Putih


-Bandung, Jumat, 20 Mei 2011-

Platform 3

Albert Yonathan menyusun batu-batu putih di tengah ruang pamer Platform 3. Metronom yang berdetak teratur dan penuh keyakinan mempertegas kesunyian yang mengambang di ruang tersebut. Simbol-simbol agama menyertainya. Mulai dari rosario (kalung dengan butiran-butiran yang melambangkan doa-doa umat Katolik) hingga fotokopi ilustrasi hati manusia dan dosa yang umum dijumpai di toko-toko buku Kristiani.




Pak Isa Perkasa mengenakan stelan putih-putih. Ia membentang kain hijau di pelataran berbatu Platform 3. Dengan lakban putih ia menuliskan “Allahu Akbar” di atas kain tersebut. Lalu ia menaburi kain itu dengan bedak hingga bau bayi merebak. Ketika lakban putih dicabut, tercetaklah tulisan “Allahu Akbar” hijau. Menyala di antara putih bedak yang ditaburkan merata.


Prilla Tania menampilkan performance art bertajuk “Pangkal Lingkaran”. Dia membawa empat tumpuk rantang putih bentuk lingkaran. Nasi putih di lapisan pertama disantap Prilla dengan riang. Tetapi beras putih di lapisan ke dua tak bisa dimakan, apa lagi gabah di lapisan berikutnya. Lalu di lapisan terakhir – pangkal lingkaran – terdapat padi. Prilla menanamnya, menyambung siklus yang bertahun-tahun bergerak memelihara kehidupan.


Ada simbol-simbol agama sebagai tubuh, dan ada religiositas yang menjadi jiwanya. Dalam ketiga performance art yang saya saksikan hari itu, mereka saling merangkai. Ada warna putih yang selalu hadir diam-diam memeluk warna-warna lain, dan ada yang bergetar halus melalui setiap performance.

Setelah menyaksikan performance art, kami digiring ke pendopo Platform 3 untuk mengikuti diskusi “Agama dan Seni” dengan pembicara Mas Wicaksono Adi. Simbol-simbol agama kembali hadir. Melalui sosok Buraq, hewan yang terlibat dalam perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW, melalui sejarah kaligrafi dan bangunan-bangunan kuno rumah ibadah, mengenai patung Yesus dan Maria di berbagai kota, melalui corat-coret di dinding-dinding kota, melalui …

Angin sisa hujan meniup-niup saya. Saya tahu Tuhan ada di sana, meski tak ada simbol agama. Tetapi dalam simbol-simbol agama yang sedang dipaparkan dalam diskusi, Tuhan justru absen. Dalam sejarah rinci mengenai zaman romantik, barok, dan lain-lainnya, tidak ada rangkai merangkai yang membuat saya tergetar. Sedikit kecewa, saya membuat gambar tidak penting di kertas putih.


Ketika menggambar, saya tahu-tahu teringat pada kalimat yang ditorehkan Albert di dinding putih ruang pamer:

“HATI MANUSIA – ini bukan agama!”

Teman-teman, bisa jadi ketika membaca paparan performance art yang saya tulis dalam artikel ini, hatimu pun tidak tergetar. Teks dan deskripsi yang dingin membunuh getaran. Mengeliminasi Tuhan yang hadir dalam peristiwa sesungguhnya.

Putih adalah warna yang sedia menerima warna apa saja. Lapang hati seperti Tuhan.

Dinding galeri idealnya berwarna putih. Menurutmu, adakah hubungannya dengan segala sesuatu yang berpotensi menggetarkan hati dalam kesenian … ?


Sundea

Komentar

s.14, Bandung, Indonesia mengatakan…
dea, aku suka banget putih. dan sangat senang dengan akhir dari tulisanmu..LIKE IT!
Sundea mengatakan…
Makasih, yayayaya ... =D