Bohlamian Rhapsody

 

Helm berencana untuk kabur.

 

Ketika digantung di motor yang diparkir di taman kota, dibiarkan terguyur hujan, sambil berhadapan dengan lampu taman, helm yang bernama lengkap Helmy Yahyaudahlahya memutuskan untuk meninggalkan motor.

 

Ilustrasi: Gemini AI

 

 “Kenapa harus kabur, sih?” tanya jas hujan yang bernama lengkap Senam Kesegaran Jashujan.

“Aku ingin menjadi lampu taman,” sahut Helmy.

“Ya nggak bisa, dong, jangan. Kita semua punya fungsi masing-masing,” cegah Senam Kesegaran Jashujan.

“Bisa. Aku dan lampu taman sebetulnya sama. Tapi dia punya bohlam, aku enggak.”

 

Setelah mengatakan itu, Helmy Yahyaudahlahya melompat turun dari stang motor. Senam Kesegaran Jashujan tak dapat lagi menahannya. Sekilas Helmy melirik lampu taman dan bertekad kembali ke sisinya jika sudah berhasil membawa bohlam. Ia akan belajar menjadi penerang seperti lampu taman.

 

Hal pertama yang dilakukan Helmy adalah menyelinap ke toko alat listrik dan mencuri bohlam baru. Ia menggelinding perlahan-lahan ke rak bohlam. Ia tak tahu bohlam mana yang cocok untuknya, maka ia mendekati sembarang bohlam yang paling masuk akal untuk dijangkau.

 

Ketika tak ada penjaga toko yang melihat, Helmy menyenggol rak hingga bergetar sedikit. Sebuah bohlam pijar tampak goyah. Sekali lagi Helmy menyenggol rak. Kali itu lebih kuat. Ketika bohlam incarannya terjatuh dari rak, buru-buru Helmy membalik diri untuk menadah bohlam. Lapisannya yang empuk membuat bohlam mendarat dengan selamat. Helmy menahan sorakan girangnya. Dengan waspada ia melihat ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada petugas toko atau pengunjung yang menangkap aksinya. Aman!

 

Sambil membopong bohlam, Helmy Yahyaudahlahya melompat-lompat kembali ke taman. Hujan sudah berhenti. Motor pasti sudah pulang bersama Senam Kesegaran Jashujan. Sementara itu, lampu taman tetap pada tempatnya bersama cahayanya yang temaram. 

 

Ilustrasi: Gemini AI


“Bagaimana caranya jadi kamu?” tanya Helmy  dengan penuh semangat.

Lampu taman yang entah siapa namanya menelusuri Helmy dengan tatapan, kemudian balik bertanya, “mana bisa?”

“Kenapa nggak bisa?” tanya Helmy lagi.

“Kamu helm. Kamu nggak punya instalasi listrik. Kamu nggak punya fitting. Kamu juga nggak tembus cahaya.  Kamu pikir, apa yang bisa bikin kamu jadi lampu taman?”

“Hei. Kita sama-sama bulat. Bentuk kita mirip. Tinggal pasang instalasi listrik apa susahnya?”

“Ck. Kenapa, sih, kamu begitu terobsesi jadi lampu taman?”

“Aku mau terang. Aku mau dipasangi bohlam.”

“Bohlam kamu sudah pulang. Boro-boro dalam keadaan terang.”

 

Bohlamnya? Yang mana? Helmy mencoba menangkap maksud lampu taman. Tahu-tahu ia teringat pada manusia yang selalu ia lindungi kepalanya. Sekilas ia mengingat momen-momennya bersama si manusia. Helmy selalu bertengger di kepala si manusia setiap kali ia menyetrika aspal metropolitan dengan roda motornya sebagai penarik ojek daring. Kadang si manusia mengantar makanan. Kadang mengantar barang. Kadang mengantar manusia lain yang bermacam-macam jenisnya. Jika berangkat pagi, si manusia mengantar anak-anaknya ke sekolah. Anaknya tiga orang. Semua dibonceng dengan satu motor. Ketika anak-anaknya berkelakar riang, si manusia tak ikut riang. Entah mengapa.

 

Kadang-kadang si manusia juga mencari jalan-jalan sepi. Ia memarkirkan motornya, menggantung Helmy di stang motor, kemudian berjongkok sambil merokok atau membenamkan wajahnya di antara kedua tungkai kaki sambil menarik napas dalam-dalam.

 

Helmy melihat adegan-adegan itu, tetapi tak pernah tahu isi kepala manusia yang dilindunginya. Bukan karena tak ada, tetapi karena Helmy memang tak pernah mau menyimak. Ia terlalu sibuk punya cita-cita lain. Ada masanya Helmy ingin menjadi pembawa acara dan direktur televisi. Ada masanya pula ia ingin menjadi balon udara. Terakhir, ia ingin menjadi lampu taman. Helmy selalu melindungi kepala si manusia, tetapi tak pernah sepenuh hati. Ia tak pernah tahu kapan kepala itu terang, kapan redup, kapan gelap, dan kapan byar pet byar pet. Tiba-tiba ia jadi ingin tahu. Menjadi terang bukan tugasnya sebagai helm, tetapi mungkin kehadirannya dapat menjaga kepala si manusia—bohlamnya—tetap terang.

 

“Aku tidak mau jadi lampu taman lagi,” kata Helmy tiba-tiba.

“Pulanglah. Ada yang lebih butuh kamu,” kata lampu taman yang masih misteri siapa namanya.

 

Helmy Yahyaudahlahya menggelinding. Di dalam perjalanan mengembalikan bohlam ke toko sebelum pulang kepada manusianya, ia menyanyi-nyanyi:

 

I see a little silhouetto of a man

Scaramouche, Scaramouche, will you do the Fandango?

Thunderbolt and lightning, very, very frightening me

(Galileo) Galileo, (Galileo) Galileo, Galileo Figaro, magnifico

But I'm just a poor boy, nobody loves me

He's just a poor boy from a poor family

Spare him his life from this monstrosity*

 

 

**

 

Lirik lagu “Bohemian Rhapsody”- Queen.

Komentar