Pekan lalu, dua kali aku datang ke TokoBuku Pelagia, menghadiri presentasi asuhan Sylvie Tanaga, penulis dan peneliti yang aktif mengangkat tema-tema sosial-politik. Kedua presentasi Sylvie yang kuhadiri memiliki benang merah: Sejarah dan diskriminasi terhadap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa -Indonesia yang masih sering dipandang asing.
Berhubung www.salamatahari.com edisi ini mengangkat tema “Asing”, sepertinya seru menyimak sudut pandang Sylvie yang kaya akan data dan informasi.
Hai, Syl, sekarang ini kegiatan sehari-hari kamu apa aja?
Kegiatanku sebetulnya bisa dibilang random sekali ya, hahahahaha. Tapi kalau dikerucutkan, kegiatan paling utamaku saat ini adalah membaca dan menulis dalam berbagai bentuknya. Ada yang kulakukan dalam konteks kerja proyek untuk mencari nafkah, ada yang betul-betul murni karena passion misalnya menulis artikel atau esai, juga review berbagai buku yang biasanya kutayangkan di akun Instagramku.
Katanya kamu baru nerbitin buku kan ya?
Iya, betul. Aku baru meluncurkan buku non-fiksi berjudul “Blueprint” yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Februari 2025 kemarin. Sebetulnya, ide awal buku ini bukan berasal dariku tapi dari sejumlah mantan engineer Indonesia yang pernah bekerja di suatu perusahaan global. Mereka sedikit-banyak gelisah melihat kondisi dunia kerja di Indonesia dewasa ini yang cenderung makin menihilkan meritokrasi dan keselamatan kerja.
Akhirnya bukunya tentang apa?
Lewat perbincangan lebih intens, aku malah banyak menemukan poin lainnya yang justru makin terasa relate dengan dunia hari ini. Misalnya persoalan diskriminasi negara terhadap Tionghoa yang akhirnya mendamparkan talenta potensial pada perusahaan swasta semata, diskriminasi gender yang terang-terangan dialami engineer perempuan, diskriminasi yang dialami para pekerja dari negara-negara Selatan (Global South), serta peliknya relasi antara perusahaan transnasional dan perusahaan nasional – terlebih dalam bidang energi yang belakangan ini jadi sorotan utama dunia seiring kian parahnya krisis iklim.
Wah, nulisnya rumit nggak kalau poinnya banyak?
Semua kelindan rumit antar isu ini kusajikan dalam bentuk narasi storytelling yang berangkat dari cerita pengalaman dan pergumulan pribadi 20 engineer Indonesia dengan harapan lebih mudah dicerna para pembaca muda. Dengan begitu, buku ini juga bisa disimak secara santai dengan berbagai spektrum pemaknaan sesuai kondisi para pembaca sendiri. Jika ada yang menganggapnya sekadar buku motivasional pun tentu nggak masalah.
I see. Kalau based on pengalaman personal memang jadi lebih cair, ya. Sekarang kita balik lagi ke tema www.salamatahari.com edisi ini. “Asing”. Kalau dengar kata “asing”, apa yang kepikiran sama kamu?
Dalam keseharian, “asing” kumaknai sebagai sesuatu yang berbeda dariku, yang lain dariku, yang terasa tidak familiar buatku. Konteksnya bisa apa saja mulai dari individu, komunitas, peraturan, pertemanan, tempat tinggal, makanan, pakaian, dan sebagainya.
Misalnya ketika sekolah bahasa Mandarin di Haikou, Tiongkok, untuk pertama kalinya aku mencicipi rasa pedas-pedas kecut super strong yang belum pernah kurasakan, yang ternyata berasal dari biji mala. Awalnya rasa itu benar-benar asing bagi lidahku. Tapi seiring makin seringnya aku menghidu kuah malatang bertabur biji mala nyaris tiap pulang sekolah, lama-lama rasa itu jadi tak asing lagi. Aku malah doyan banget malatang sampai sekarang.
Nah. Ini nyambung sama inti matahari zine-zine-an edisi ini. “Asing” sesuatu yang bisa jadi nggak permanen. Rasa yang awalnya asing untuk kamu malah bisa jadi sesuatu yang kamu suka.
Namun dalam konteks lebih spesifik, terutama berkaitan dengan persoalan politik identitas, makna “asing” jadi nggak sesederhana itu. Negara dan masyarakat kerap mendefinisikan aku yang etnis Tionghoa ini sebagai “asing”. Memaksaku berpikir bahwa aku adalah asing, asing adalah aku. Meski lahir dan besar di Indonesia, aku dan teman-teman Tionghoa lainnya (walau tidak semua) masih sering dikonstruksikan sebagai si liyan yang bukan saja dipandang berbeda tapi juga dilabeli negatif melalui berbagai manipulasi pengetahuan secara sistematis.
Pada titik itu, “asing” bagiku bermakna alienasi dan eksklusi. Kamu sengaja ditempatkan berseberangan. Aku versus kamu, kami versus mereka. Kamu sengaja diposisikan sebagai antitesis oleh penguasa supaya mereka lebih mudah melemparkan kesalahannya padamu ketika suatu saat situasi berubah menjadi krisis yang tak menguntungkan posisi mereka. Aku rasa hal serupa terjadi pula pada kelompok marjinal atau minoritas lainnya termasuk Papua dan masyarakat adat yang selalu jadi target eksploitasi rezim.
Kenapa bisa gitu kalau menurut kamu?
Dalam konteks global, aku melihat definisi “asing” masih sering dikonstruksikan dari kacamata kolonial, bahkan oleh sesama warga negara sendiri. Tentu ini berkaitan erat dengan sejarah panjang kolonialisme yang meninggalkan residu psikologis yang enggak banget deh dampaknya, terutama trauma dan perasaan inferior. Seolah yang asing (terutama Barat) selalu keren, yang lokal B aja. Lulusan sekolah luar negeri pasti keren, lulusan dalam negeri B aja.
Dengan kata lain, kupikir definisi “asing” ini betul-betul harus dilihat secara cermat sesuai konteksnya. Aku berkeyakinan bahwa cara kita mendefinisikan “asing” nggak bisa lepas sepenuhnya dari bagaimana ekosistem dan rezim berkuasa mendefinisikannya. Definisi “asing” seringkali sengaja dirancang untuk menggarisbawahi bahwa kita memang harus berbeda, sekaligus mendikte apakah perbedaan itu baik/buruk adanya. Kemudian, baik/buruknya itu berusaha dinormalisasi dalam keseharian dengan harapan seluruh warga mengamininya.
Apa cara pandang ini ada hubungannya sama bahasa Indonesia yang cuma punya frasa “orang asing” untuk nyebut stranger maupun foreigner?
Bahasa Indonesia memang kurang tajam menjelaskan kompleksitas di balik istilah “asing” sih sejujurnya, makanya jadi cenderung mudah dipolitisasi juga. Sementara dalam Bahasa Inggris, ada lagi istilah selain stranger dan foreigner, yaitu sojourner.
Wah, apa itu?
Sojourner, foreigner, dan stranger itu sama-sama merujuk pada "orang luar", tapi masing-masingnya punya makna yang berbeda. Sojourner itu orang-orang yang tinggal di suatu tempat “asing” untuk sementara waktu tanpa niat menetap seterusnya, biasanya karena urusan studi, pekerjaan, dan sebagainya. Foreigner adalah siapa pun yang bukan warga negara (terkait status kewarganegaraan atau kebangsaan). Sementara itu, stranger lebih mengarah pada mereka yang nggak dikenal atau asing bagi suatu komunitas, dan itu nggak mesti dari warga negara lain.
Menarik. Kalau semua dibagi gini, definisinya jadi lebih jelas, ya, Syl.
Betul! Problemnya, seperti yang sudah kupaparkan sebelumnya, definisi “asing” itu seringkali tidak muncul secara natural yang bermuara pada perasaan saling memahami tapi sarat rekayasa sosial-politik (social-political engineering) yang sengaja dipelihara penguasa lintas generasi. Melalui upaya sistematis ini, yang juga diperkuat karena absennya pendidikan kritis, hidup bersama dalam satu ruang yang sama dalam jangka waktu lama nggak bakalan otomatis melenyapkan perspektif bahwa pihak lain adalah “asing” yang patut dicurigai dan dimusuhi.
Sedikit contoh rekayasa sosial-politiknya?
Apakah makan bakcang tiap hari bisa otomatis membuat seseorang memahami Tionghoa? Apakah kemeriahan mengampanyekan noken sebagai simbol budaya Papua bisa otomatis menggambarkan bahwa orang Papua sudah dipahami sepenuhnya? Rasanya kan enggak ya…
Ironisnya, aku melihat pemerintah seolah aktif merayakan perbedaan kultural menggunakan gimik-gimik semacam ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah bertoleransi, tapi pada saat bersamaan berupaya menabukan segala perbedaan substansial yang justru paling penting didiskusikan secara terbuka. Ambil contoh “SARA” (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan), salah satu jargon favoritnya Orde Baru. Seolah membicarakan SARA berarti sedang memprovokasi konflik. Padahal, keterbukaan membicarakan hal-hal paling esensial dengan kepala dingin adalah kunci membangun kepercayaan yang akhirnya akan menumbuhkan rasa saling sayang.
Secara garis besar, bagaimana sejarah diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia terjadi?
Pasca pembunuhan brutal terhadap 10.000 Tionghoa oleh Belanda pada 1740 di Batavia dalam peristiwa Geger Pacinan, kolonial bergerak cepat mengeksklusikan orang-orang Tionghoa dengan berbagai cara mulai dari penciptaan kasta/strata kependudukan hingga pembangunan kawasan permukiman khusus yang disebut “pecinan”. Ironisnya, strategi kolonial ini dilanggengkan oleh rezim Indonesia pasca kemerdekaan sehingga sampai detik ini, Tionghoa masih awet dengan label “si asing” yang hanya numpang hidup sebagai benalu dengan agenda utama berburu cuan bagi dirinya dan kelompoknya sendiri.
Kombinasi antara faktor sejarah diskriminasi yang merentang sejak hampir 300 tahun lalu, korupsi, eksploitasi sumber alam dan manusia, ketiadaan imajinasi pembangunan negara yang pro-kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial, serta upaya menginklusikan segelintir cukong Tionghoa sebagai inner circle penguasa akhirnya turut berkontribusi memelihara stigma Tionghoa sebagai “binatang ekonomi” yang sudah tercipta sejak era kolonial.
Bisa Kak Dea bayangkan bagaimana mungkin stigma yang sudah tertanam tiga abad bisa otomatis tercerabut hingga ke akar-akarnya hanya dengan gimik toleransi tanpa keseriusan untuk membuka, menelaah, dan mendiskusikan akar masalah sesungguhnya?
Apa sekarang diskriminasi terhadap kaum Tionghoa masih setajam dulu?
Setelah Orde Baru tumbang, kondisinya seolah tampak membaik, tapi bisa kita lihat dengan jelas bahwa sampai detik ini isu Tionghoa masih terus dipelihara para elite sebagai kartu abadi untuk membungkam lawan-lawan politik – meski terkadang nuansanya lebih subtil.
Hal-hal semacam inilah yang bikin aku selalu khawatir begitu elite selalu aktif melantangkan retorika anti asing – sekalipun seruan tersebut tak langsung menargetkan Tionghoa.
Dari 38 artikel dan video media online yang terbit 2014-2025, Tim Cek Fakta Tempo (2025) mendapati bahwa narasi “antek asing” banyak dialamatkan oleh para elite, terutama oleh Prabowo Subianto, pada kelompok kritis seperti ormas sipil serta mahasiswa (16 kali), juga lawan-lawan politiknya (7 kali). Kebiasaan melontarkan jargon anti-asing untuk membungkam kritik dan lawan politik ini menurutku sungguh berbahaya, serupa laku kolonial yang berupaya membangun simpati dengan menunjuk musuh bersama. Sejarah sudah sangat gamblang memperlihatkan bagaimana Tionghoa selalu efektif dirujuk sebagai musuh bersama.
Sebetulnya aku punya pengalaman sebaliknya soal diskriminasi ini. Di Jakarta aku tinggal di kampung Arab. Di masa kerusuhan ’98, orang-orang Arab ini justru ambil sikap melindungi orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah kami. Mungkin nggak prinsipnya “tak kenal maka tak sayang”? Warga keturunan Arab merasa “sesama” dengan warga yang keturunan Tionghoa karena mereka hidup bareng-bareng di situ.
Tentu saja hal semacam itu selalu ada. Namun, harus benar-benar kita perhatikan secara jeli apakah fenomena membahagiakan ini sudah menjadi sebuah norma umum di seluruh pojok negeri atau hanya kasuistik? Apakah sifatnya general atau partikular? Kita tidak bisa serta-merta mengklaim yang kasuistik sebagai representasi seluruh Indonesia.
Tapi mungkin nggak yang kasuistik ini akan jadi lebih besar jumlahnya kalau ada lebih banyak ruang untuk berbaur dan mereduksi keasingan?
Yes! Bisa banget! Tapi tanpa membenarkan perilaku mereka yang ngotot memilih untuk tetap hidup eksklusif dalam cangkangnya sendiri, kupikir kita juga sangat perlu memahami trauma intergenerasional yang dialami kelompok minoritas. Ketakutan dan pembungkaman diri sebagai respons dari trauma kolektif sungguhlah nggak mudah diputuskan begitu saja rantainya, meski aku tetap optimis bahwa generasi muda Tionghoa lebih punya kerinduan sekaligus keberanian untuk memutus rantai trauma intergenerasional dibandingkan generasi pendahulunya.
Sekali lagi aku lebih meyakini bahwa problem yang akar penyebabnya bersifat struktural ya sebenarnya akan jauh lebih efektif jika ditangani secara struktural juga, bukan malah begitu saja mengandalkan kesadaran individu seturut jargon “educate yourself!” sekalipun aku sadar bahwa mengharapkan perubahan struktural lebih bikin frustrasi daripada mengupayakannya sendiri. Namun bukan berarti aku menafikkan setiap upaya perubahan dari akar rumput. Pergerakan, terutama literasi kritis, semakin penting untung diupayakan secara kolektif.
I see. Iya, aku kebayang, kok, situasi, kondisi, peliknya, dan concern kamu.
Maaf, penjelasanku agak panjang karena memang nggak ada jawaban simpel untuk mengurai persoalan pelik retorika “asing” yang sudah berlangsung ratusan tahun. Ini pun belum menyinggung perkara legal-formal yang urusannya jauh lebih pelik, termasuk persoalan kewarganegaraan dan penghilangan sejarah terkait Tionghoa. Intinya, retorika “asing” yang menghambat relasi harmonis ini tak muncul secara organik dengan sendirinya.
Nggak apa-apa, atuh, makasih justru dikasih penjelasan panjang. Terakhir, punya pesan apa untuk pembaca www.salamatahari.com?
Waduh, apa ya, Kak? Hahahahahaha… Selalu bingung deh kalau diminta memberi pesan. Mungkin ada satu pesan yang nggak pernah lelah aku suarakan: upayakanlah membaca buku-buku bergizi yang bisa melatihmu berpikir lebih bijak dan kritis, syukur-syukur kamu punya kesempatan untuk mendiskusikannya bersama teman-teman lain. Bacalah, bersolidaritaslah, dan lawanlah segala upaya pengerdilan pikiran.
Zine-zine-an Kak Dea ini juga buatku salah satu bacaan menarik yang sangat humanis. Segar dengan gaya populer, tapi bener-bener daging banget. Kupikir kita memang perlu lebih banyak menyimak bacaan-bacaan semacam ini, apalagi di era banjir informasi yang membuat kita overwhelmed dengan banyaknya informasi yang sulit diverifikasi. Sesekali ambillah jeda untuk berefleksi secara pribadi sekaligus mencermati refleksi-refleksi orang lain.
Hatur nuhuuuun
Sawangsulna, Kak Dea! I love your zine-zine-an so much~!
![]() |
Foto dok. TB Pelagia |
Apakah obrolan panjang kami berakhir sampai di sini? Ternyata tidak, lho, teman-teman. Pembahasan seru ini berlanjut di surel dan mungkin akan disambung kembali pada pertemuan ngopi-ngopi di kesempatan lain. Keberanian untuk speak up dan segala penelitian yang dilakukan Sylvie tak lain tak bukan adalah upaya untuk memecahkan bubble, agar kita memahami akar permasalahan, agar segala yang asing menemukan jalan untuk saling berjabat.
Aku memutuskan untuk menerima uluran tangan Sylvie dan menyimak ceritanya. Kamu…?
Komentar