Setiap melihat tetek bengek, sisa-sisa kemasan, dan mainan rusak cucu-cucunya, almarhum Oma selalu berkomentar dengan lidah Holland spreken-nya yang khas: “Rommel”. Rommel adalah bahasa Belanda yang kurang lebih berarti “kekacauan” atau “rongsokan”.
Aku sadar tumpukan rommel kami sering merusak pemandangan dan membuat pusing orangtua, tetapi kami kerap tak tahu harus berbuat apa dengan rommel kami. Mungkin akan lain ceritanya jika Evan Driyananda dan Attina Nurani termasuk cucu Oma. Duo yang tergabung dalam REcycle EXPerience ini memberikan rommel identitas baru. Selama 18 tahun, REcycle EXPerience konsisten mengolah rommel menjadi karya seni.
Perjalanan mereka tidak mudah. Ketika kuwawancara 2010 silam, Attina sempat bercerita, “Kita pengin pameran, tapi waktu itu karya kita dibilangnya bukan seni, jadi saking penginnya pameran, kita pameran di kampus (2007)”. Kendati demikian, Evan dan Attina tak lantas menyerah pada sekat-sekat yang ditetapkan wacana seni rupa. Mereka berteguh dengan keyakinan mereka hingga dilirik oleh almarhum Marine Ramdhani, pemilik ruang kreatif Loubelle Space di Bandung. Ketertarikan Marine pada toys art movement membuatnya semangat mengajak Evan dan Attina bermarkas di tempatnya. Akhirnya, pada 2010, REcycle EXPerience menggelar pameran tunggal pertama mereka di Loubelle Space: “My Secret Garden”.
Hobi mengoleksi mainan membuat karya-karya REcycle EXPerience mempunyai karakter khas. Robot-robotan adalah figur yang paling banyak muncul. Mereka pun jeli memadukan warna dan merakit rommel untuk menghasilkan bentuk-bentuk unik imajinatif.
“Hocus Pocus!” adalah pameran terkini REcycle EXPerience, berlangsung di NuArt Sculpture Park 25 Mei – 14 Juli 2024 dalam rangka program Family Art Month. Dikuratori Fahmy Al Ghiffari Siregar, terpilih lebih dari 20 karya yang dibuat dalam rentang 12 tahun terakhir.
Bagiku, “Hocus Pocus!” adalah pameran yang menyenangkan. Kemeriahan warna menjauhkannya dari kesan muram. Kecintaan Attina dan Evan pada mainan menghasilkan bentuk-bentuk unik yang melemparkan kita pada masa kanak-kanak, ketika imajinasi kita tak terkurung apa-apa.
Saat tiba di ruang pameran, kita disambut sepasang robot-robotan besar. Mereka mengapit kuratorial Fahmy Al Ghiffari. Tak jauh dari sana, terdapat sebidang tembok bercat kuning, disandari robot-robotan pancarona berukuran raksasa. Di bagian lain, kita berjumpa dengan rumah robot yang dilengkapi CCTV mainan. Pintu rumah robot terbuka. Di dalamnya kita mendapati aneka warna dan sebuah lampu lilin berwarna putih. Aku tak berusaha menduga-duga apa maksudnya, sebab memang belum tentu ada maksudnya. Bukankah—terutama ketika anak-anak—kreativitas membebaskan kita melakukan hal-hal acak yang tak harus mengantar maksud tertentu?
Tiket masuk ke NuArt Sculpture Park seharga Rp 50.000,00. Namun, kita berkesempatan mendapat tiket gratis jika membawa sepuluh jenis rommel yang secara garis besar sudah ditentukan jenisnya. “Uang tiket” tersebut adalah bahan berkarya kita. REcycle EXPerience menyediakan pojok kreatif agar para pengunjung mempunyai pengalamam merakit rommel. Nantinya, karya kita boleh ditempelkan pada base jangkung yang tersedia. Seru sekali, bukan?
“Jauh daripada itu, kehadiran benda-benda itu sendiri memantik persoalan limbah rumah tangga yang semakin pelik kita hadapi,” tulis Fahmy dalam kuratorialnya. Aku kembali teringat pada Oma yang sakit kepala setiap melihat mainan kami berserakan. Omelan seputar rommel seringkali diiktui perintah, “Hayoh! Opruimen!” yang artinya kurang lebih “ayo bereskan” atau “ayo bersihkan”. Tak jarang kami harus membuang barang-barang tertentu karena dianggap sudah tidak terpakai. Padahal, di tangan REcycle EXPerience, benda-benda tersebut dapat menjelma mainan baru.
Aku jadi terpikir. Ke mana rommel kami melanjutkan nasib setelah dibuang? Mereka bukan benda-benda organik yang akhirnya akan bersatu dengan alam. Jika tidak dimanfaatkan oleh orang-orang kreatif, mereka pasti terlunta-lunta di belantara. Mungkin mereka menjadi serpih. Termakan ikan. Atau tersamar di antara pasir pantai.
Saat tengah sibuk dengan khayalanku sendiri, kusadari sebuah robot-robotan besi dalam gerobak menatapku seakan ingin curhat. Aku lupa membaca judulnya sebagai karya, tetapi kuhampiri ia dan kudengarkan keluh kesahnya. “Hirup aing kieu-kieu wae” alias “hidup saya begini-begini saja,” ungkap si robot.
Terlalu lama menjadi sampah terbuang dan tak terpakai membuatnya lupa, hidupnya sudah berubah. Ia masih merasa menjadi sampah tak berarti walaupun REcycle EXPerience telah menjadikannya karya seni. Ia luput menyadari, saat itu ia tak lagi terlunta-lunta sebagai besi tua, tetapi terpasang dengan hormat di sebuah galeri ternama. Ada kalanya perubahan datang lebih cepat daripada bagaimana kita mengidentifikasi diri kita sendiri. Aku sepenuhnya memahami perasaan si robot karena insting itu normal adanya. Di dalam hati, aku mendoakan pengembaraan rommel lain. Semoga mereka menemukan tempat sebaik rommel dalam “Hocus Pocus!” nan menyihir ini.
Setelah si robot selesai bercerita, aku tak berusaha menghujaninya dengan nasihat. Kutatap ia sesimpatik mungkin sambil berkata, “Di ruangan ini, kamu dikelilingi teman-teman yang mirip kamu. Coba tanya cerita mereka.”
Meskipun pamerannya udah lewat, apa yang Dea udah tulis tetep jadi cerita yang bisa disimpen, makanya akhirnya Dea unggah di sini aja.
Terus berkarya, ya, Evan dan Attina, aku percaya sama karya-karya kalian sejak awal :)
Komentar