Irisan

Ketika sedang berjalan kaki tanpa tujuan, tak sengaja Anak Beruang bertabrakan dengan angin.

look up

“Maaf,” ucap Anak Beruang seraya menghentikan langkahnya.
“Tidak apa-apa, kok, tidak ada yang salah dengan bertabrakan” tiup angin, ringan dan sejuk seperti biasa. “Kamu mau ke mana?”
“Aku mau ke …” Anak Beruang mencoba menggambar peta di kepalanya, namun hasilnya hanya kelapangan tanpa penunjuk arah. Akhirnya ia mengangkat bahu.
“Kalau aku, aku mau ke sana,” sahut angin yakin tanpa menunjuk satu arah pun.
“Sana mana?”
“Ya … sana. Sebuah tempat yang tidak sedekat sini. Kamu juga kan?”
“Tapi kita tadi berlawanan arah …”
“Tetap saja, Anak Beruang. Kamu mau ke sana dan aku mau ke sana. Kita bisa sama-sama pergi ke sana meskipun tidak berjalan searah …”
Anak Beruang mengerti-tak mengerti.
“Ayo …” ajak angin.


Angin menyentuh kening Anak Beruang, kemudian kembali bertiup laju. Anak Beruang berjalan menentangnya. Ternyata angin benar. Tak ada yang salah dengan saling bertabrakan. Semakin kuat Anak Beruang mendorong angin, semakin kuat pula kesejukannya terasa ada. Anak Beruang membantu angin mendayung udara, dan angin menjadi kuat karena melawan dorongan Anak Beruang. Hembus angin pun membantu Anak Beruang menanggung lelah. Desaunya yang seperti suara laut membuat Anak Beruang merasa lepas.

Sebagian diri angin terbang memintas Anak Beruang, dan sebagian lagi menyusup masuk ke dalam kepalanya. Menjadi bunga. Menjadi rumput. Menjadi segala yang hidup dan tumbuh di kelapangan tanpa penunjuk arah yang membentang di kepala Anak Beruang. Anak Beruang menangkap dan memeliharanya. Ia tidak lagi berusaha menggambar peta, melainkan membiarkan dirinya tersesat di padang penuh bunga di dalam kepalanya. 

x-default

Anak Beruang dan angin menikmati kebersamaan mereka. Sengaja mereka mencari arah-arah yang berlawanan, membiarkan diri saling berbentur agar dapat saling merasa selekat-lekatnya. Mereka tertawa-tawa, bernyanyi-nyanyi, dan bersenang-senang. Meski bergerak berlawanan arah, entah bagaimana mereka dapat tetap terus bersama-sama.

Hingga pada akhirnya petang datang. Kedua anak itu kelelahan, kemudian duduk-duduk di bawah pohon dengan buah cokelat aneka rupa. Namanya buah hagia. Angin meniup ranting-ranting pohon hingga beberapa butir buah hagia berisi ceri dan biskuit jatuh. Anak Beruang menangkapnya.

“Aku senang,” kata Anak Beruang sambil menggigit buah hagia yang renyah karena biskuitnya.
“Aku juga,” sahut angin sambil menyibakkan bulu-bulu di wajah Anak Beruang. “Oh, iya. Kita sudah sampai.”
“Di sana?”
“Bukan. Di sini,” sahut angin sambil bertiup melingkari Anak Beruang dan pohon buah hagia.
Anak Beruang terdiam. Kali ini ia tak lagi menentang angin. Tanpa perlawanan, ia biarkan angin menyentuhnya. Angin pun tak lagi berusaha mendorong Anak Beruang seperti sedang mendayung. Desaunya tak lagi seperti suara laut, lebih seperti desir yang mengalir di darah Anak beruang. Dekat sekali. Anak Beruang segera mengerti mengapa mereka sampai di sini, bukan di sana.

“Setelah sampai di sini kita akan ke mana?” tanya Anak Beruang sambil mengunyah buah hagianya yang tinggal sebutir. Ceri dan cokelat yang manis lebur di lidah beruang kecil itu.
“Kalau aku, aku akan pergi ke situ.”
“Aku? Kita.”
“Aku,” tegas angin. “Kali ini kamu pulang, Anak Beruang.”

Anak Beruang menelan buah hagia terakhirnya. Perutnya masih lapar meski sudah makan beberapa butir buah hagia. Ia teringat pada masakan Ibu Beruang yang hangat dan segelas cokelat panas. Pasti lezat sekali. Ketika Anak Beruang memejamkan matanya, kelapangan di kepalanya tahu-tahu membentuk jalan setapak menuju rumah. Kali itu Anak Beruang tahu tujuannya, sementara angin yang tak berrumah mungkin akan selalu mengembara ke sana, ke situ, juga ke sini.

Angin tidak berpamitan lagi. Ia bertolak memintas pohon buah hagia, bergerisik di antara daun-daunnya yang serenyah wafer, kemudian melanjutkan kembaranya menuju ke situ. Anak Beruang tersenyum. Di dalam hati, ia mendoakan keselamatan dan kebahagian angin.

Anak Beruang membalikan tubuhnya. Kaki-kakinya berjalan mengikuti peta di dalam kepalanya. Ketika ia semakin dekat dengan rumah, harum cokelat panas dan biskuit madu menyongsong kepulangannya. Anak Beruang berjalan lebih cepat. Ia ingin segera sampai di rumah yang selalu memeluknya erat-erat.

Di kelapangan kepala Anak Beruang, bunga-bunga dan rumput-rumput yang dititipkan angin selamanya tumbuh di sisi-sisi jalan setapak. Mereka selalu mengiringi perjalanan pulang Anak Beruang. 

… meski angin sendiri selalu menempuh arah yang berlawanan

jalan pulang
gambar diambil dari sini

.

Sundea

Komentar

BeluBelloBelle mengatakan…
Gluk gluk gluk sambil minum susu beruang liat-liat ditemenin angin yang suir-suir di suatu malem hahaha kocak.
Terima kasih yaa Dea selalu tuang cerita-cerita lucunya ^_^