Bonbon Bercerita tentang Rudy Zulkarnaen

Ha-low, namaku Bonbon;

Harus low, ya, karena aku kontrabas bas bas.

 



Aku tak tahu kapan aku dibuat, tetapi, aku hidup sejak mempunyai nama. Nama membedakanku dengan kontrabas lainnya. Nama membuatku punya identitas. Nama membuatku tahu, bahwa peristiwa-peristiwa dengan aku di dalamnya boleh aku daku sebagai “pengalamanku”.

 

Aku dinamai Bonbon karena partner pertamaku, Bang Rudy, harus kasbon supaya bisa membawa pulang aku. Kok kasbon? Bukan pinjol kan? Bukan, bukan, jangan khawatir. Sini kuceritakan jalan-jalan yang mengantarkan Bang Rudy kepadaku.

 

Pada Mulanya adalah Kawin Perak

Pada suatu hari di tahin 1985 kerabat Bang Rudy merayakan kawin perak.  Ayah Bang Rudy berinisiatif membentuk band keluarga. Berhubung tak ada pemain bas, Bang Rudy yang ketika itu sudah belajar gitar klasik, “dipaksa” mengisi kekosongan. 

 

Sebagai ABG, Bang Rudy ogah-ogahan. Alih-alih tampil bersama band keluarga, ia malah memilih menonton pertandingan sepak bola di tv ruang belakang acara. Lantas siapa yang mengisi posisi bas di band keluarga? Jangan tanya aku, aku juga tidak tahu.

 

Kendati begitu, band keluargalah yang akhirnya membuat ayah Bang Rudy serius terjun ke usaha studio musik: Studio Aru. Secara tidak langsung, momen kawin perak ini pulalah yang memperkenalkan Bang Rudy kepada instrumen bas.

 

Di studio Aru, dengan bas yang awalnya dibeli untuk acara keluarga (dan akhirnya di-upgrade menjadi bas yang lebih bagus), Bang Rudy berkenalan dengan banyak musisi dalam jam session. Jazz menjadi genre musik yang menarik minat Bang Rudy. John Patitucci menjadi idola barunya. Bas betot alias kontrabas menjadi instrumen yang ia idamkan. Namun, ketika Bang Rudy minta dibelikan kontrabas, jawaban ayah Bang Rudy malah begini, “Jangan! Nanti kamu main basnya jadi serius.” Yah!

 

Di masa SMA, Bang Rudy semakin aktif. Ia bermain band, mengikuti kompetisi sampai terpilih sebagai The Best Bassist, dan akhirnya mendapat kesempatan menyentuh kontrabas sungguhan milik Mas Iwan Adjie yang dititipkan di rumahnya selama sepekan. Bang Rudy tidak membuang-buang waktu. Kesempatan yang hanya sebentar dimanfaatkannya untuk mengulik kontrabas sampai belajar menyetem. Jika ceritaku dijadikan film, momen Bang Rudy dan kontrabas Mas Iwan adalah planting untuk pertemuannya dengan aku bertahun-tahun kemudian.

 

Circa 2000, setelah Bang Rudy lulus dari Arsitektur dan sedang menempuh S2 Manajemen, Universitas Parahyangan (Unpar) berencana mengadakan acara musik untuk penggalangan dana. Kebetulan Mas Avip Priyatna, pengaba Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Unpar yang mengantar PSM juara di mana-mana, baru pulang menimba ilmu di luar luar negeri.

 

Konsep acara musik kali itu sedikit berbeda dengan biasanya. Mas Avip ingin membawakan musik-musik jazz dan pemainnya harus almamater. Meskipun banyak almamater Unpar bermain bas, tak ada yang bersedia memainkan (sekaligus membawa) bas betot. Didorong kawan-kawannya, Kang Brian yang pianis dan Kang Teddy dari PSM, Bang Rudy nekad mengambil tawaran tersebut. Apakah aku yang akan dibawa? Belum, teman-teman, sabar dulu.

 

Ditemani Bang Ari Renaldi, adiknya, Bang Rudy berkeliling Bandung mencari pinjaman kontrabas. Ternyata sulit setengah mati. Di tengah keputusasaan, Bang Rudy menghampiri Mas Avip.

 

“Aduh, Mas, ini kayaknya bas betotnya belum dapet, gimana kalau saya nyerah aja? Saya juga belum biasa,” kata Bang Rudy.  

“Ya terserah, tapi, kalau misalnya (basnya) dapat dan kamu ambil (job) ini, siapa tahu kamu bakal jadi satu-satunya yang main bas betot di Bandung. Ini bisa jadi karier kamu,” ujar Mas Avip.

 

Kata-kata Mas Avip—yang seakan nubuat untuk apa yang dijalani Bang Rudy hari ini—ternyata mengguggah semangat Bang Rudy. Sekali lagi Bang Rudy mencari pinjaman kontrabas dan… DUM-DUM… Bang Rudy dipertemukan dengan Korps Musik alias Korsik TNI. Di sana bersemayam kontrabas yang jarang digunakan. Tanpa pikir panjang, Bang Rudy menyewanya. Selanjutnya ia harus kejar tayang dalam tiga hari agar bisa bermain kontrabas dalam konser di Gedung Serba Guna Unpar. Nekad? Iya. But worth trying.  

 

Pertemuan dengan Aku

Setelah punya akses ke Korsik, Bang Rudy jadi tahu ke mana harus menyewa kontrabas. Jejaring jobs bermain kontrabas pun mulai terbuka. Bukan hanya di Bandung, tetapi juga di Jakarta. Kontrabas Korsik—yang tak diberi nama seperti aku—jadi sering dibawa Bang Rudy ke mana-mana.

 

Sebetulnya diam-diam Bang Rudy sudah naksir aku. Sayangnya aku cukup mahal, 13 juta rupiah di tahun 2001. Bang Rudy menyimpan niatnya untuk membeli aku karena ia pikir masih ada kontrabas Korsik juga yang bisa disewa.

 

Tahu-tahu terjadi audit instrumen Korsik. Bang Rudy harus mengembalikan kontrabas Korsik saat itu juga, padahal ia masih membutuhkannya untuk jobs main musik yang terus mengalir. Mau tak mau, akulah kontrabas pertama yang muncul di pikiran Bang Rudy. Terpaksa Bang Rudy mencari cara mengumpulkan 13 juta rupiah dalam tempo sesingkat-singkatnya.

 

Nenek Bang Rudy adalah deus ex machina dalam situasi ini. Tahu-tahu ia hadir untuk menutupi kekurangan budget Bang Rudy, meskipun mensyaratkan kasbon. Tanpa pikir panjang Bang Rudy menyambut tawaran Sang Nenek.

 

Seperti arak-arakan lamaran, Bang Rudy menjemput aku dari Bandung ke Jakarta. Ia datang bersama sahabatnya, Kang Ammy Kurniawan, Teh Utet Herlina, serta Kang Robby yang kebetulan sedang mampir di rumah Kang Ammy. Iya, teman-teman, hanya mampir bertamu, lalu spontan diangkut ke Jakarta.

 

Momen penjemputanku ke MG Panglima Polim sungguh seru. Bang Rudy dan rombongan harus menembus kemacetan, hampir gagal membawa pulang aku karena toko hampir tutup, tetapi akhirnya berhasil meyakinkan pemilik toko untuk menunggu. Aku diasuh meskipun tidak dimanja, diberi nama, dan sebagai Bonbon, aku memulai petualangan-petualangan baru.

 


Aku ada di laman Wikipedia, lho, cek Pizzicato.

 

Kisah-kisahku

“Kenapa, ya, Bonbon bunyinya nggak jadi-jadi?” keluh Bang Rudy.

 

Di awal-awal partnership kami, jujur aku merasa sedih. Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi suaraku tak pernah betul-betul enak didengar. Aku tahu setiap kontrabas butuh beradaptasi sebelum “jadi”, tapi mengapa aku butuh waktu lebih lama dibandingkan teman-temanku? Aku mulai FOMO dan tak percaya diri. Apa lagi jika bertemu dengan kontrabas lain yang suaranya merdu.

 

Aku berusaha mengeluarkan bunyi terbaik, sementara Bang Rudy terus menerus mengecek kesehatanku. Diduga pelapisku terlalu tebal sehingga Bang Rudy memutuskan untuk mengamplas aku. Ternyata pelapisku setebal itu! Pengamplasanku tak rampung-rampung dan suaraku tetap tak berubah. Akhirnya Bang Rudy menyerah. Secara teknis aku cacat. Tubuhku belang. Namun, saat ini aku melihat kebelanganku sebagai identitas dan jejak pengalaman yang membuatku istimewa.

 

Setelah mencari tahu ke sana kemari, barulah diketahui bahwa masalahku ada pada fingerboard. Tubuhku masih lumayan, terbuat dari ply wood Ceko, tetapi fingerboard-ku payah. Aku butuh kayu eboni yang di masa itu entah harus dicari di mana. Lagi-lagi deus ex machina. Muncul penjual kayu eboni murah dan tentu saja Bang Rudy segera menyikatnya.

 

Aku dioperasi Pak Juhana yang kini menjadi dokter ahli reparasi akustik di Bandung. Fingerboard-ku menjelma kayu eboni.  Kayu eboni yang keras membuat suaraku tak bocor ke fingerboard dan dapat sepenuhnya diupayakan body. Suaraku yang terdengar hidup membuatku percaya diri. Operasi besarlah yang akhirnya secara signifikan mengubah aku.

 

Selama 14 tahun bersama Bang Rudy aku mengalami kisah yang seru maupun sendu. Aku pernah dipakai latihan oleh Ron Carter, pemain kontrabas pujaan Bang Rudy, pada Java Jazz 2007. Apakah Bang Rudy berkesempatan mengobrol banyak dengan Ron Carter saat menemaniku latihan? Oh, tidak, teman-teman, hanya AKU yang punya momen intim dengan Ron Carter. Bang Rudy malah ada urusan lain di Bandung.

 

Aku juga pernah ditandatangani Mark King, pemain bas Level 42 yang juga idola Bang Rudy. Sayangnya tanda tangan Mark King yang tertera di tubuhku tak bisa dilapis seperti pada bas elektrik. Aku yang kontrabas cukup sensitif. Pelapis akan berpengaruh pada suaraku yang sudah susah-susah diupayakan “jadi”. Akhirnya Bang Rudy dan aku harus merelakan tanda tangan Mark King memudar sampai tinggal kenangan.   

 

Sepertinya suaraku menyisip di banyak sekali album musik. Aku menemani Bang Rudy merekam album 4 Peniti, main bersama Simak Dialog, dan menemani Tulus sejak album pertama. Aku paling senang ketika menemani Tulus membawakan “Tanggal Merah” di album Gajah.

 

Namun, aku juga pernah merasa sesak. Tahun 2005, aku dipinjam pemain bas senior, Om Perry Pattiselanno, untuk tampil bersama Om Bubi Chen di Selasar Sunaryo. Om Perry dan aku bersenang-senang. Kami cepat akrab dan aku tahu Om Perry menyukai aku. Setelah konser selesai, Bang Rudy dan Om Perry mengobrol.

 

“Masih suka reguleran di Hyatt, Om?” tanya Bang Rudy.

“Masih, ini sebentar lagi saya mau main di Hyatt Yordania. Nanti kalau saya ke Bandung lagi, pinjam bas betotnya lagi, ya,” sahut Om Perry.

 

Aku sangat tersanjung. Rasanya ingin berbunyi “dum, dum, dum, dum” tak henti-henti. Aku tak sabar menanti kesempatan bermain kembali dengan Om Perry. Namun, dua minggu setelahnya kami mendapat berita tentang bom bunuh diri di hotel Hyatt, Yordania. Om Perry dikabarkan tewas sebagai korban. Publikasi di media memuat foto-foto Om Perry, salah satunya adalah foto bersama aku.

 

Sejak mempunyai nama dan mengumpulkan pengalaman, baru saat itulah aku mengerti: Memilih hidup artinya memilih siap berhadapan dengan maut yang dapat memisahkan sewaktu-waktu.

 

foto: Liputan6

Berpisah dengan Aku

Namun, di dalam hidup, ada juga perpisahan yang tak semencekam maut.

 

Kurang lebih sepuluh tahun lalu, saat menemani Kak Adis, istrinya yang berprofesi sebagai pemain drum, ke toko musik Tiga Negeri, Bang Rudy berjumpa dengan kontrabas lain yang memikat hatinya. Setelah bertimbang, akhirnya Bang Rudy memutuskan membeli kontrabas ini.

 

Bang Rudy dan Kak Adis

Tak mungkin memelihara dua alat musik seraksasa kontrabas di rumah. Salah satunya—sudah pasti aku—harus pergi.

 

“Yah, kok dijual, sih, Bang?” tanya Tulus sedih ketika tahu Bang Rudy berniat menjual aku. Aku sudah menemani Tulus sejak album pertama, maka, aku pasti punya arti juga untuknya. Untungnya takdir bersikap pengertian. Aku dibeli oleh Sindhu Banyusekti, pemain bas Tulus selain Bang Rudy. Jadi, aku tidak terasa terlalu jauh dari Tulus dan sirkel yang mengasuh aku selama ini.

 

Namun pada akhirnya aku lebih banyak menginap di rumah musisi Tesla Manaf. Mugkin bagi Sindhu tidak praktis membawaku tur bersama Tulus. Tak ada waktu juga untuk berlatih denganku di tengah jadwal yang begitu padat. Kusadari, masa-masa menginap di rumah Tesla adalah masa transisi sebelum aku berpindah ke tangan lain, lalu tangan lainnya lagi, hingga sampai kepada Parahyangan Orchestra (Parchestra) tahun ini. Takdir tak hanya bersikap pengertian, tetapi juga penuh dengan kejutan.

 

Bertemu Kembali

Aku dibeli Parchestra menjelang konser Parikrama bersama Kang Dwiki Dharmawan dan teman-temannya. Katanya Parikrama adalah proses spiritual mengelilingi bangunan suci. Konser ini diadakan dalam rangka 70 tahun Unpar dan 40 tahun Kang Dwiki berkarya. Konsepnya, meskipun sudah berkeliling dunia, baik Unpar maupun Kang Dwiki kembali ke titik perjalanan awal mereka: Tanah Parhyangan.

 

Saat mendengar orang-orang membahas Parikarama, kusadari konsep ini relevan juga untuk Bang Rudy dan aku. Setelah berkeliling dari satu tangan ke tangan lainnya selama sepuluh tahun, aku kembali dimainkan Bang Rudy. Bisa-bisanya aku sampai ke tangan Parchestra persis menjelang konser Parikrama, ketika Bang Rudy punya waktu di tengah jadwalnya yang padat, dan ketika Kang Dwiki memang sedang membutuhkan kehadirannya. Takdir memang lucu.

 

Namun, ada yang berbeda di jalan hidupku kali ini. Setelah bertahun-tahun menjadi kontrabas untuk lagu-lagu jazzy, berdialog dalam jamming sessions, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, bersama Parchestra aku akan berkenalan dengan kebiasaan baru sebagai kontrabas orkestra. Episode ini ditandai dengan berganti senar. Kini aku punya senar baru yang lebih cocok untuk digesek, sementara senar jazz yang kujaga baik-baik dalam sepuluh tahun dikembalikan kepada Bang Rudy.

 


Kehidupan dan kesadaranku dimulai ketika aku diberi nama, ketika aku punya identitas yang lebih spesifik daripada sekadar kontrabas. Namun, aku dapat membaca jalan-jalan yang mengantar Bang Rudy menuju aku melalui interaksi kami, caranya memainkan aku, cerita instrumen lain yang ada sebelum aku, dan jejak-jejak nada yang tersebar di mana-mana. Itu sebabnya aku dapat menyampaikan kisah panjang ini kepadamu.

 

Bang Rudy tidak pernah berbicara kepada benda, kalau begitu, benda ini saja yang akan berbicara kepada Bang Rudy:

 

Bang Rudy, Bonbon bakal baik-baik saja di rumah baru. Di sini Bonbon dipelihara dengan telaten dan sepertinya akan menetap lama. Terima kasih untuk pengalaman empat belas tahun yang bikin Bonbon jadi kontrabas tergaul di Bandung. Sekarang Bonbon mau belajar hal-hal baru.

 

Salam buat Dipi, adik Bonbon yang baru punya nyawa karena baru dikasih nama. Selamat memulai petualangan dan cerita baru bersama Dipi.

 

Sampai bertemu lagi kalau takdir membawa kita ke jalan-jalan yang beririsan.

 

Dum, dum, dum.

Bonbon

(yang nggak lagi berstatus kasbon karena akhirnya jadi hadiah dari Nenek). 

 




 

Komentar