Teman-teman, dalam rangka Hari Angkutan Nasional 24 April, aku mengunggah dua tulisan tentang hal-hal asing dan angkutan umum. Bagiku, angkot adalah kotak kecil berisi semesta. Rubrik "Opletten" pun dibuat karena aku menemukan banyak sekali bahan cerita menarik di dalam angkot.
Sehari-hari, kamu berkendara apa? Mau coba naik angkot hari ini?
Dari Kucing ke Kuching
Bau tai kucing yang tersiram hujan tahu-tahu
merebak. Angkot yang tidak bergerak membuat aroma itu leluasa mencekik Dea.
Untungnya, Bapak di hadapan Dea segera mengambil balsam dari tas kecilnya. Ia
menggosok kakinya yang digigit serangga.
Sengit tai kucing kalah. Aroma mint
balsam berhasil menyelamatkan keadaan. Meskipun tidak bermaksud, dengan
menggosokkan balsam, si Bapak sudah berbuat baik kepada Dea.
Hari itu Cihampelas lebih macet
daripada biasanya. Angkot yang Dea tumpangi mencoba mencari jalan pintas dengan
memasuki jalan tikus yang tembus ke Rumah Sakit Advent. Alih-alih lebih cepat, kami
malah semakin terhambat. Kemacetan membuat mobil-mobil berjajar nyaris seperti
parkir di sepanjang jalan sempit tersebut.
Setelah hampir empat puluh lima
menit, akhirnya kami berhasil melintasi Rumah Sakit Advent. Istri Bapak Balsam
di hadapan Dea mengamati rumah sakit, kemudian tiba-tiba bertanya kepada Dea,
“Ini rumah sakit kerajaan?”
“Eh … umh … bukan.”
“Jadi privat?” tanyanya lagi.
“Iy … iya. Privat.”
Bapak Balsam mencolek istrinya, “Tak
de kerajaan di sini, pemerintah.”
“Tapi faham kan?” Istri Pak Balsam
tersenyum kepada Dea.
Dea membalas dengan senyuman juga.
“Ibu sama Bapak dari Malaysia, ya?” tanya Dea.
Suami-istri itu mengangguk.
Selanjutnya kami terlibat obrolan
yang menyenangkan. Ternyata Bapak dan Ibu dari Malaysia itu akan turun di
Purnawarman, satu tujuan dengan Dea.
“Kami nak pegi ke Gramedia. Cari buku Islam yang sudah
terjemahan. Di kami tak ada,” kata Pak Balsam.
Suami-istri itu menyebutkan tempat
asalnya, sebuah kota dengan konsonan “S-B” yang tak dapat Dea tangkap dengan
jelas bunyinya. Kendati begitu, Ibu lain di angkot segera menangkap nama itu.
Ia yang tadinya tidak memperhatikan kami dan asyik melempar pandang keluar
jendela tiba-tiba melibatkan diri dalam pembicaraan.
“Suami saya sudah tujuh tahun di
Malaysia. Di Petaling Jaya.”
“Dekat tu dengan kami,” tanggap
suami-istri dari Malaysia itu bersemangat.
Obrolan menjadi semakin meriah.
Penumpang angkot yang kebetulan memang hanya kami berempat menjadi akrab. Pasangan
suami-istri dan Ibu Kerudung Ungu itu membahas indahnya Petaling Jaya,
makanan di sana yang mirip masakan Padang, dan jarak antara Petaling Jaya dan
kota “S-B” yang cukup dekat. Dea menyimak dengan saksama.
“Ibu sering, dong, main ke Malaysia?”
tanya Dea kepada Ibu Kerudung Ungu.
“Ah, enggak, Neng, suami pulang
setahun sekali…”
Tiba-tiba Pak Balsam menyambar, “Di
Malaysia banyak orang Indonesia berkawin lagi dengan orang Malaysia.”
Ya elah, Bapak ini fales banget, dah,
komentarnya, batin Dea.
“Iya. Istri di Indonesia tak dicerai.
Jadi ada istri di sini, ada istri di sana,” timpal istri Pak Balsam.
Kecemasan terbit di mata Ibu Kerudung Ungu. Sejenak ia menyembunyikannya dengan kembali membuang pandang
keluar jendela.
“Nggak semua begitu kok, Bu, yang
baik dan setia juga banyak,” Dea mencoba menetralisir suasana.
Ibu Kerudung Ungu mengembalikan
pandangannya kepada kami, “Iya. Alhamdulillah suami saya udah tujuh tahun mah
nggak pernah apa-apa. Baik. Setia. Suka telepon ke saya.”
Selanjutnya Ibu Kerudung Ungu
bercerita banyak tentang suaminya seperti menenangkan dirinya sendiri. Di sela
cerita, kami jadi tahu anak perempuannya juga tinggal dan bekerja di Petaling
Jaya, megurus dan memperhatikan ayahnya menggantikan ibunya.
“Amanlah tu,” komentar istri Pak
Balsam.
Ibu Kerudung Ungu tersenyum,
tampak lebih tenang.
“Yang penting kuat imannya,” tambah
Pak Balsam.
Sejenak kami kehabisan bahan
pembicaraan. Masing-masing sibuk memperhatikan jalan dengan pikiran
masing-masing. Tahu-tahu istri Pak Balsam bertanya lagi kepada Dea, “Kapan
bila?”
“Bila?”
“Maksudnya sampai, kapan sampai,” Ibu Kerudung Ungu menerjemahkan.
“Ooo … sebentar lagi, Bu. Nanti turun
bareng aku, kok. Aku kasih tahu kalau udah di Gramedia, ya …”
Sebentar kemudian “bila”-lah kami di
tujuan. Suami-istri dari Malaysia dan Dea turun di daerah Purnawarman,
sementara Ibu Kerudung Ungu masih akan melanjutkan perjalanannya.
Kami saling melambai, mengucapkan
doa-doa baik semacam “hati-hati di jalan”, dan kembali menjadi orang-orang
asing bagi satu sama lain. Suami-istri dari Malaysia masuk ke Gramedia,
sementara Dea berbelok ke Bandung Electronic Center, di seberangnya. Di lantai
teratas Dea membeli minuman khas Negeri Jiran: Air Mata Kuching.
Kesejukan Air Mata Kuching dan kisah
perjalanan hari itu tersesap bersama-sama. Sore itu Dea menyadari satu hal. Betapa
perjalanan kerap mengikat kita dengan benang-benang merah yang mudah retas.
Bandung, 2018
Bahasa Asing
Di dalam angkot Kalapa-Ledeng, Pak
Supir bercakap seru dengan kawan di sampingnya. Bahasa Sunda sehari-hari
membuat obrolan keduanya terdengar nyaman dan akrab.
Meskipun sudah dua puluh tahun lebih
tinggal di Bandung, kusadari bahasa Sunda masih menjadi bahasa asing untukku.
Ketika sedang merenungkan alasannya, tahu-tahu aku mendengar kalimat bahasa
Sunda yang dapat kupahami:
“Nu
bahaya lamun panon bolotot, tapi
batin sare!”
Tak lama kemudian aku tiba di tujuan
dan turun dari angkot. Kalimat itu kujadikan kutipan sepanjang hari. Semoga
kita selalu dipelihara dalam kesadaran. Semoga batin kita tak tercuri oleh
lena.
Selamat Hari Angkutan Nasional!
Bandung, 2024
Komentar