Kisah Seekor Kutu

Ini adalah kisah seekor kutu. Anak Beruang bertemu dengannya ketika ia sedang melompat-lompat sendirian memasuki hutan. Karena ia begitu kecil, Anak Beruang tak dapat melihat ekspresi wajahnya. Tetapi dari caranya melompat, Anak Beruang tahu ia kutu yang bahagia.

“Kamu mau ke mana?” tanya Anak Beruang pada kutu itu.
“Belum tahu. Mungkin aku akan mencari monyet.”
“Lalu sebetulnya kamu datang dari mana?”
“Aku datang dari kota. Berangkat ke sini menumpang kutu raksasa.”
“Kutu raksasa?”
“Iya. Kutu besar berisi pasir yang disebut ‘Kutunggu Jandamu’. Tadi ia meneruskan perjalanannya ke kota lain. Aku turun di sini.”




Sambil mengaso, kutu menceritakan pengalamannya berpindah-pindah. Dari satu anjing ke anjing lainnya. Dari setumpuk beras ke tumpukan beras lainnya. Dari satu kasur ke kasur lainnya. “Sebetulnya kutu beras, kutu kasur, dan kutu anjing itu berbeda. Tapi aku bisa menjadi kutu apa saja,” kata si kutu. Terakhir, sebelum sampai di hutan, ia tinggal di kepala manusia dan bersahabat dengan seekor kutu rambut. Berikut ini adalah kisah persahabatan mereka:

“Hai, aku kutu,” sapa kutu apa saja ketika baru tiba di kepala manusia.
“Kutu apa? Kamu harus kutu sesuatu. Misalnya aku. Aku kutu rambut,” kata si kutu rambut.
“Aku kutu apa saja. Percayalah. Kita tidak harus selalu menyandang label yang spesifik.”

Sejak saat itu kutu dan kutu rambut berteman baik. Mereka saling menyayangi. Setelah melompat-lompat menjelajahi kepala, kutu sering bercerita kepada kutu rambut. Sementara kutu rambut yang tahu lebih banyak mengenai rambut dan kepala biasanya memperingatkan kutu jika ada sesuatu yang berbahaya.

Pada suatu hari, terjadi bencana serit di kepala manusia. Serit adalah semacam sisir yang digunakan untuk menggusah kutu. Ketika serit menyapu, sebagian besar kutu tanggal dari kepala. Sebagian kecil selamat, termasuk kutu dan kutu rambut, sahabatnya.


“Apakah yang seperti ini sering terjadi, kutu rambut?” tanya kutu yang baru pertama kali itu melihat serit.
“Iya. Sebetulnya tinggal di sini sudah tidak sehat. Inang kita sering menyisir kepalanya dengan serit. Aku ingin pergi dari sini,” kata kutu rambut.
“Kalau begitu ayo kita melompat dari sini.”
“Bagaimana caranya?”
“Ya melompat saja, jangan ragu. Kita kan kutu dan kutu selalu tahu caranya melompat.”
Kutu rambut terdiam.
“Kamu betul-betul yakin mau pergi dari sini?” tanya kutu pada kutu rambut.
“Iya. Aku sudah bilang di sini tidak sehat.”
“Kalau begitu jangan khawatir. Kita akan melompat bersama-sama. Aku akan menangkapmu kalau kamu sampai jatuh.”

Beberapa saat kemudian, bencana serit datang lagi. Kutu segera mencari sahabatnya. Kutu rambut ada di tempat yang cukup aman dari jangkauan gerigi serit saat itu. Tapi kutu berhasil menemukannya.

“Kutu rambut, kutu rambut, ayo kita melompat sekarang …”
“Sekarang?”
“Iya. Sekarang ini kamu bisa saja selamat dari serit. Tapi bencana serit ini akan datang-datang lagi.”
Kutu rambut tidak menjawab.

Gigi-gigi serit menyapu kepala, semakin dekat dengan kutu. Kutu jadi ragu. Antara melompat sendiri atau menarik sahabatnya ikut bersamanya. Tetapi ketika ia menoleh pada kutu rambut, tampak kutu rambut tak bergeming. Kejadiannya begitu cepat. Tiba-tiba saja serit menghantam kutu sehingga ia tanggal bersama kutu-kutu lainnya. Kutu kehilangan keseimbangan. Bersama kutu-kutu lain yang jatuh ke lantai dan masih dapat bertahan hidup, ia beringsut-ingsut menyelamatkan diri. Ternyata melompat dengan ragu memang membuatnya tidak jatuh dengan benar dan terluka sedikit. Tapi jangan khawatir, hanya sedikit …

Kini kita kembali ke hutan. Kutu sudah bertualang lagi, tiba di sana, dan baru saja menceritakan pengalamannya pada Anak Beruang.

kisahkutu3

“Kamu marah pada inangmu, serit, dan kutu rambut?” tanya Anak Beruang.
“Oh, tidak, kok. Kutu memang mengganggu untuk inang. Serit hanya melaksanakan tugasnya. Dan kutu rambut … mungkin memang seharusnya tinggal di antara rambut.”
“Tapi katanya di sana tidak sehat,” kata Anak Beruang lagi.
“Sahabatku punya takaran sehat tak sehatnya sendiri. Aku tak ingin menilai dan menghakimi. Yang pasti, aku tak akan mengajaknya melompat lagi kecuali jika ia memutuskan untuk melompat sendiri.”
“Jadi kamu akan membiarkannya tetap di sana?”
“Iya. Aku kutu, dia kutu rambut. Meski hanya beda satu kata, itu esensial.”

Kutu bersiap-siap melompat-lompat lagi. Mungkin ia akan mencari monyet. “Jika tidak ketemu, aku mungkin akan mencari buku dan bergabung dengan kutu-kutu buku. Apakah di hutan ada buku?” tanya kutu.
Anak Beruang mengangkat bahu sambil tersenyum.
“Sudah, ya, aku pergi sekarang. Perjalananku masih panjang. Lompatanku kan tak sampai setengah langkahmu,” pamit kutu pada Anak Beruang.
“Baiklah. Hati-hati di jalan dan sampai jumpa, ya …”

Karena kutu sangat kecil, hutan cepat sekali menelannya. Anak Beruang takut ia akan terinjak di tengah jalan.

Tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan dari hidup seekor kutu. Selama masih dapat melompat-lompat, ia tahu menjaga diri dengan caranya sendiri.

Sundea

Komentar