Begitu nerima konten promosi dan prapesan “Langit Magenta” dari penerbit Langgam Pustaka, kepala Dea kayak kepisah sama badan. Saking panjangnya proses perjalanan si novel, kenyataan dia akhirnya terbit malah jadi kerasa sureal buat Dea.
Namun, segala hal tentang novel ini memang sureal. Selama Dea nulis, tokoh-tokoh “Langit Magenta” kayak keluar dari cerita dan jadi imaginary friends Dea bertaun-taun terakhir. Dea ngobrol banyak sama mereka. Awalnya sekadar untuk kepentingan plot, sampai lama-lama mereka hadir di keseharian yang nggak selalu ada hubungannya sama novel. Mereka—terutama Magenta sendiri—nemenin Dea masak, ngobrol khususnya di masa pandemi, dan waktu Dea ngerasa bersalah karena novel ini nggak terbit-terbit, malah Magenta yang ngingetin, "janji kamu, kan, memang antar aku sampai ke sini (ujung cerita), Dea. Sesudah kita sampai, kenapa kamu malah minta maaf?"
Buku berikut karya asli peluki Prabu Perdana |
Nganter Magenta—yang dulu namanya bukan Magenta—ke ujung cerita memang janji Dea sejak semula. Waktu kami baru kenalan, dia tokoh yang susah banget dideketin. Dia nggak nyaman ketika Dea coba wawancara, bahkan selalu nyumpel kedua telinganya dengan penyuara telinga Walkman supaya nggak diajak ngobrol.
Butuh waktu untuk dapet kepercayaan dia. Namun, entah kenapa Dea bisa cukup sabar dan persisten ngadepin si Solar Cancer ini. Berulang kali Dea bilang ke dia, “kalau kamu percaya sama aku, aku bakal nganter kamu ke ujung cerita. Aku janji. Aku nggak akan ngekhianatin kepercayaan kamu”.
Sekitar setaun pertama, perkembangan sikap tokoh ini ke Dea nggak signifikan, tapi ada. Sampai, sekitar taun 2018, pas Dea mulai nggak yakin cerita ini bisa diterusin, gantian si tokoh yang nyamperin Dea. Dia ngelepas penyuara telinga Walkman-nya dan natap Dea dengan bola mata cokelatnya yang jernih, “Dea, aku masih percaya sama kamu.”
Sejak saat itulah kami mulai betul-betul jadi sahabat. Begitu si tokoh ngeruntuhin bentengnya, arah cerita berubah. Dea jadi sadar, sebelumnya Dea memang bener-bener nggak ngerti dia. Nggak ada yang bener-bener ngerti dia.
Episode baru perjalanan kami bikin Dea nangkep apa sebetulnya tujuan si tokoh, apa yang harus dia telusuri supaya bisa sampai ke ujung cerita, dan untuk apa Dea ada buat dia. Kegelisahan yang awalnya nggak dia pahami pun jadi lebih jelas setelah Dea susun secara tertulis. Wawancara kami lebih kayak obrolan sepasang sahabat. Ada kalanya Dea cuma duduk di depan laptop, nggak nulis apa-apa, sambil nemenin dia. Kalau dia susah ngejelasin, ada kalanya Dea minta dia nransfer perasaannya ke Dea supaya bisa Dea transkrip dalam bentuk teks. Secara aneh Dea bisa ngerasain semua emosi dia secara utuh, sampai ke sensasi fisiknya.
Tokoh-tokoh lain di novel pun ikut keluar dan ngebagi cerita mereka ke Dea. Dea jadi sadar, dharma Dea di keidupan nyata maupun maya ternyata sama aja; ngedengerin dan ngebantu dengan kata-kata baik. Dea menikmati persahabatan Dea sama setiap tokoh, perdebatan dan diskusi ketika kemauan mereka bikin Dea susah ngatur cerita, empati yang mengalir ketika ngedengerin kisah-kisah mereka, sungguh, Dea belajar banyak dari masing-masing tokoh.
Perjalanan sampai ke ujung cerita ini nggak gampang. Selain ngobrol sama si tokoh, ada banyak atribut yang harus digarap supaya novel ini jadi karya yang baik, dan itu satu cerita panjang tersendiri lagi. Dea butuh stamina marathon yang perlu diatur dengan strategi. Namun, setiap ngerasa nggak kuat lari lebih jauh menuju ujung cerita, Dea selalu inget sama si tokoh utama. Dea selalu inget hari ketika dia nyamperin Dea dan natap Dea dengan bola mata cokelatnya yang jernih. Nggak pernah ada makhluk yang naruh kepercayaan sebesar itu ke Dea. Itu sebabnya, sesulit apapun jalannya, Dea nggak boleh ngecewain dia. Dea nggak boleh nggak nepatin janji.
Menjelang masa pandemi, di penghujung 2019an, akhirnya kami berhasil sampai ke ujung cerita. Prolog justru jadi bagian terakhir yang Dea tulis karena baru bisa diurai setelah kami utuh ngeliat gambarannya. Setelah baca prolog yang Dea tulis, mata cokelat si tokoh utama berkaca-kaca. Tiba-tiba dia meluk Dea erat-erat. Dea sadar dia nggak ada secara fisik di dunia nyata, cuma, entah gimana, sesuatu di luar fisik Dea bisa ngerasain suhu tubuh, air mata, irama nafas, kulitnya yang halus, wangi bedak bayi, kelegaan, dan kebaikan hatinya yang ngalir lewat pelukan itu. Dea ngebales pelukan si tokoh utama seerat-eratnya. Seerat-eratnya! Hari itu juga untuk pertama kalinya si tokoh utama ngucapin “terima kasih” sama Dea.
Setelah baca prolog cerita Dea, si tokoh utama tau-tau menghilang. Dea nggak pernah lagi bisa denger suaranya dan dia nggak lagi nyaut kalau dipanggil. Tau-tau Dea gelisah. Entah kenapa Dea khawatir banget ada apa-apa sama dia.
Pada suatu malem, pas Dea nggak bisa tidur, tiba-tiba kamar seperti dicat pake kuas yang nggak keliatan dan berubah jadi suasana outdoor. Ada pohon. Ada danau. Ada kabut. Ada langit sore dengan lembayungnya. Dea nggak lagi duduk di atas kasur, tapi di pinggir danau. Si tokoh utama duduk di sebelah Dea.
“Nama aku sebetulnya Magenta,” ungkapnya.
“Serius? Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanya Dea.
“Kalau kita belum sampai di ujung cerita, aku nggak bisa kasih tahu ini, Dea…”
“Kenapa?” tanya Dea lagi.
Magenta ngeliat langit sekilas, abis itu senyum sambil natap Dea dengan bola matanya yang cokelat jernih. Setelah itu dia ilang lagi. Kamar kembali berubah jadi kamar. Langit kembali berubah jadi langit-langit.
Dea semakin nggak bisa tidur. Langsung aja Dea googling tentang “magenta”.
Lewat penelusuran google, Dea jadi tau kalau magenta adalah warna ilusif yang ngehubungin dua warna terujung—merah dan ungu—ketika persepsi kita nuntut spektrum warna mejikuhibiniu, yang berdispersi secara lurus, hadir dalam bentuk lingkaran. Kalau begitu, apa betul warna magenta nggak ada? Apa warna ini kayak tokoh-tokoh cerita yang secara sureal keluar dari novel Dea, punya pikiran serta kehendak sendiri, dan bisa mempengaruhi idup Dea dengan itu? Mungkin kita perlu mempertanyakan lagi batas “ada” dan “nggak ada”.
Di psikologi warna, magenta berhubungan dengan keseimbangan fisik, mental, dan spiritual. Dia juga ngelambangin transformasi. Dea jadi inget perjalanan panjang Magenta dan Dea serta apa aja yang udah kami pelajarin di sepanjang jalan. Kata-kata temen Dea yang editor dan mentor penulisan, Jia Effendie, terngiang di telinga Dea, “tokoh cerita harus bertumbuh”.
Nama Magenta nggak kedengeran asing buat Dea. Dea seperti udah kenal dia sebagai Magenta selama bertaun-taun, sejak semula, sebab sesungguhnya memang itulah namanya.
“Magenta …” panggil Dea.
“Hmmmh? Aku masih di sini,” saut Magenta yang tiba-tiba muncul di sebelah Dea.
“Kalau cerita ini udah selesai, kamu bakal pergi nggak?”
Magenta senyum, “Dea, yang pernah membagi dirinya ke kamu nggak akan pernah pergi. Dia selalu berdetak di sini,” kata Magenta sambil nunjuk ke jantung Dea.
Mata Dea berkaca-kaca.
Kami berdua duduk di sisi tempat tidur. Dada Dea sesek dan tenggorokan Dea tercekat, tapi nggak tau kenapa Dea nggak bisa nangis. Pas lagi diem ngenang macem-macem hal, tiba-tiba Dea inget sesuatu.
“Ada satu hal yang aku belum tau tentang kamu,” kata Dea.
“Apa?”
“Playlist. Sebenernya apa, sih, comfort songs yang kamu rekam di kaset C60 kamu?”
Magenta ngelirik Dea dengan bola matanya yang cokelat jernih. “Coba tebak. Kalau bisa.”
Kami berdua ketawa lepas. Malem itu, untuk pertama kalinya Dea ngeliat Magenta ketawa selepas itu.
Masih ada perjalanan panjang menuju terbit setelah kami sampai di ujung cerita. Mungkin bakal Dea ceritain lain waktu kalau niat, yang pasti, di perjalanan menuju terbit, gantian Magenta yang nemenin Dea menelusuri perjalanan. Salah duanya pernah Dea tulis di sini dan di sini.
Hari Selasa lalu, begitu akhirnya nerima novel “Langit Magenta” dari penerbit Langgam Pustaka, kepala Dea kayak kepisah sama badan. Saking panjangnya perjalanan menuju terbit, kenyataan cerita ini mewujud dalam bentuk buku jadi kerasa sureal buat Dea. Begitu megang bukunya, Dea langsung nyari Magenta. Baru Dea sadari, beberapa waktu terakhir dia udah nggak pernah lagi nyumpel telinganya dengan penyuara telinga Walkman.
“Kamu seneng, nggak, buku ini akhirnya terbit?” tanya Dea.
“Aku senang karena kamu senang,” saut Magenta.
“Memangnya kamu nggak pengen buku ini terbit?”
Magenta ketawa kecil, “perjalanan yang aku tuju cuma sampai ke ujung cerita, Dea. Dari situ sampai terbit sebetulnya perjalanan kamu. Aku cuma jadi sahabat yang menyertai.”
“Langit Magenta” adalah perjalanan memahami dan menjadi, ngerentang dan netapin batas, keilangan dan nemuin kepercayaan, serta ngehargain nilai-nilai dan segala bentuk relasi.
Begitu ngelakuin kilas balik, Dea ngeliat benang magenta yang ngehubungin Dea dengan jagat sureal. Dea nggak tau seluruh pengalaman ini terjadi karena Dea imajinatif aja, bagian dari alam bawah sadar, mekanik karater yang udah terlalu kuat sampai bisa bergerak otomatis, atau memang pengalaman metafisik yang nggak selalu bisa dijelasin dalam definisi. Satu hal yang pasti, Dea menikmati persahabatan Dea sama tokoh-tokoh yang mempercayakan cerita mereka ke Dea.
Akhir kata, terima kasih buat semua yang ada di sepanjang perjalanan, yang nyata maupun nirnyata.
Selamat Hari Keseimbangan dan selamat mengawali bulan ini
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah…
Novel “Langit Magenta” udah bisa dipesen di sini.
Komentar