Hai, Wit, boleh, nggak, aku wawancara kamu untuk Salamatahari? Aku mau ngobrol tentang Timothy dan bahaya perundungan.
Wah, hayu, De, dengan senang hati.
Katanya Timothy sempat sekolah di Semi Palar, ya? Kamu kenal dia pas dia kelas berapa, Wit?
Aku kenal Timmy sejak SD-SMP di Smipa.
Dia ini anak yang kayak gimana, sih, Wit?
Timmy anak yang cerdas dan kritis, baik hati, santun, penyayang, hatinya lembut. Sedari kecil tertarik dengan sastra, filsafat, politik, dan budaya. Timmy gemar membaca dan diskusi.
Wooow. Berarti nggak heran dia aktif dan kritis juga di kampusnya, ya. Pilihan kuliahnya pun sejalan: Sosiologi. Kalau relasinya dengan teman-teman sekolahnya dulu gimana, Wit?
SD-SMP, teman seangkatan almarhum Timmy jumlahnya nggak banyak (kelas kecil). Konflik dalam pertemanan, ada banget. Dari penanganan konflik kita semua belajar banyak. Termasuk di Timmy dan teman-temannya.
Cara menangani konfliknya kayak apa, Wit?
Di sekolah berusaha untuk dibangun atmosfer, menerima keunikan satu sama lain, sambil menyesuaikan cara kita merespons teman (alias olah rasa, misal sesi-sesi bahas emosi, bersikap asertif, serta empati sama teman). Guru mencoba kenali satu persatu situasi anak, jalin koneksi sama ortu, duduk bareng cari solusi/strategi untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Bagaimana Timmy melewati proses-proses ini?
Alhamdulillah meskipun nggak mudah, tetap dengan keunikannya, almarhum Timmy berhasil menangani ketidaknyamanan yang ia rasakan, berkata jujur apa adanya, diapresiasi untuk hal-hal yang jadi kekuatannya Timmy.
Artinya sebetulnya Timmy terbiasa dengan komunikasi sehat dan terbuka di masa sekolah, ya, bukan perundungan tapi perundingan. Sekarang aku mau tanya-tanya tentang perundungan itu sendiri, Wit. Dari kacamata kamu sebagai psikolog, kenapa, sih, bisa terjadi perundungan?
Perundungan bisa dilihat dari dua sisi: pelaku dan korban. Idealnya, perundungan, apalagi di dunia pendidikan tidak bisa ditolerir. Perlu ada pendekatan dan penanganan yang serius, untuk semua pihaknya. Dari sisi pelaku maupun korban, perlu ditelaah pola asuh dan koneksi anak dengan orangtuanya. Empati dan self-esteem jadi kunci, landasan yang perlu dibangun. Dalam mode insecure, manusia bisa merespons dengan cara fight or flight. Itu jadi indikator
Apa itu fight or flight?
Pelaku, seringkali berperilaku demikian, karena pada dasarnya ia melindungi sisi rapuh dalam dirinya. Itu adalah bentuk fight. Sebaliknya korban, seringkali mengambil mode flight (menarik diri, pasif, diam).
Ok. Kalau begitu, kira-kira apa yang bikin seseorang ada dalam mode insecure?
Orang modern sering berada dalam mode insecure. Fenomena anak overthinking, ortu sibuk, koneksi anak-orangtua kurang baik, rumah tak hangat, tuntutan tinggi, dll dsb dkk hehe. Belum lagi nilai (value) dan sisi pertimbangan dalam memunculkan perilaku, yang seharusnya dibangun di rumah oleh orang tua, seringkali tidak dianggap penting dan tidak dilakukan. Nah. Anak terpapar dunia luar dan maya, dengan mengadopsi nilai yang mereka dapatkan dari lingkungannya, tanpa ada filter dari rumah.
Jadi bagaimana cara membekali anak-anak supaya nggak jadi perundung atau mampu melawan waktu dirundung?
Sisi rumah, edukasi orangtua. Koneksi sebelum koreksi. Pahami kebutuhan anak. Isi tangki cintanya. Validasi emosinya. Jadi ruang aman untuk anak bercerita.
Sisi sekolah/institusi pendidikan, perlu ada SOP atau tindakan tegas jika ada kasus. Di satu sisi, mengedukasi orangtua tentang pentingnya menanamkan nilai-nilai kebaikan (empati, kedirian anak, dsb), juga perlu dilakukan. Tak hanya fokus di olah nalar, justru pengembangan nurani dan karakter yang jauh lebih penting jadi fokus.
Aku jadi kepikir. Menurut kamu, apakah tanpa sadar masyarakat kita punya kebiasaan menormalisasi perundungan, sehingga di kehidupan sehari-hari, orang-orang yang dianggap punya kuasa bisa bersikap sesuka mereka?
Bisa jadi De, balik lagi tadi soal nilai/value.
Gimana, tuh?
Karena paparan di dunia maya juga, contoh-contoh perilaku yang ada di sana sebenarnya banyak yang nggak okey. Tapi anak nggak punya landasan dan role model yang kuat, jadi nggak bisa di-counter langsung. Belum lagi, di usia anak remaja-dewasa muda, validasi, penerimaan, atau pengakuan dari lingkungan itu jadi kebutuhan utama. Mereka bisa bersedia melakukan apa saja untuk dapet hal itu, termasuk merendahkan orang lain. Apalagi di usia lagi rebel-rebel-nya. Intinya, internet mengubah pola komunikasi dan cara berpikir masyarakat modern, De.
I see. Berarti semua dimulai dari usia remajanya juga, ya. Contoh perundungan yang terjadi karena pengaruh internet kira-kira apa, Wit?
Kalau tentang nilai dan dunia maya, misalnya tentang challenge-challenge yang beredar di sosmed, yang berujung pada tindakan menyakiti atau mengancam keselamatan diri sendiri, konten dewasa yang halus banget masuk di anime/artis K-pop, termasuk kejadian-kejadian bernuansa perundungan yang viral, lalu ditiru begitu saja. Simpulannya, ada fenomena anak muda saat ini cenderung reaktif/impulsif meniru mentah, tanpa ada pertimbangan matang, De.
Ok. Kalau begitu, sekarang bagaimana cara anak mengukur tindakannya sudah mengarah ke perundungan?
Batasnya tipis antara bercanda iseng sama merundung. Tapi begitu ada satu pihak yang ngerasa nggak nyaman diperlakukan demikian, dan nggak berani speak up (bisa karena diancam atau sungkan), itu berarti udah ngelewatin batasnya.
Ok. Itu basic dan penting, Wit. Sekarang balik lagi ke Timmy. Punya pengalaman berkesan, nggak, sama Timmy?
Yang nempel di aku, pas proses akhir SD 6. Timmy nyanyi lagu daerah, merdu, dari hati. Tapi aku lupa apa lagunya.
Ah, iya. Video dia nyanyi juga ada yang viral dan memang enak banget suaranya. Terakhir. Punya kata-kata terakhir untuk Timmy? Mungkin dari surga dia bisa dengar.
Sampai di ujung Timmy berproses di sini, kami bangga dan bersyukur, almarhum Timmy udah kuat menjalani segala dinamika proses perjalanannya. Buat kami, setiap anak yang berproses di sekolah itu anak bersama, De. Kekeluargaan itu yang dijaga dan jadi napas yang dihembus setiap harinya.
Bismillah..
Semoga Timmy damai dan tenteram dalam pelukNya.
Amiiin, Wit, amin.
![]() |
| foto: IG @semipalar |
Melalui apa yang diungkapkan Wiwit, aku jadi mendapat gambaran bagaimana Timmy bertumbuh. Ia melewati masa kanak-kanak dan remaja di lingkungan pendidikan sehat, terbiasa menyampaikan pikiran dan perasaannya secara asertif dan setara, dilatih untuk menerima dan diterima apa adanya, lantas apa yang terjadi ketika ia duduk di bangku kuliah?
Saat ini bukan siapa yang salah yang paling penting, tetapi bagaimana cara memutus mata rantai dan menggantinya dengan kesadaran yang membebaskan. Mungkin para perundung itu pun korban.


Komentar