“Kalian
bentuk hiu. Kalau nggak dibawa ke laut, kalian bisa berenang kayak ikan, nggak?”
tanya Dea.
Sandal
kiri dan kanan Dea saling berpandangan. Apa yang Dea tanyain keliatannya nggak
pernah kepikiran sama mereka. Biarpun waterproof, mereka nggak pernah liat
laut. Paling jauh mereka cuma Dea ajak nyeberangin genangan banjir.
“Kenapa,
De? Mau ngajak healing ke pantai?” tanya sandal kiri.
“Oh,
bukan, bukan. Dea cuma lagi keinget sandal lain.”
Lantas
Dea cerita tentang sandal karet Dea yang ketinggalan di pantai pas Dea SD.
Begitu sadar si sandal ketinggalan, Dea nangis semaleman. Bukan karena sedih keilangan sandal, tapi karena ngebayangin mereka nunggu
dijemput Dea di pinggir pantai.
Di
rumah nggak ada yang ngerti perasaan Dea. Semua beranggepan Dea berlebihan.
Jauh-jauh balik ke pantai untuk ngambil sandal karet yang harganya nggak
seberapa, nggak masuk akal, jadi tentunya nggak ada yang mau nganterin Dea balik
ke pantai Ancol. Mungkin karena masih kecil Dea juga nggak bisa ngejelasin apa
yang Dea rasain dengan gamblang.
Di
masa itu, ada lagu Ita Purnamasari yang hits banget, judulnya “Sanggupkah Aku”.
Kalau ada di radio, Dea suka ikut nyanyi penuh penghayatan sambil nangi-nangis untuk
sandal Dea.
Kini tinggallah kenangan
Yang tak mungkin kulupa
Dan doaku untukmu
Smoga saja kau di sana bahagiaaaa
Sepasang
sendal hiu ngedengerin cerita Dea tentang pendahulunya dengan saksama.
Keliatannya mereka paham apa yang Dea rasain.
“Kamu
ngerasa bersalah sama mereka, ya?” tanya sandal kanan.
Dea ngangguk.
Meskipun peristiwanya udah lewat puluhan taun, nyeritain lagi ternyata masih
bikin Dea agak sedih. Sedikit.
“Kita
nggak bisa memperbaiki yang udah lewat,” kata sandal kiri.
“I
know,” saut Dea.
“Tapi
masa depan selalu ngasih kesempatan untuk remedial,” tambah sandal kanan.
Dea
bertatapan dengan sepasang sandal hiu Dea. Samar-samar Dea inget, sandal yang
Dea tinggal di pantai warnanya kuning juga.
----
Ini lagu "Sanggupkah Aku" yang Dea dedikasiin untuk sandal kuning.
Komentar