Kausa Kuasa

Di awal masa kuliah, aku pernah menghadap wakil dekan untuk mengritik perploncoan. Aku bertanya untuk apa kami dibentak-bentak atas hal-hal tak masuk akal dan tidak diperkenankan memberikan argumen. Jawaban wakil dekan tak seperti yang kubayangkan. Kira-kira begini:

 

“Kalau cuma menghadapi yang begini mental kamu nggak kuat,  mana bisa kamu menghadapi kenyataan setelah lulus?”

 

Aku ragu-ragu, tetapi tidak sepenuhnya menerima. Di satu sisi aku yang masih mahasiswa baru memang belum tahu apa-apa tentang kenyataan setelah lulus. Namun, di sisi lain bukan kuat tidak kuatnya mental yang kupermasalahkan melainkan keharusan patuh secara absolut yang dilegitimasi oleh sistem pendidikan, perguruan tinggi pula.

 

Sempat juga aku menyampaikan pikiranku kepada salah seorang senior di kampus. Jawabannya pun tak seperti yang kubayangkan. Kira-kira begini:

 

“Kamu mikir begini karena kamu masih maba. Setelah bisa ngospek pasti kamu mikirnya beda.”

 

Aku tidak yakin apa yang seniorku katakan akan berlaku padaku. Namun, karena belum sampai di posisinya, waktu itu aku belum bisa mengambil simpulan. Aku tak punya pilihan selain menjalani masa orientasi fakultas dengan tubuh dan pikiran yang tak betul-betul rela.

 

Setelah mencapai posisi senior dan lulus kuliah, barulah aku yakin apa yang wakil dekan dan seniorku katakan memang tidak berlaku untukku. Kenyataan di luar kampus memberikan lebih banyak opsi dan ruang berpendapat. Sebagai senior yang paling senior pun aku tak pernah tertarik memanfaatkan kedudukanku untuk menindas adik kelas. Namun, setelah sampai pada posisi yang disebutkan wakil dekan dan seniorku, aku jadi melihat bagaimana pola pikir yang mereka tanamkan  membuat kekuasaan menjadi singasana iblis.

 

Di kampus, aku menyaksikan normalisasi senior yang menggunakan masa orientasi untuk melampiaskan emosi pribadinya. Menurutku, menempa mental mahasiswa baru—yang dikondisikan tak boleh melawan—adalah pembenaran konyol untuk pengecut yang justru gagal menghadapi kenyataan. Jika pola pikir ini dibiarkan bertumbuh sejak di lingkungan belajar, mengapa harus heran dengan cara negara dan banyak orang memanfaatkan kekuasaan?

 

Di edisi ini, aku akan berbagi cerita mengenai kausa kuasa. Ada pameran tunggal almarhum Wagiono Soenarto yang berbicara mengenai kekuasaan represif dengan gaya khasnya yang kritis tetapi hati-hati, ada obrolan dengan Ratri Kendra alias Wiwit yang pernah menjadi tim pendidik Timothy Anugerah Saputera, mahasiswa Universitas Udayana yang mengakhiri hidup dipicu perundungan di kampus, ada pula cerita kecil yang ditemain visual Constellation Neverland 4.0 karya Sembilan Matahari x Smijlan Space.

 

Melalui edisi 213 ini, aku tidak mendorongmu langsung bergerak melakukan perlawanan, tetapi justru mengajakmu berhenti sejenak untuk menelusuri dan memahami.

 

Kelak, ketika harus betul-betul melawan, ketahuilah apa yang memang seharusnya kamu lawan!

 

Selamat hari keseimbangan

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

 


 

Komentar