Namanya Raissa, seorang psikolog yang juga menulis buku anak-anak (yang tak hanya untuk anak-anak) bertajuk “Angan-angan Beringin”. Di edisi “Takut Ketinggian”, aku bertanya perihal akrofobia pada Raissa. Ternyata, tak semua kondisi takut ketinggian bisa disebut fobia. Jadi seperti apa takut ketinggian dari kacamata psikologi? Mari kita simak obrolan bergizi dengan Raissa.
Hai, Raissa, sebelumnya, coba perkenalkan diri dulu.
Halo, saya Raissa Hadiman, M. Psi., Psikolog. Biasanya saya dipanggil Raissa. Saya berprofesi sebagai psikolog anak dan remaja, tapi saya juga ambil beberapa course untuk handle klien dewasa awal, tapi sekarang lagi lebih sibuk jadi ibu dan istri hehe.
Makanya nerbitin buku anak-anak yang inspirasinya antara lain suami, ya, ahahaha. Cerita sedikit, dong, tentang bukunya Raissa.
Ini picture book tentang self acceptance. Cocoknya buat anak usia 5 tahun ke atas, tapi banyak orang dewasa yang juga justru merasakan makna dari cerita ini hehe. Judulnya “Angan-Angan Beringin”. Singkatnya, ini cerita tentang beringin yang iri dan ingin bisa seperti teman-teman binatangnya.
![]() |
foto: Tokped Folxtale |
Bicara soal beringin, artinya bicara juga soal sesuatu yang tinggi (masoook). Berhubung zine-zine-an edisi ini temanya “Takut Ketinggian”, apa, sih, fobia ketinggian dari kacamata psikologi?
Pertama-tama, dikatakan fobia itu kalau ketakutannya benar-benar “nggak wajar”, sangat intens, dan sampai menimbulkan gejala fisik (sesak nafas, detak jantung meningkat tajam, keringat dingin, dll). Jadi gak semua ketakutan itu fobia ya. Nah, akrofobia atau ketakutan pada ketinggian secara sederhana artinya adalah kondisi dimana seseorang ngerasain ketakutan yang nggak rasional dan sangat intens pada tempat yang tinggi.
Oh, okay. Jadi nggak rasional sampai disebut fobia itu kalau sejauh apa?
Biasanya penyintas nggak bisa menjelaskan “kenapa takut”. Sekalipun sudah dipasangi pengaman ekstra dll, rasa takut yang intens tetap ada dan susah dijelaskan.
Kira-kira apa yang menyebabkan seseorang sampai fobia ketinggian?
Yang paling sering, sih, trauma (karena punya pengalaman yang sangat emosional tentang ketinggian/di tempat tinggi), misalnya pernah hampir jatuh saat naik pesawat. Berikutnya bisa juga penyebabnya karena proses belajar/hasil observasi, contohnya pernah melihat seseorang jatuh dari ketinggian dan berakibat fatal. Emosi takut/cemas ini juga bisa diturunkan secara genetik. Jadi, orang tua yang punya ketakutan intens terhadap sesuatu, berisiko menurunkan ketakutan ini pada anaknya, walaupun bentuk/obyek ketakutannya nggak selalu sama. Kalau pada anak-anak, fobia ketinggian juga bisa disebabkan karena sensory vestibular yang belum matang.
Apa itu sensory vestibular?
Sensory vestibular ini adalah indera yang merasakan keseimbangan dan pada tempat tinggi seringkali rasa “seimbang” ini menurun, akhirnya memunculkan ketakutan. Respons orang dewasa yang kurang tepat bisa bikin ketakutan akan ketidakseimbangan di tempat tinggi ini justru semakin parah dan bisa jadi kejadian traumatis buat anak, contohnya kalau anak dipaksa untuk berani lompat dari tempat tinggi padahal anak belum siap.
Pernah punya klien akrofobia dan menyembuhkan akrofobia ini, nggak, Sa?
Kalau untuk klien yang dateng dengan keluhan spesifik akrofobia, sih, belum pernah hehe, karena biasanya klien-klien fobia ketinggian sudah mengatasi fobianya dengan menghindari ketinggian. Jadi kebanyakan orang merasa problem solved :D
Kalau takut ketinggian alias takut punya ekspektasi tinggi ada istilahnya, nggak, di psikologi? Hehehe.
Kalau istilah, sependek yang kutahu kayanya nggak ada hehe. Tapi kalau fenomenanya, ya banyak. Banyak orang yang takut punya harapan terlalu tinggi karena sering kecewa. Sebenernya bukan harapannya yang mereka takutkan, tapi perasaan kecewa setelah nggak berhasil, itu yang mereka hindari.
Apa yang bikin kekecewaan segitu menakutkannya buat seseorang?
Hal ini berhubungan sama kemampuan regulasi emosi dan self defense, sih. Ketika seseorang kesulitan meregulasi emosinya, terutama pada saat kecewa atau sedih, pada akhirnya diri kita berusaha untuk “pulih” dan melindungi ego dengan menghindari situasi yang berisiko bikin kecewa/sedih. Nah, mungkin ini garis besar gambaran beberapa orang mengalami takut punya harapan terlalu tinggi ya. Tapi ini nggak selamanya, kok, mindset orang bisa berubah hehe.
Balik lagi ke buku kamu, dong, kelapangan self acceptance terhadap apa pun, termasuk kelemahan dan ketidakberhasilan, bisa mengurangi banyak kekecewaan juga, ya ehehehe. Nah. Buku kamu yang lucu itu bisa dicari di mana, nih?
Gampangnya sih bisa dibeli di e-commerce atau langsung kontak ke penerbit @folxtale hehe.
Terakhir. Punya pesan apa untuk pembaca www.salamatahari.com?
Semangat berproses untuk setiap fase dalam kehidupan
Hasek! Terima kasih…
![]() |
Foto: Tokped Folxtale |
Takutkah kamu pada ketinggian, baik ketinggian fisik maupun ketinggian mimpi? Atau kamu justru seseorang yang selalu berusaha punya angan-angan setinggi beringin, bahkan lebih tinggi lagi? Lantas, sejauh apa kita harus mendaki dan sampai di mana perlu menerima dan berhenti?
Komentar