Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seseorang yang punya banyak kelebihan. Ia cerdas, tahan banting, berbakat, dan berpotensi menjadi pemimpin. Kami mengobrol panjang dan melihat kemungkinan-kemungkinan untuk masa depannya. Namun, di setiap topik percakapan, aku menemukan seutas benang merah: Ia cenderung menghindar ketika dihadapkan pada kesempatan besar dan mimpi-mimpi yang tinggi.
Kenalanku ini masih sangat muda, masa remajanya pun belum betul-betul tuntas ia jalani. Keluguan membuat ceritanya mengalir apa adanya sehingga ia begitu mudah dibaca. Aku mengenalnya sejak ia masih anak-anak. Aku tahu apa yang sudah ia lewati, sejauh apa ia telah merantau, serta hal-hal yang ia lakukan untuk bertahan hidup. Menghindari kesempatan besar dan mimpi tinggi tak dilakukannya secara sengaja. Tindakan itu kutaksir sebagai mekanisme bertahan yang diajarkan pengalaman dan tubuhnya. Bermimpi adalah sesuatu yang tak berani ia lakukan karena inderanya harus selalu awas menangkis realita.
Pertemuan kami membuatku mempertanyakan perihal “takut ketinggian”; baik sebagai metafora maupun bukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kutitipkan pada obrolanku dengan psikolog Raissa Hadiman M.Psi, pekerja bangunan yang tak memakai alat keselamatan, serta kisah Anakberuang dan bintang yang tak mau jatuh.
Selarik ungkapan Tiongkok kuno muncul dalam ingatanku:
“Yang paling ditakuti bukan jatuh, tapi keinginan untuk terbang yang tak terkendali."
Betulkah?
Selamat Hari Keseimbangan
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Komentar