“Selamat datang kembali, ‘Kamera Ria’,” gumamku spontan ketika RUU TNI resmi disahkan. Terdengar agak random dan absurd, tapi di tengah riuh rendah polemik peristiwa ini, aku seakan mendengar suara Endang S. Taurina bersahut-sahutan dengan anak-anak kecil:
“Untuk ABRI”
“Terima kasih”
“Untuk ABRI”
“Terima kasih.”
Ingatanku terlempar ke masa kecilku di tahun ‘80an. Aku tumbuh diasuh televisi sehingga acara-acara TVRI hidup dalam core memory-ku. Aku hafal hampir semua acara musik yang tayang rutin di TVRI berikut ciri khasnya.
“Kamera Ria” adalah salah satu acara musik yang kuingat dengan jelas. Ia tayang malam hari, selepas “Dunia Dalam Berita” dan dibuka dengan mars ABRI diiringi piano. Tidak seperti “Selekta Pop”, “Aneka Ria Safari”, atau “Album Minggu” yang meriah berwarna-warni, visual pembuka “Kamera Ria” cenderung formal dan jauh dari fancy.
Tak hanya menampilkan lagu-lagu yang populer pada zamannya, “Kamera Ria” pun menyuguhkan kegiatan-kegiatan ABRI, selingan lawak dengan sisipan pesan-pesan tertentu, dan ibu-ibu berambut sasak bermain kolintang. Melalui “Kamera Ria” pulalah aku mengenal lagu-lagu pop ABRI, antara lain “Manunggal Selamanya” yang dibawakan Endang S. Taurina itu.
Saat masih anak-anak, aku melihat menu “Kamera Ria” sebagai kewajaran saja. AMD atau ABRI Masuk Desa (ada lagunya juga!) adalah informasi yang diulang-ulang sampai menancap dalam memori. Meskipun tak ingat narasinya, tayangan-tayangan ABRI yang kusaksikan di “Kamera Ria” meninggalkan kesan heroik dan simpatik. Di era kejayaan “Kamera Ria”, Indonesia terasa tenang dan damai-damai saja.
Di usia praremaja, aku mulai menyadari hal-hal yang tersembunyi di bawah lapisan gula “Kamera Ria” dan orde baru. Apa yang terkesan dama-damai saja laksana kisah-kisah kelam bersalut icing sugar. Aku sudah cukup besar untuk menyimak percakapan orang dewasa, kritis menilai kebijakan yang kuanggap tak masak akal, dan berani menanyakan hal-hal yang kurasa ganjil.
Namun, kesadaran “bahaya gula” hanya dapat dibicarakan di kalangan sendiri, tak boleh ditulis untuk majalah sekolah sekalipun. Segala yang tersembunyi harus dibiarkan tersembunyi. Humor-humor gelap beredar di bawah tanah. Kritik adalah sesuatu yang mengancam nyawa.
Aku tak lama-lama berada dalam kebingungan, sebab, saat aku betul-betul menginjak remaja, datanglah reformasi yang menguliti segala lapisan gula. Rezim digulingkan. Dwifungsi ABRI dicabut pada masa pemerintahan Gus Dur. Pemisahan TNI dan Polri membuat istilah ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia memudar dari kosakata sehari-hari. Perlahan-lahan icing sugar mencair. Humor-humor gelap dapat dicandakan di mana saja bahkan beredar di televisi. Media sosial membuka banyak ruang untuk berpendapat, berdebat, dan melemparkan kritik. Media menawarkan sudut pandang yang beragam. Keberhasilan reformasi 1998 membuat mahasiswa kian bangga dengan kekritisan, keaktifan, dan keberanian menyuarakan sudut pandang segar idealisnya.
Tak ada lagi ketegangan untuk bicara apa saja kepada siapa saja. Cairnya “gula-gula” mendidik kita berdemokrasi. Kita dihadapkan pada aneka kadar dan rasa yang terbuka. Segala informasi melatih kita menimbang, mengukur, dan memilih. Secara langsung maupun tidak, banyak perubahan yang terjadi akibat keleluasaan ini. Aku sampai lupa, aku pernah hidup di era “Kamera Ria” berikut icing sugar tebalnya, hingga berita pengesahan RUU TNI beberapa waktu lalu menyeretku kembali. Pelan-pelan ingatanku merayap dari masa kanak-kanakku menuju hari ini. Aku melihat betapa jauh sesungguhnya kita telah bertumbuh karena tak dipaksa bungkam oleh kekuatan senjata.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, yang aku tahu, diabetes—penyakit akibat kadar gula berlebih—dapat merampas fungsi pengelihatan, mengakibatkan kelumpuhan, bahkan termasuk silent killer paling berbahaya, terutama jika abai dideteksi.
Lantas, kita akan ke mana?
Komentar