Berita-berita menyedihkan di Indonesia seperti menggedor-gedor televisi, koran, dan internet sepanjang minggu. Mulai dari banjir tak berkesudahan di Jakarta, tsunami di Mentawai, meletusnya gunung merapi, gempa bumi di Bandung, sampai wafatnya tokoh ajaib Mbah Maridjan. Ketika saya hendak menulis inti matahari untuk edisi ini, berita menyedihkan lainnya menggedor message facebook saya: seorang sahabat terserang kanker pankreas dan divonis hanya dapat bertahan hidup sekitar enam bulan lagi. Alhasil curhatlah saya di paragraf pertama inti matahari ini. Tahu-tahu saya tidak merasa cukup dingin untuk membangun jarak dengan catatan-catatan zine ini. Membangun jarak dengan kalian.
“KE TIGA: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.”
Antara Sumpah Pemuda dan hari ini terentang jarak 82 tahun. Bisa jadi sumpah tersebut telah menjadi jargon dingin yang diingat sebagai sekedar catatan sejarah. Tetapi kata-kata tak pernah menjadi sampah yang membusuk dimakan waktu. Ia senantiasa dapat didaur ulang di dalam konteks. Didekatkan dengan yang aktual. Menciptakan makna yang melipat jarak.
“KE DOEA: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA”
Pemuda Indonesia dan daur ulang membentang di Salamatahari edisi ini. Ada Evan dan Attina dengan Recycle Experience-nya, ada “mereview reviewer” yang dilakukan Maradilla terhadap Felix Daas, ada Baby Eats Crackers yang mendaur ulang curhat menjadi lagu-lagu dalam mini album Kissh-Kissh, dan ada lagu lama Ruth Sahanaya : Astaga.
“KE SATOE: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA”
Tidak ada tendensi tawuran dalam kata “toempah darah” seperti tak ada tendensi memaki dalam kata “sampah” di tajuk “Sampah Pemuda”.
Selamat hari Sumpah Pemuda …
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Across the Mainstream |
Komentar
how clever u ar!
sampah yg didaur ulang ya!
yukz mendaur ulang *wink