Satu Jari Oom Gion

 

-Selasar Sunaryo, 17 Oktober 2025-

 

Pameran Menulis dengan Satu Jari

 

Semasa Oom Gion—begitu aku memanggil almarhum Wagiono Soenarto—hidup, aku merasa cukup mengenal dirinya, padahal tidak juga.

 

foto: dok. Selasar Sunaryo Artspace

 

Oom Gion adalah akademisi dan desainer grafis dengan karier cemerlang. Aku mengingatnya sebagai sosok dengan stok jokes bapack-bapack yang tak ada habisnya, pembuat film animasi saat film animasi di Indonesia masih mewah dan langka, serta kawan baik keluarga yang hampir seperti pamanku sendiri. Bagiku Oom Gion adalah pribadi yang santai dan menyenangkan. Sejauh apa yang kukenang, ia kerap membingkai pengalaman dan pandangannya dalam fragmen-fragmen komedi yang membuat hidup terasa ringan. 

 

 

Namun, aku tak pernah mengenal “satu jari”-nya yang kritis menunjuk kekuasaan represif. Diam-diam Oom Gion adalah pengamat politik yang cermat dan tajam. Kritiknya selalu disampaikan dengan hati-hati tetapi tepat sasaran. Tajuk “Menulis dengan Satu Jari” diambil dari salah satu catatan Oom Gion: “Sikap kritis sangat berbahaya. Wartawan harus menulis lebih hati-hati, kalau bisa mengetik dengan satu jari saja, supaya lebih hati-hati berpikirnya.” Cara pandang Oom Gion terhadap pemerintahan represif inilah yang diangkat sebagai jantung pameran tunggalnya di Selasar Sunaryo Artspace.

 

foto: dok. Selasar Sunaryo Artspace

 

 

Ternyata Oom Gion adalah pribadi dengan banyak dimensi. Ia adalah tumpukan catatan-catatan yang ditulisnya dengan tulisan tangan, corat-coret di kertas yang sudah maupun belum selesai, segala memento yang tertinggal di meja kerjanya, potongan bahan kolase yang belum sempat ia buat, arsip-arsip yang menunjukkan keterlibatannya di berbagai organisasi dan peristiwa, serta kerja-kerja grafisnya yang estetik sekaligus kritis.  

 

Karya-karya Oom Gion adalah ekstensi usianya sehingga tak perlu memanggil jalangkung untuk mewawancarai Oom Gion. Mas Heru, kurator pameran yang mengaku belum sempat berkenalan secara pribadi dengan Oom Gion, cukup berdialog dengan karya-karya yang ditinggalkan Oom Gion.

 

Pemilihan “Menulis dengan Satu Jari” sebagai judul sangat tepat mewakili suara Oom Gion yang witty sekaligus hati-hati. Karya-karyanya yang mengusung tragedi Mei ’98 dijadikan pemeran utama dalam pameran ini. Seperti mural di dinding kota, drawings dan tulisan tangan Oom Gion diperbesar dan disusun mengisi bidang Ruang B Selasar Sunaryo Artspace. “Aku sempat berasumsi semua orang tahu peristiwa ‘98, ternyata enggak,” ungkap Mas Heru yang baru sadar bahwa Gen Z tak pernah mengalami kemeriahan momen reformasi secara langsung. 

 

foto: dok. Selasar Sunaryo

 

Peduli pesan Oom Gion sampai dengan baik kepada pengunjung membuat Mas Heru dan tim kurator berinisiatif menjelaskan Mei ’98 sebagai konteks. Penjelasan tersebut tersedia pada takarir, upaya mengategorikan karya sesangkil dan semangkus mungkin, serta buku yang dihadirkan sepaket dengan seri drawings Oom Gion. Selain membuat banyak drawings dengan tema Mei ’98, Oom Gion juga meninggalkan catatan-catatan serupa buku harian. Ia sempat menulis tentang api yang berkaitan dengan perayaan sekaligus petaka, pernah pula membuat catatan mengenai belalang sebagai hama yang meresahkan dan kaitannya dengan politik negara, bahkan menuliskan tanda-tanda yang ia baca menjelang peristiwa Mei ‘98. Seluruh catatan tersebut disusun kembali dalam bentuk buku oleh Puja Anindita, asisten kurator, dan disandingkan dengan drawings Oom Gion.  

 

Aku suka cara pameran ini memberikan panggung kepada karya-karya kritik sosial Oom Gion. Ketika dicetak besar melingkupi dinding-dinding ruang pameran, pandangan kritis Oom Gion seperti hantu yang terus ada di sisi ke mana pun kita berjalan menelusuri karya-karyanya. Terdapat pula ruangan yang sengaja dibuat gelap, kontras dengan dinding lain di Ruang B, untuk menempatkan seri drawings Oom Gion dan buku yang disusun Puja. Takarir bertajuk “Mei ’98: Mimpi Buruk Warga Jakarta” menjadi jembatan antara karya Oom Gion dan pengunjung, terutama yang merasa asing dengan konteksnya.

 


 

 

foto: dok. Selasar Sunaryo

Menariknya, “Menulis dengan Satu Jari” juga menghadirkan nuansa lain Oom Gion selain kritik-kritik sosialnya.  Tim kurator menemukan potongan gambar dari majalah yang biasa digunakan Oom Gion sebagai bahan kolase. Bahan-bahan kolase itu kemudian disusun oleh Mas Heru dan ditempatkan di salah satu bidang dengan kategori “Kolase Bebas”. 

 


 

 

Rekonstruksi meja kerja Oom Gion pun hadir di tengah-tengah ruangan dengan pencahayaan tepat ke arah drawing Oom Gion yang seakan-akan sedang diselesaikan. Saat melihat rekonstruksi tersebut, Oom Gion seperti masih ada dan akan kembali ke meja kerjanya. Detail penataannya cermat. Boneka Tintin Oom Gion yang sudah kehilangan Snowy-nya bersandar di kotak peralatan. Sisa penghapus membuat kegiatan di meja kerja tersebut terlihat realistis. Demikian pula tumpukan map dan kertas-kertas yang tidak lagi baru dan kaca pembesar yang tergeletak seakan baru dipakai.

 


 

 

“Ini yang susun Anggoro,” Mas Heru menyebut nama putera kedua Oom Gion, teman mainku ketika kecil. Aku mengangguk-angguk. Aku jadi paham mengapa penempatan segala benda di meja tersebut terasa nyata dan personal. Apa yang dilihat Anggoro sehari-hari semasa Oom Gion belum berpulang tentu sudah menjadi sesuatu yang selekat itu dengannya.

 

Bagiku, “Menulis dengan Satu Jari” adalah pameran terbaik yang aku kunjungi dalam kurun satu tahun terakhir. Aku suka bagaimana kurator menaruh hormat kepada semua aspek yang membangun pameran. Mulai dari seniman dengan keseniannya, keluarga dengan pengalaman-pengalaman personalnya, tim yang terlibat, sampai pengunjung yang hadir untuk menyimak dan memahami.  Konteks dijelaskan sesuai kebutuhan agar nilai dalam karya tersampaikan dengan cara sebaik-baiknya. Tanpa harus menggunakan teori rumit dan bahasa-bahasa tinggi, pameran tersebut tak kehilangan keutuhan maknanya. Kurasi hadir laksana lampu yang memberi terang dan moderator yang memberi ruang. Itu sebabnya semua yang ditampilkan dalam pameran ini terasa pas. Ia tidak hilang fokus karena tetap diikat oleh sebuah tema besar. Dimensi-dimensi lain yang muncul tak menjadi distraksi melainkan pelengkap yang membuat tema “Menulis dengan Satu Jari” ala Oom Gion tergambarkan lebih jelas. Semua hadir sesuai porsinya dalam komposisi yang tak berlebihan, tetapi tidak juga kurang.

 

Dengan mengenal “satu jari” Oom Gion yang selama ini mungkin luput kulihat, aku justru lebih memahami “jari-jari lain” Oom Gion yang sebelumnya lebih familier denganku. Dalam“Menulis dengan Satu Jari” aku seakan kembali bercakap dengan sosoknya, tetapi dalam versi yang lebih lengkap dan ternyata relevan dengan situasi politik di Indonesia saat-saat ini. Jika kamu penasaran, silakan dikunjungi. Pameran ini masih berlangsung sampai 25 Januari 2026 mendatang.

 


 

 

Bicara soal kuasa, aku percaya Tuhanlah yang berkuasa menentukan hidup-mati seseorang. Namun, jika seni itu panjang, siapakah yang berkuasa menyudahi hidup seorang seniman selama karyanya masih tinggal?

 


 

Komentar