Beberapa langkah menjelang rumah, perhatian saya tersangkut pada seorang bapak tua yang sedang duduk di paving block Sumur Bandung. Ia menatap entah ke mana. Sebuah pikulan terparkir gagah perkasa seperti mengawalnya. Saya sendiri mencoba menerka-nerka, “Kira-kira Bapak ini jualan apa, ya?”
“Ini patri, Neng,” jelasnya ketika saya berjongkok di hadapannya. “Ooo … patri. Biasanya yang dipatri apa aja, Pak?” tanya saya. “Paling banyak baskom-baskom (maksudnya kuali) restoran yang besar-besar itu…”
Namanya Pak Syarif. Umurnya 85 tahun. Sudah 55 tahun ia bekerja sebagai tukang patri keliling. “Tadinya saya mandor. Oleh karena majikan sudah bangkrut, lantas saya cari panci bocor untuk dikerjakan (dipatri),” ungkap bapak tiga orang anak ini. “Nggak bosen, Pak, sampe 50 tahun lebih matri terus?” tanya saya lagi. “Saya memang senang mematri,” jawabnya sambil tersenyum teduh.
Mematri adalah seni. Butuh sense dan ketrampilan tangan tertentu. “Kerja kasar saya tidak bisa,” kata Pak Syarif. Sekilas ia sempat menjelaskan kepada saya bagaimana cara mematri, “Bahannya dibersihkan, dimasukkan air keras, soldernya dibakar, lantas ketika besinya sudah panas, kita ambil timah lalu dioleskan dengan tambal,” paparnya. “Ada contohnya, nggak, Pak?” tanya saya. “Hari ini belum ada yang patri, Neng,” sahut Pak Syarif.
Dalam seminggu, selalu ada 2-3 hari di mana jasa patri Pak Syarif tidak ditanggap sama sekali. “Tapi kalau dihitung rata-rata penghasilan saya satu hari lima puluh ribu,” kata Pak Syarif. Meski sudah berumur dan mempunyai anak-anak yang telah menikah dan mandiri, sepertinya kecintaan Pak Syarif pada mematri membuatnya tak pernah berhenti, “Saya nggak pernah bosen. Kalau sakit baru pere (free, libur).” Ia berkeliling ke manapun ia mau. Kadang ke Dago, kadang Balubur, kadang Ciumbeuluit. Biasanya ia berangkat pukul delapan pagi dan pulang sekitar pukul tiga sore. “Tapi ini sudah mau hujan, saya mau pulang,” kata Pak Syarif sambil tengadah menatap langit. Saat itu pukul setengah satu siang, tetapi sama sekali tidak benderang.
“Rumahnya jauh, nggak, Pak?”
“Deket sini. Di Siliwangi. Neng rumahnya di mana?”
“Nih, yang ini. Tinggal jalan dikit saya mah …”
“Ini kan Dokter Pang?”
“Iya. Dokter Pang itu kakek saya. Dulu tinggalnya emang di situ, sekarang udah meninggal. Kok Bapak tau?”
“Dulu Dokter Pang pernah matri. Ada garuda dari kuningan. Ada juga bunga dari kuningan. Anaknya yang di ITB dulu juga suka matri ke saya.”
“Yang laki-laki? Seni rupa?”
“Iya.”
“Lah … itu kan bapak saya, Pak …”
Hujan mulai turun rintik-rintik. Kami berdua tengadah. “Yah, Pak … pulang, yuk, entar keburu deres ujannya,” saya memasang capuchon jaket. Setelah mengucapkan terima kasih, saya berlari ke rumah. Pak Syarif menempuh arah yang berbeda. Ketika hujan semakin deras, saya hanya dapat berdoa, “Semoga Pak Syarif tiba dengan selamat dan sehat-sehat saja …”
Teman-teman,tahukah kamu mengapa istilah “terpatri” digunakan untuk ingatan atas kesan yang sangat kuat?
Siang itu saya rasa saya mengerti …
Sundea
Komentar
Gw suka bapak2 kayak gini. Enak diajak ngobrol, penyabar dan penyayang.
@Rie: Hehehe ... semoga suatu saat lu juga ketemu sama si bapak ini
@Vanvan: =)
Makasih, ya, salam buat Moyo-Tupu ...
normal gak kalian...
To Payshal Anwar. kamu picik sekali bro. Sungguh menyedihkan hidupmu bro. Ga ada yang dibanggain dari diri sendiri atau keluarga ya omongnya kaya gene. saranku, kurangi nonton bokep biar cara berpikirmu bisa positif.OK. PiZZZZ. maaf ga punya akun ya..