Judul Buku : Marmut Merah Jambu
Penulis : Raditya Dika
Penerbit : bukune
Jumlah Halaman : 218 halaman
Saya membeli seekor Marmut Merah Jambu (MMJ) . Saat menatap matanya yang bulat, hitam, dan lugu, saya langsung jatuh sayang. Sambil mengunyah-ngunyah biskuit berbentuk hati, ia seperti berkata, “Dea, Dea, Dea, aku janji jadi peliharaan yang terus menghiburmu …”
Kandang MMJ saya letakkan di sebelah meja kerja saya. Saat bosan menulis, saya meliriknya. Sesuai janji MMJ terus berusaha menghibur saya. Ia belari di roda, melompat-lompat, dan sangat sering melakukan gerakan-gerakan slapstick terhadap diri sendiri. Ambil contoh ketika memberi judul pada bab di halaman 111, “Catatan Si Pemeran Utama Dengan Muka Kayak Figuran” atau ketika menyebut diri punya suara seperti Doraemon belum akil balig (halaman 9).
Awalnya MMJ sukses membuat saya tertawa dengan lelucon-leluconnya segar dan khas. Tetapi lama kelamaan ia malah membuat saya prihatin. Ada kesan “harus lucu” yang membuat MMJ justru jadi melelahkan dan kehilangan fokus; misalnya pada empat halaman mengenai warisan dalam “Balada Sunatan Edgar” (halaman 41-58).
“Kamu mau biskuit ?” tanya saya seraya memberi biskuit kacang berbentuk hati kepada MMJ. Sambil melompat-lompat riang MMJ meraih biskuit tersebut lalu mengerikitinya. Untuk sementara ia berhenti melakukan gerakan-gerakan slapstick.
Saya mengamati MMJ yang sedang mengerat biskuit. Ketika tidak melucu dengan sengaja, ia justru terlihat lebih lucu. Tangan mungilnya mencengkram biskuit yang lebih besar daripada kepalanya. Mulutnya dengan cepat mengerikit. Pipinya bergerak-gerak menggemaskan. Kadang ia membalas tatapan saya dengan matanya yang setitik. Namun tak lama kemudian, ia akan kembali menekuni biskuit. Saya tersenyum. Mendekatkan wajah saya ke kaca kandang dan menikmati kelucuan MMJ lebih dekat.
Tunggu dulu. Apa itu “lucu” ? Tahu-tahu di mata saya MMJ berdiri di atas konteks “lucu” yang lain; cute in its bitter-sweet love things. Di luar segala ke-slapstick-annya, MMJ adalah makhluk yang metaforik, filosofis, dan sentimental:
“Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.” (halaman 15, “Orang yang Jatuh Cinta Diam-diam”)
“Tetapi kenapa, hingga saat ini, setelah tujuh tahun, selai kacang di lidah gue, masih terasa hambar”. (halaman 94, “Pertemuan Terakhir dengan Ina Mangunkusumo”)
… dan saya jatuh sayang pada makhluk mungil ini. Justru ketika ia tidak sedang sengaja melucu.
Setelah menghabiskan beberapa potong biskuit, MMJ terkantuk-kantuk lalu jatuh tertidur. Dalam dengkurnya saya menemukan kasih sayang instingtif yang mengalir natural pada setiap hewan. Sesungguhnya insting ini juga mendasari kasih sayang manusia; lucu dan tulus seperti seorang bayi (baca bab terakhir Marmut Merah Jambu, halaman 213-218).
Hati-hati saya menjulurkan tangan saya ke dalam kandang. Menyentuh bulu MMJ yang lembut dan rentan rontok. Merasakan hangat tubuh dan getar dengkurnya. Mencium bau serbuk kayu yang bercampur bau tubuh khas seekor marmut. Sesungguhnya dia tak perlu upaya teatrikal apa-apa untuk menghibur. Kemarmutan yang melekat padanya sudah lebih dari cukup.
Sisa-sisa biskuit yang tadinya berbentuk hati meremah di sekitar MMJ. Kecil-kecil, namun membuatnya jadi lebih dari sepotong …
Sundea
Komentar
Dea jatuh cinta sama sisi serius dan melankoli yang dia tutup2in ya? :)
Coba, deh, lu baca MMJ. You'll know what I feel about this book ...
mynameisnia(dot)com
ciri khas radit
cuma pas bagian njelekin kangen band itu, bikin eneg saya.
kayak udah bikin band bagus aja
:D
Tp minus di lelucon ttg cewek nangis dan perkara putusdiputuskan