungai di hadapannya pun tidak lagi secemerlang dulu.
Sekali lagi, Anak Beruang memejamkan
matanya. Menangkap desau Anak Angin yang datang dan pergi, tetapi tidak lagi mengajaknya
bermain. Mendengarkan gemericik Anak Sungai yang berpola dan teratur, sambil
bernyanyi dalam hati karena sudah memahami ritmenya. Menyimak cericau burung-burung
dengan pemahaman yang berbeda dengan dulu-dulu. Sepertinya, telinganya pun kini
menjadi sebentuk terowongan dengan jalan-jalan yang lain. Suara memasukinya
dengan alur dan pemetaan baru.
“Anak Beruang,” tiba-tiba suatu suara
yang entah datang dari mana memasuki telinga Anak Beruang, “sudah saatnya kamu
melihat shading dan gradasi. Dunia
bukan cuma warna dan warni, tetapi juga dimensi.”
Anak Beruang membuka matanya. Semua
suara yang baru saja menelusuri telinganya menjelma menjadi kesadaran. Ketika memperhatikan
segala sesuatu di sekitar, Anak Beruang mendapati aneka bentuk yang sebelumnya
tak pernah betul-betul ia tangkap dan menangkapnya. Ia tahu ia perlu belajar menakjubi dunia
dengan kacamata yang baru.
Ingatan Anak Beruang berkelana kepada
teman-teman yang pernah menjadi bagian dari ceritanya. Ulat Krauss Krauss, Anak Angin, Tanya, Anak Panah, Anak Singa, Kutu Apa Saja, Yang, Lebah, dan banyak lagi. Untuk
sementara, ia menyimpan mereka semua dalam sebuah gerbong terhormat di memorinya.
“Tak perlu mengkhawatirkan kacamata
yang berubah. Apa yang sudah kau alami dan mengerti tak akan pernah hilang,” kata Anak
Beruang kepada dirinya sendiri.
pict La Petite Femme/Pixabay |
Setelah berpamitan kepada Anak
Sungai, Anak Beruang menempuh perjalanan pulang.
Diam-diam hatinya mulai menimbang.
Masihkah ia seekor Anak Beruang?
La Petite Femme/Pixabay |
CS Writers Club, 14 November 2019
Di CS Writersclub edisi "Belum Makan Kalau Belum Makan Nasi", Dea kebagian tema NASI-hat. Setelah sekian lama nggak nulis Anak Beruang, kali ini dia muncul kembali.
Karakter Anak Beruang ini cukup personal buat Dea. Buat Dea, dia nganter Dea bertumbuh dan ngeliat idup. Tulisan ini adalah bagian dari sebuah fase baru yang mungkin masih harus belajar dipahami.
Komentar