Henrycus Napitsunargo dan Segala yang Tak Sempurna

Namanya Henrycus Napitsunargo alias Icus. Fotografer, pengajar di universitas swasta, dan kurator Bandung Photography Trienale. Ia memulai perjalanan memotretnya dengan kamera analog. Namun, di dunia yang serba digital ini, ia tetap memlilih setia dengan kamera analog. Kira-kira apa alasannya?

 

Sekarang coba memperkenalkan diri dulu, Mas. Namanya siapa, kegiatan sehari-harinya apa?

Nama saya Icus. Kegiatan sehari-hari… bingung gua kalau ditanya kegiatan sehari-hari. Ini aja, deh, belajar sambil mengajar. 

 

Kalau motret dari kapan, Mas?

Mulai attached sama instrumen itu sebenarnya waktu kuliah S1 dulu, ya, di tahun ’96-an. Awalnya cuma kebutuhan, instrumen untuk survey lokasi, sample, karena gua kuliah Arsitektur waktu itu. Nah, tapi waktu survey, si instrumen lama-lama jadi bukan kayak instrumen lagi. Akhirnya jadi kayak temen aja.

 

Kenapa, tuh, bisa jadi kayak temen?

Satu, gua teh, orang yang mungkin dikira orang ekstrover, padahal introver. Parah. Yang kedua, suka aja karena even tanpa kamera pun gua suka melihat segala sesuatu cukup intens. (Adanya kamera) bikin gua berasa punya temen ke mana-mana tapi nggak perlu ngobrol.

 

Terus gimana pertemanan Mas Icus dengan Si Kamera?

Kamera sifatnya kayak ekstensi dari… mata bisa, pikiran bisa. Jadi kamera ini kayak instrumen yang ngebantu ngeliat sesuatu yang nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Ngeliat dengan mata telanjang kan suka ada distraksi kan?

 

Iya, sih.

Dengan kamera, kita bisa lebih intens dengan beberapa hal. Kadang-kadang pun kamera dibawa, tapi gua nggak motret.

 

Oh, gitu? Terus buat apa?

Jadi kadang dia hanya alasan untuk pergi keluar. Ada momen pengen jalan. Nggak motret, tapi kalau ada kamera, berasa bawa temen yang kalau ada apa-apa di jalan (seakan) bisa bantu gua. Nah, kayak gitulah.

 

Pas Mas Icus kuliah kan pakai kamera analog. Sekarang pakai digital?

Sebetulnya sampai sekarang kalau bikin karya gua masih pakai analog karena mungkin image apa pun yang akhirnya hadir, baik fotografis, hibrid, atau apa pun, hanya satu bagian kecil dari sebuah proses. Bukan sok-sokan pakai analog ini, ya, ketika pakai analog ada satu proses yang semuanya harus… slow aja, misalnya harus slow karena punya frame cuma sekian jepret. Kalau instan (seperti digital) kan terkadang kita lupa pernah motret apa saking banyaknya. Kalau cuma sedikit, kita inget kita pernah (motret apa). Jadi memori fotografisnya nggak cuma tersimpan di gambar, tapi juga di kepala. Dengan semuanya dilambatkan—sebaliknya dari sekarang yang semua dipercepat—ini jadi terapi untuk slow down sama satu proses aja.

 

Apa yang Mas Icus pilih untuk jepret dalam keterbatasan frame itu?

Kalau buat gua, alasan utama ngejepret si kamera adalah penting atau tidak (obyeknya), bukan bagus apa enggak. Kalau sekadar bagus kadang-kadang malah gua skip. Drive secara psikisnya milih mana yang penting aja.

 

Menarik, nih, jadi buat Mas Icus yang penting itu yang kayak gimana?

Tergantung pada waktu itu kita lagi relate-nya sama hal apa, lagi into-nya sama isu apa, itu cukup pengaruh, sih. Misalnya, kalau jalan kaki yang rutenya relatif repetitif gua jadi notice kalau ada perubahan; kayak ‘rumah ini, kok, kemarin ada, sekarang udah dibedeng? Ada apa, nih? Wah ini mau ada sesuatu’. Atau… kalau ngeliat monyet ngamen di perempatan yang habitatnya bukan di sana. Jadi konteksnya biasanya ada satu transisi atau perubahan, hal-hal yang mungkin nggak kelihatan buat orang yang nggak notice karena kadang-kadang cukup subtle, atau mungkin hal-hal yang dirasa ada juxtapotition-nya.

 

Kebiasaan motret sambil jalan-jalan ini mempengaruhi keberkaryaan Mas Icus? 

Foto yang kita ambil sambil jalan selalu terkait dengan ruang dan waktu, jadi kayak mencatat satu perjalanan historik aja. Kadang di waktu-waktu dekat (yang dicatat) itu belum ada artinya, tapi suatu saat nanti bisa jadi benchmark untuk melihat perubahan besar. Makanya (buat gua) berkarya juga biasanya kayak gitu. Ketika kita pernah mencatat sesuatu, mungkin di lima atau sepuluh tahun kemudian, ya (bisa) dilihat lagi. Jadi, selain melihat image-image yang ada di ruang publik atau media massa, akhirnya gua ngeliat foto-foto yang pernah gua produksi sendiri. Foto-foto itu gua maknai ulang dan akhirnya kadang direkonstruksi lagi.

 

Kalau cara kerjanya kayak yang Mas Icus ceritain gini, sebetulnya kan pakai digital bisa, nggak harus pakai analog. Kita kan tetap bisa pilih apa yang penting untuk kita foto dan apa yang enggak walau pakai kamera hp sekalipun.

Basically, gua jepret pakai hp pun jarang, sih. Bahkan sekarang, kalau pakai kamera (film) pun gua jauh lebih irit dibandng dulu.

 

Kenapa, tuh?

Mungkin ada pengaruh eksternal, di mana kita ngonsumsi image gila gitu kan, nggak tahu berapa ratus images sehari dari resources apa pun. Gua ngeriset untuk kajian kuratorial tentang image sampai takut sendiri. Di tahun 2019 Google udah menyimpan images tiga kali lipat dari jumlah penduduk di bumi. Kebayang ada berapa M? Ada kecenderungan (gua) nggak mau nambah sampah visual dalam bentuk apa pun.

 

Sampah visual?

Banyak hal yang nggak penting untuk dicatat dan kita berenang di lautan images sampai overload. Makin banyak, makin nggak kelihatan, makin tenggelam. Sekarang orang ngeliat image paling berapa detik, sih? Terus kebanyakan aktivitas kita diawali dengan foto dan diakhiri dengan foto. Contoh, kita beli baju karena lihat di foto. Ketika nggak sesuai keinginan, kita foto, terus kita kirim ke penjualnya. Mau makan, makanan kita foto. Apa pun orang lihat sebagai obyek foto sekarang. Lama-lama foto yang awalnya cuma sebagai media informasi malah jadi habit. Kalau disadari, manusia sekarang kayaknya cuma indera visualnya yang bekerja. Si visual putus di visual dan nggak dicerna lebih jauh lagi karena terlalu cepat.

 

Iya, lagi. Berarti kalau buat Mas Icus sendiri foto itu apa?

Nah, kalau buat gua, foto akhirnya jadi media kontempelasi, lebih kayak auto kritik yang mencoba membikin imun buat diri gua sendiri, sih. Lebih untuk menyeimbangkan apa yang dicerap sama apa yang dikeluarkan.

 

Mas Icus selalu pakai analog kalau berkarya?

Mostly pakai analog. Pun kalau ada digital, itu scan dari analog. Cuma, ya, nggak mengharamkan digital juga, sih, lebih ke pilihan metode mencipta yang lebih into aja. Selain proses, (gua pakai analog) karena karakteristik. Somehow pakai digital, tuh, (hasilnya) suka too good to be true. Terlalu perfect. Dia gambarnya bagus banget.

 

Karena pakai filter-filter?

Nggak usah pakai filter pun kamera digital gambarnya udah perfect banget. Nggak ada kotor, nggak ada apa, sedangkan kalau pakai analog kadang si negatifnya ada debu atau misalnya ada scratch. Biarin aja.

 

Kenapa kalau ada debu atau scratch Mas Icus lebih suka?

Mungkin karena dulu sebelum kenal kamera gua seneng ngegambar pakai charcoal dan, ya, namanya gambar charcoal nggak bisa bersih. Tapi itu bagian dari karyanya. Ada artikulasi yang pada dasarnya memang… perfect itu justru ada karena unperfect-nya.

 

Kayak manusia, ya, berarti.

Iya. Sekarang orang suka nuntut mukanya dioperasi plastik supaya simetris, padahal kata Rembrandt manusia kan wajahnya nggak ada yang seratus persen simetris, (ketidaksempurnaan) itu memang bagian (dari manusia). Itu juga yang bikin Rembrandt lighting-nya nggak pernah simetris. Dia ingin menunjukkan karakteristik tidak harus melihat dari dua sisi yang simetris. Itu keputusan artistiknya. Mungkin kurang lebih buat gua gitu juga. Ketika lihat gambar terlalu perfect tanpa gangguan apa pun rasanya kayak… tadinya kita mau menghidupkan gambar malah jadi matiin gambar.

 

Iya juga, ya, matiin gambar. Nah. Kalau contoh karya atau pameran yang pernah Mas Icus bikin dengan segala pertimbangan artistik yang Mas Icus ceritain ini, apa?

Yang dulu Dea pernah datengin di S.14. Itu selama 10 tahun motret di sekitar rumah dengan berbagai approach. Ada yang memang berbicara tentang detail satu sudut rumah, tentang ponakan, tentang bayangan, tentang Ibu, tentang apa pun yang terjadi selama sepuluh tahun itu. Tapi pada saat mau pameran gua ngeliatnya bukan secara waktu linear. Jadi ketika digambrengin semua itu kayak kita milih not untuk bikin satu komposisi lagu atau satu album. Ya udah, dipungutin aja gitu, dan akhirnya dibikin satu konfigurasi yang kurang lebih non linear. Kalau ditanya kenapa milih ini, kenapa milih itu, ya itu… intuitif banget.

 

Buat Mas Icus sendiri, apa efek yang kerasa dari bikin pameran itu?

Yang lucunya, di pameran itu gua kayak dikasih kesempatan untuk membuat komposisi atau pameran kecil yang basic-nya nggak bergantung sama teori dalam fotografi. Jadi kayak dikasih kesempatan untuk bikin sesuatu yang total tanpa intervensi artistik maupun konsep dari siapapun. Tapi, intuisi yang bergerak ketika menggarap itu sampai ke publik seninya. Malah beberapa kali pameran itu diminta untuk dipamerkan kembali, termasuk di Singapur. Ini semacam evaluasi untuk metode yang dibilang orang intuitif. Buat gua intuitif bukan sesuatu yang tanpa dasar, tapi gabungan dari emosi dan logika yang selalu ada jangkanya. Saat proses mungkin ada aspek teknis, tapi milih yang mana-yang mananya murni intuisi. Dari situ gua makin yakin, mungkin ini metode artistik yang bisa gua pakai terus.

 

Terakhir. Kira-kira kenapa di dunia yang serba digital ini, selain Mas Icus, ada orang-orang yang malah kembali ke analog?

Pertama, mungkin kejenuhan orang dengan instan. Mereka butuh delayed proces. Kedua, mungkin butuh sentuhan material setelah selama ini screen culture banget; mungkin itu juga kasih dampak psikologis tersendiri. Kayak gini, deh, kadang kita masih butuh barang yang dikasih sama orang yang kita bener-bener sayang. Sebenernya bukan barangnya, tapi sentuhan material itu yang akhirnya membantu mengingat lebih kuat. Si analog kurang lebih posisinya kayak gitu.

 

Hokeh! Makasih banyak, Mas Icus. Sekarang Mas Icus Dea foto dulu, ya.

*awkward*

 

Sini liat ke kamera.

Nggak usahlah.

 

Ya udah wkwkwkwk.

 

Hasilnya adalah foto di awal artikel ini. Bagaiamana menurut teman-teman?

 

Tidak ada akun media sosial Mas Icus yang kucantumkan di sini karena semua sudah non-aktif. "Instagram ada, tapi postingannya 0,” kata Mas Icus. Tapi teman-teman dapat menemuinya secara langsung di kegiatan-kegiatan kesenian terutama fotografi, Universitas Parahyangan, Maranatha, dan Bandung Photography Trienalle yang rencananya akan dilaksanakan akhir tahun ini. 

 

Percayalah, Mas-mas Solar Cancer ini adalah tipe teman yang klasik seperti kamera analog. 

 

Komentar