Yang

Biasanya teman-teman Anak Beruang tak mempunyai nama, kecuali ini. Yang. Tak ada yang tahu persis makhluk apa dia sebetulnya. Ia bukan manusia, bukan tumbuhan, bukan pula binatang. Tubuhnya terbuat dari lempung. Di punggungnya tumbuh sayap besar – seperti sayap malaikat - yang terbuat dari bunga-bunga. Ketika ia terbang, harumnya merebak ke mana-mana, membuat nyaman perasaan siapapun yang menghirupnya.

Suara Yang serupa suara seruling yang dibawa angin. Matanya mirip mata anjing dan anak-anak; tulus, penuh harap, sekaligus bercahaya. Yang adalah kelembutan dan kasih sa(yang). Dalam keseimbangan Yin dan Yang, ia adalah sisi terang. Dan di dalam bahasa Indonesia, “yang” adalah kata hubung pemberi penjelasan. 


resizedanakberuang




Anak Beruang sangat menyayangi Yang. Yang adalah perwujudan semesta yang pengasih. Ia adalah kebebasan sekaligus tempat perlindungan, ketenangan sekaligus dinamika. Bermain dengannya membuat Anak Beruang merasa menjadi beruang yang tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu besar.

Anak Beruang selalu tahu kapan Yang akan datang. Ia dapat mencium harum kibasan sayapnya dari jauh. Sore itu misalnya. Di antara bau kue yang baru selesai dipanggang Ibu Beruang, semilir tercium harum bunga-bunga. Maka Anak Beruang berlari-lari keluar rumah.

“Anak Beruang, sudah sore. Jangan main jauh-jauh,” panggil Ibu Beruang.
Anak Beruang pura-pura tidak mendengar. Ia mengikuti penciumannya, mencari Yang.
“Yaaaang … Yaaang … kamu di mana?” panggil Anak Beruang sambil terus berlari-lari.
“Di sini, Anak Beruang,” panggil Yang yang ternyata tengah bertengger di dahan pohon besar sambil makan apel.
“Hai,” Anak Beruang melambaikan tangannya.
Yang pun melayang turun. Anggun seperti bulu meski tubuhnya tidak terlalu kecil.
“Kamu habis dari mana saja?” tanya Anak Beruang.
“Dari mana-mana. Banyak sekali. Aku sampai tidak ingat,” sahut Yang.
“Bawa oleh-oleh, tidak?” tanya Anak Beruang.
“Hmmm… bawa tidak, ya?” Yang mengingat-ingat. “Oh, iya, bawa. Perjalanan membuat bunga-bunga di punggungku jadi semakin banyak. Beberapa yang waktu itu kuncup juga sudah mekar,” kata Yang seraya menunjukkan sayapnya yang warna-warni seperti taman.
“Woooow,” mata Anak Beruang berbinar takjub.
“Kamu boleh memetik bunga mana pun yang kamu mau. Itu oleh-olehku,” kata Yang.
“Aku mau memetik beberapa buat Ibu. Yang mana ya?” Anak Beruang memilih-milih.
Yang itu kan namaku,” kata Yang.
Kemudian keduanya tertawa lepas. Apa yang dikatakan Yang sebetulnya tidak lucu. Mereka tertawa karena memang ingin tertawa saja.

Anak Beruang memetik beberapa kuntum bunga kemudian menggenggamnya erat-erat. Selanjutnya, ia dan Yang terbang-terbang ke mana-mana. Anak Beruang tidak bisa terbang. Tetapi ia jadi dapat terbang ketika Yang mendekapnya dengan sayapnya. Bersama-sama mereka melihat hutan dari tempat tinggi dan menjajari burung-burung. Jika butuh air untuk bunga-bunga yang tumbuh menjadi sayapnya, Yang tak pernah menunggu hujan. Ia langsung terbang ke awan dan menjemput sendiri air yang dibutuhkannya. Sore itu, Anak Beruang diajak bermain ke awan juga. Sementara Yang mencelup-celupkan sayapnya, Anak Beruang duduk-duduk di atas awan yang dingin dan empuk. Anak Beruang memperhatikan sahabat yang sangat disayanginya itu. Ia tak tahu dari mana Yang berasal dan ada berapa makhluk seperti Yang di dunia ini. Tapi ia tak mau bertanya. Beberapa hal lebih menyenangkan menjadi misteri yang selamanya ditebak-tebak saja.

Ketika matahari sudah runduk sekali, Anak Beruang tertidur di atas awan. Jika sudah malam, awan yang dingin pada siang hari justru berubah hangat seperti selimut. Yang melirik sahabatnya yang kelelahan, kemudian hati-hati merengkuhnya, mengantarnya pulang ke rumah.

Ibu Beruang sudah menunggu di rumah sambil bertolak pinggang. Begitu melihat Anak Beruang diantar pulang dalam keadaan tertidur, ia bingung harus cemas atau lega. Apa lagi yang mengantarnya makhluk yang entah apa. Bukan manusia, bukan tumbuhan, bukan pula binatang.

“Dia tidak apa-apa?” tanya Ibu Beruang.
“Dia baik-baik saja,” sahut Yang sambil menyerahkan Anak Beruang ke dekapan Ibu Beruang.

Ibu Beruang ingin bertanya lebih banyak, tapi harum bunga-bunga dari sayap Yang menentramkannya, membuatnya merasa tak perlu khawatir terhadap apapun. Cukup bersyukur saja karena Anak Beruang kembali dengan selamat. “Terima kasih,” kata Ibu Beruang pada Yang. Ia bahkan lupa menanyakan siapa Yang.
“Aku pergi lagi, ya, Bu, terima kasih karena Anak Beruang sudah boleh main denganku sesorean ini,” pamit Yang dengan santun seraya bersiap terbang lagi.
Boleh? Kata siapa? Batin Ibu Beruang.

Anak Beruang mengerjap. Ketika melihat moncong Ibunya sudah begitu dekat, mendadak kesadarannya menjadi penuh.

“Eh … Ibu,” sapanya. Ia segera teringat pada bunga-bunga yang ia genggam erat-erat dari tadi. “Ini, Bu, jangan marah, ya …”
Ibu Beruang tak bisa berkata apa-apa.
“Hei, dari mana saja kamu, Nak?” Ayah Beruang muncul dari pintu.
“Aku … “
“Ya sudah. Ayo masuk dulu,” ajak Ayah Beruang.

Ibu Beruang menurunkan Anak Beruang dari gendongannya. Anak Beruang melompat-lompat masuk, kemudian langsung duduk di kursi meja makan. Ketika Ibu Beruang memanaskan sup untuk Anak Beruang, Ayah Beruang duduk di hadapan Anak Beruang.

“Jadi dari mana tadi kamu?” tanya Ayah Beruang.
“Dari ... dari mana-mana. Banyak sekali. Tapi aku senang dan aku baik-baik saja, Ayah.”

Ayah Beruang tersenyum sambil mengusap-usap kepala Anak Beruang. Ia memutuskan untuk tidak usah bertanya lagi.

Aroma sup yang baru dipanaskan Ibu Beruang merebak di udara. Masih ada harum sayap Yang menyisip. Anak Beruang mengendus mencari-cari.

“Ibu suka bunganya, Anak Beruang. Tapi bukan berarti lain kali kamu boleh main keluar lagi sore sampai malam seperti ini,” kata Ibu Beruang. Rupanya ia sudah menata bunga-bunga itu di dalam vas. Memberinya air agar bunga-bunga itu menjadi lebih segar.

“Oke,” sahut Anak Beruang ringan. Tapi nggak janji … hihihihi …batin Anak Beruang.

Anak Beruang tak tahu kapan Yang akan datang lagi dan ke mana saat itu Yang pergi. Tetapi ia percaya, di semesta ini, segalanya selalu terhubung dengan cara yang tak pernah terduga. 

Pun menjadi bentuk yang tak pernah terduga. 

Sundea

Artork by Rukmunal Hakim. Seorang laki-laki gundul dan brewokan. Meski secara fisik serupa Syekh Puji, hatinya selembut Kak Seto. Hakim adalah ilustrator lepas selepas-lepasnya .Gambar-gambar Hakim umumnya hitam dan putih dan mempunyai detail yang kuat sekali. Tidak percaya? Mampir ke http://www.behance.net/RukmunalHakim atau rukmunalhakim.tumblr.com

Komentar