“Es kopi dalgona ada?”
“Mau coba matcha latte kami? Kami pakai matcha seremonial.”
“Es kopi dalgona aja, deh.”
Aku bukan penggemar matcha. Aku ada di barisan orang-orang yang berpendapat bahwa matcha mirip jus rumput. Namun, saat mengantarkan pesananku, Bang Arnold Simanjuntak tetap datang dengan sebotol matcha kebanggaannya dan dua sloki kecil untuk Ikanpaus dan aku. “Coba dulu,” katanya setengah memaksa. Mau tak mau aku mencobanya dan… surprise! Kombinasi matcha dan air kelapa ternyata memang istimewa. Ia tak terasa seperti rumput, wanginya segar, gurih, serta meninggalkan after taste yang sedap di lidah. Melihat ekspresiku, Bang Arnold menambahkan sesloki lagi.
Selanjutnya, kami beralih pada es kopi dalgona dengan busa gendut memuncak. “Jadi dalgona ini ada tata krama minumnya,” kata Bang Arnold. “Gimana, tuh?” tanyaku. Pertama-tama, Bang Arnold menyarankan kami menyendok dan mencicipi busanya. Pahit. Selanjutnya, kami diminta menyentuhkan sedotan ke dasar gelas. Manis. Terakhir, barulah kami diberi kesempatan mengaduk es kopi dalgona dan menikmatinya dengan cara kami. “Ini namanya shock therapy,” kata Bang Arnold. Ikanpaus dan aku tergelak.
Coco Jo Coffee adalah kedai (yang kami sangka) kecil di pinggir jalan Siliwangi, tepatnya Silwangi no. 55. Ikanpaus dan aku iseng mampir ke sana setelah lelah berjalan kaki. Tak disangka, di sana kami malah bertemu dengan banyak kejutan dan cerita.
Kedai yang selama ini kami sangka hanya sepetak ternyata terdri dari tiga tingkat. Rooftop di lantai teratas cukup luas untuk mengadakan acara komunitas sambil menyaksikan lanskap kota Bandung. Ditiup angin sambil menyesap es kopi yang unik memberikan sensasi segar menyenangkan. Kamu harus mencobanya sendiri.
Setelah menghabiskan minuman, kami kembali ke lantai bawah. Sebelum pulang kami menyempatkan diri bercakap-cakap dengan Bang Arnold yang ternyata punya cerita seru di balik Coco Jo Coffee-nya. Ia tak punya latar belakang kuliner, apa lagi barista. “Hanya background bangkrut yang aku punya hahaha,” kelakarnya.
Sebelum pandemi menghajar, selama 18 tahun Bang Arnold menjalankan bisnis penyewaan peralatan outbound. Di masa pandemi, tak ada lagi yang berangkat kemping sehingga Bang Arnold harus banting setir. Ia sempat menjual air kelapa, sampai akhirnya merasa bisnisnya “kurang ribet”.
“Hah? Kurang ribet?! Hahaha,” aku tertawa.
“Justru ribetnya, berdarah-darahnya itu yang nikmat,” tukas Bang Arnold di luar dugaan.
Rupanya, ribet tidak ribet yang ia maksud berkaitan dengan kompetitor dan keterlatihan mengatasi masalah. Semakin sederhana suatu produk, semakin banyak kompetitornya. Semakin ribet jalan yang ditempuh, semakin banyak pula ilmu yang dapat didulang saat berupaya mengatasinya.
Bang Arnold lantas memutuskan untuk merintis bisnis kopi yang bukan sembarang kopi. “Mati hidup kami di air kelapa,” tegasnya. Mengingat mati hidupnya adalah air kelapa, kopi yang ia hidangkan harus dipadukan dengan kelapa segar. Artinya, ia harus memikirkan cara menyetok kelapa, menjaga kesegarannya, menemukan kopi yang paling cocok, dan mempelajari apa yang disukai dan tidak disukai konsumen. Ia bahkan membaca artikel-artikel kesehatan agar dapat menciptakan minuman yang sehat. Sebelum betul-betul membuka kedai kopinya, ia melakukan riset yang cukup panjang.
Saat menyimak bagaimana Bang Arnold bercerita, kusadari inovasi justru menjadi bagian yang paling menarik untuknya. Laki-laki yang sempat menjadi mahasiswa astronomi ITB ini menikmati proses mencari tahu, belajar, dan bereksperimen. Ia menggandeng seorang kawan yang tampaknya sama uniknya dengan dirinya. Mang Engkus namanya. Mereka sudah akrab dan saling tahu selama lebih dari dua puluh tahun.
“Mang Engkus ini background-nya barista?” tanyaku.
“Dia segala bisa dan baik orang ini. Kalau mau tahu rahasia kami, bajak saja dia.”
“Hahaha, ok, ok.”
![]() |
| Pasti kamu bisa tebak yang mana Mang Engkus, yang mana Bang Arnold. |
Bersama Mang Engkus, Bang Arnold mengerjakan segalanya secara swadaya. Di antara mereka tak ada yang punya latar belakang desain, tetapi dengan nekad mereka menggarap segalanya sendiri. Mulai dari logo, banner, sampai bahan-bahan untuk diunggah di media sosial.
Bang Arnold dan Mang Engkus belajar dan melakukan berbagai eksperimen. Tak selalu eksperimen mereka berhasil dan tak jarang mereka menghadapi masalah di luar dugaan. Namun, rasa ingin tahu dan kecintaan pada inovasi membuat mereka pantang berhenti.
“Memangnya nggak takut bangkrut lagi, To?” tanyaku. “Ito” adalah panggilan untuk kerabat lawan jenis dalam adat Batak.
“Selama masih belum tutup, artinya masih ada pengharapan,” kata Bang Arnold yakin.
Ikanpaus dan aku tergelak sekaligus terkesan pada optimismenya.
Banyak yang diceritakan Bang Arnold hari itu. Mulai dari setiap varian minumannya yang dibagi menjadi tiga level, alasan memakai cold brew yang dipikirkan dengan sungguh-sungguh, syarat-syarat membership yang memberikan banyak keuntungan untuk konsumen antara lain kesempatan mendapat minuman gratis setiap hari, dan artikel-artikel kesehatan yang ia baca serta percobaan-percobaan yang sudah ia lakukan. Setelah melakukan riset dan eksperimen, ia berhasil membuat kopi yang tetap enak tetapi tak akan membuat kita susah tidur (ini sudah kucoba sendiri dan ternyata betul). Terus terang penjelasan Bang Arnold lumayan rumit, tetapi dapat kusimpulkan dengan sangat sederhana: Produknya istimewa.
“Kalau suka ribetnya, selama bikin usaha ini dukanya apa, dong?” tanyaku.
“Dukanya, Tuhan lama kali buka pintu rezekinya,” jawab Bang Arnold sedikit sendu.
Ia selalu yakin pada kualitas produknya sendiri. Semua yang berkesempatan mencoba produk-produknya—khususnya matcha air kelapanya yang dibuat dengan matcha seremonial—menyepakati kenikmatan rasanya. Bang Arnold tak mematok harga mahal, hanya Rp 18.000,00 per gelas. Ia bahkan masih menawarkan promosi untuk kawan-kawan yang berminat menjadi anggota Coco Jo Coffee. Lantas apa yang membuat kedainya tak kunjung ramai? Menurutmu apa, teman-teman?
Aku teringat pada es kopi dalgona yang kupesan siang itu. Bang Arnold bilang, tak banyak kafe yang mau menyediakan kopi dalgona karena proses pembuatannya yang rumit dan rentan gagal. Namun, sebagai “pencinta keribetan”, Bang Arnold berpikir sebaliknya.
Kusadari, es kopi dalgona yang ia hidangkan merangkum perjalanan bisnisnya dalam metafora. Busa yang dapat disendok di permukaan kopi terasa pahit, sementara apa yang berani kita sentuh sampai ke dasar menawarkan rasa manis. Namun, hidup bukan hanya soal pahit dan manis di puncak dan dasar. Hidup adalah kemampuan mengaduk semuanya dan menemukan rasa kita sendiri.
Aku tidak akan membagi akun media sosial Coco Jo yang mungkin akan membuatmu bingung. Kusarankan kamu langsung berkunjung ke Coco Jo, mengobrol dengan Bang Arnold yang meriah atau Mang Engkus yang irit bicara, dan buktikan sendiri semua yang kutulis di artikel ini.
Silakan meluncur. Ini tautan Google Maps-nya, ya:
https://share.google/f7H48uBxt9PASdjOE
Sepulang dari sana, ceritakan padaku pengalamanmu, ya!





Komentar