Bandung, Senin 24 November 2025
BRAKKKK!
Begitu dibuka, pintu besi kami nabrak sesuatu. Dea kaget setengah mati. Sebentar kemudian, tetangga yang mobilnya ketabrak pintu, ngebuka jendela mobilnya. Tanpa dikomando, Dea dan Ci Tetangga bertatap-tatapan sambil serempak ngelontarin pertanyaan.
“Nggak kena muka?” “Mobilnya nggak apa-apa?”
Hening sejenak. Akhirnya Si Cici bilang, “Mobil ini diasuransi, kok. Saya justru takutnya kamu kenapa-kenapa. Pintunya nggak kena muka?”
Dea ngegeleng, “Nggak, kok, nggak apa-apa aku justru khawatir mobilnya rusak karena pintu aku,” saut Dea sambil meriksa mobil Si Cici yang ternyata baik-baik aja. Kayaknya, sih, pintu besi kami nabrak spion dia sampai spionnya ketutup, tapi justru karena itulah mobil dia aman.
Setelah sama-sama minta maaf dan yakin nggak ada yang kenapa-kenapa, Si Cici pamit. Dea juga lanjut ngebukain gerbang karena Ikanpaus harus ngajar pagi-pagi hari itu. Dea masih ngantuk. Pagi-pagi udah kaget juga bukan perasaan yang enak. Tapi kepala Dea cukup jernih untuk ngeliat pengalaman ini sebagai hal baik yang akan Dea catet di buku harian.
Meskipun nggak selalu sempet nulis panjang, setiap pagi Dea usahain nulis hal-hal yang bisa Dea syukuri. Nggak selalu peristiwa besar. Tidur nyenyak, jemuran kering, sampai kopi yang panasnya pas adalah hal-hal yang bisa Dea catet di situ. Kebaikan orang—sekecil apapun—juga berusaha Dea inget dan tulis supaya Dea terlatih nggak taken for granted sama orang.
Apa yang Dea alamin pagi itu langsung Dea catet di buku harian. Dea sadar, meskipun sederhana, gestur spontan kami ke satu sama lain nunjukin bahwa manusia nggak selalu egois. Di momen kaget yang rentan mancing respons nggak enak, di situasi tiba-tiba yang pasti nggak nyaman buat kami berdua, hal pertama yang kami lakuin adalah berenti untuk mastiin orang di hadapan kami baik-baik aja. Ketika nyatet itu dengan detail di buku harian, Dea senyum sendiri. Sungguh peristiwa yang berharga untuk memulai hari, bahkan memulai pekan.
Buat Dea, akhir-akhir ini idup seperti berjalan cepet sekaligus lambat. Semua yang Dea kerjain seakan cepet banget ngabisin waktu, tapi lambat nunjukin progres. Dea bulak-balik meriksa, jangan-jangan ada yang salah sama cara Dea. Dea mulai sering ngebandingin diri Dea sama orang lain, padahal Dea tau itu harusnya nggak perlu.
Apa yang Dea rasain bikin Dea sering ngeliat terlalu jauh, tapi lupa sama apa yang sedang Dea pijak at the moment. Akibatnya Dea nggak cukup awas berjalan, gampang “kesandung”, dan kurang apresiatif sama hal-hal yang ada di hadapan Dea. Padahal Dea tau sejak kecil Dea sering punya ritme dan ukuran-ukuran sendiri untuk ngejalanin idup dengan segala karunianya.
Lewat shock therapy Senin pagi, Dea kayak diingetin untuk kembali ke pola yang selama ini familier buat Dea. Jalanin idup sebaik mungkin hari lepas hari. Koreksi langkah secara proporsional dan adil. Kasih indera kesempatan merasa dan mengenali karena roh kita nggak akan selamanya punya tubuh. Cermati peristiwa besar dan kecil yang terjadi. Pelihara intensi baik serapet mungkin. Simak cerita-cerita yang menghampiri kita dengan berbagai cara. Takjubi apa aja seperti anak-anak ngeliat dunia sebab berapapun usia kita, selalu ada hal yang baru pertama kali kita alami setiap hari. Iya, setiap hari.
Dea belajar, progres bukan sesuatu yang selalu bisa diliat dan ada simbolnya. Kadang dia bertumbuh diam-diam dalam cara kita menilai, menjadi syukur atas hal-hal yang dulu luput kita liat, hadir tipis-tipis di cara kita ngerespons, dan ngolah pengalaman-pengalaman jadi pemahaman yang seharusnya bikin kita lebih bijaksana sekaligus rendah hati.
Nggak ada tema pembundel apa-apa di www.salamatahari.com dwimingguan yang sekarang. Kali ini Dea mutusin untuk nulis satu artikel aja karena kadang-kadang satu bisa lebih penuh daripada empat.
Selamat Hari Keseimbangan, Teman-teman
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Komentar