Kedukaan

Hai teman-teman, apa kabar?

 

Akhir-akhir ini, di sekitarku hidup seperti film dengan warna-warna suram. Berita kematian datang bertubi-tubi. Cerita sedih yang mengantarnya tumbuh laksana tanaman rambat yang menjalar cepat dan kait mengait. Keputusasaan melata seperti ular yang siap melilit dan memangsa harapan. Kedukaan—dalam segala bentuknya—menjadi tema besar yang melatari masa-masa ini.

 

Hampir setiap kedukaan yang mampir kutuliskan. Sebagian kuunggah di media sosial, sebagian lagi kucatat saja di buku harian. Aku membaca kembali setiap kisah duka yang mampir belakangan ini, memilih beberapa catatan, dan memutuskan untuk menerbitkannya di zine-zine-an online edisi 211.  

 

Ada obrolan dengan kawanku, Jaja, tentang perayaan ulang tahun yang justru mengangkat tema kedukaan. Di antara berbagai pengalaman kedukaan yang kucatat, aku memilih mengunggah cerita tentang Oom Niman, kawanku yang eksentrik. Keberpulangannyalah yang memberikan rasa paling penuh untukku--duka, syukur, ingatan-ingatan paling baik yang mungkin muncul, hormat, harapan yang tetap hidup, serta rindu yang berjanji akan datang di hari-hari ke depan. Kisah peri yang kutulis terkait 17+8 tuntutan rakyat pun aku hadirkan kembali sebagai pengingat; apakah kita akan terus berjalan atau terjerumus dalam duka tak berujung karena membiarkan luka bernanah sampai busuk?  

 

Melalui kedukaan, kita selalu belajar banyak hal.

Namun, tak ada kata-kata bijaksana untuk menutup inti matahari kali ini.

 

Semoga kabarmu baik-baik saja,

Sundea


 

 

Komentar