Sebelas
taun lalu, pas ngeberkatin pernikahan kami, Pastur Yulius sempet nanya tentang
rumah tangga dan kesusahan-kesusahannya. Dea lupa pertanyaan persisnya, tapi
Ikanpaus dan Dea sama-sama ngejawab: “Kami nggak mau mikir yang susah-susah,
Pastur”.
Waktu
itu kami pasti terdengar naif sekali. Mungkin banyak umat—apa lagi yang udah
nikah lama—diem-diem ngebatin, “Waduh, anak-anak ini belum tau aja.”
Di
taun ke-11 pernikahan, gara-gara ke gereja pagi sama mama mertua dan ketemu
saksi-saksi pernikahan kami, Ci Tina dan Ko Iwan, dialog itu tau-tau pop up
kembali di kepala Dea. Tapi, kalau dikasih pertanyaan yang sama, kayaknya
jawaban kami nggak berubah: “Kami nggak mau mikir yang susah-susah”.
Pernikahan
bisa rumit kalau mau dibikin rumit, bisa simpel kalau mau dibikin simpel. Dalam
11 taun Dea belajar, yang bikin simpel sebenernya kelapangan ruang kompromi.
Itu doang. Apapun relatif nggak harus dipikirin susah-susah kalau bisa
dibicarain dengan ego proporsional. Menariknya, semakin lapang ruang komprominya,
semakin banyak juga kami bisa belajar tentang satu sama lain almost
effortlessly; seperti tumbuh secara organik.
Di
hari ulangtaun pernikahan kami, kami mutusin untuk jalan kaki bulak-balik dari Setiabudi ke
Tubagus Ismail. Kami berenti di manapun mau
berenti dan bisa berubah arah kalau memang perlu. Dea sadar, kemudahan
berdiplomasilah yang bikin kami punya cukup energi meskipun jarak tempuh
nuntut stamina yang lumayan.
Ketika
capek, kami nggak mikir susah-susah. Cukup berenti untuk makan es krim dua rebuan sambil
duduk-duduk sebentar.
Ketika tempat makan yang kami tuju nggak buka, kami juga
nggak mikir susah-susah. Cukup cari tempat makan lain.
Ketika inget harus beli
susu dan kamper, kami yang sebenernya udah jalan ke arah rumah, nggak mikir susah-susah.
Cukup belok ke arah supermarket yang paling deket dan belanja.
Sebelum
pulang kami kehausan dan mutusin untuk jajan es di depan rumah. Cukup segelas
untuk berdua. Dea lupa nama esnya karena panjang. Lagian, begitu duduk, Dea lebih
tertarik sama air lilin yang biru kayak spiritus.
Spirit.
Us.
Sebelum
Dea nikah, temen-temen sering nanya tipe
pasangan yang Dea cari. Waktu itu jawaban Dea selalu abstrak karena Dea nggak
tau persis. Pada dasarnya Dea gampang akrab sama orang tapi nggak suka diiket.
Lucunya, ketika ketemu Ikanpaus Dea tau-tau yakin mau ngejalanin seumur idup
sama dia.
Di
tahun ke-11 pernikahan, mungkin Dea baru bisa ngejawab dengan konkret. Idup itu
dinamis, kita bisa berubah, dan hari-hari nggak selalu bisa kita duga. Jadi,
Dea cuma nyari orang yang bisa berkompromi dengan nyaman tentang apa pun seumur
idup.
Dea
belajar, kita butuh stamina untuk berjalan jauh.
Jadi,
bukankah lebih sangkil dan mangkus kalau energi kita nggak abis untuk “mikir yang susah-susah”?
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Komentar