![]() |
foto: Ruri |
Tema “yang Manis-manis” di edisi 204 mengantarku kepada seorang seorang cicik-cicik manis yang punya segudang aktivitas. Tunggu dulu. “Manis” atau “bittersweet”, nih? Coba simak obrolan kami.
Hai, Cik, boleh kenalan, nggak? (Pura-puranya kita belum kenal).
Boleh. Nama aku MF Rani Shinta Hapsari, biasa dipanggil Rani. Kalau temen yang kenal dari Twitter atau IG, panggilnya Francessa :)) Mana aja boleh.
Aku panggil Rani aja kalau begitu. Sekarang kegiatannya apa, Ran?
Kegiatan sekarang ini aku kuliah lagi ambil Master's Programme in Scriptwriting and Copywriting di Universitas Kristen Petra Surabaya. Aku juga lagi magang di satu OTT (Over-The-Top alias platform streaming) Jakarta, berhubungan dengan scriptwriting. Selain itu juga lagi ngembangin ideation creative work (scriptwriting) dari tesis aku dengan nyusun pitch deck-nya. Kegiatan lain berkebun, wkkwkw, ini karena punya usaha di bidang itu juga.
Baiklah. Berhubung www.salamatahari.com kali ini temanya “yang Manis-manis”, apa yang ada di pikiran lo pas dengar kata “manis”?
Kata “giyung” (terlalu manis) wkwk, kata pertama bahasa Sunda yang aku tahu.
Ahahaha, ya udah, kalau gitu supaya nggak giyung, apa yang kepikiran sama lo pas dengar kata “bittersweet”?
Bittersweet itu menurutku keseimbangan, mawas diri, dan pemulihan.
Kenapa, tuch?
Hal ini aku belum tulisin, De. Spill pertama deh di www.salamatahari.com (ciye!).
Asyik. Boleh, dong...
Minggu lalu, aku tiba-tiba demam dan Thomas, suami aku, nyaranin buat ke UGD. Dia bilang kalo mau bawa aku ke RS Borromeus. Aku coba ngehindar supaya aku nggak perlu ke UGD atau pilih RS lain. Pokoknya engga mau ke RS Borromeus, kata aku dalem hati, karena aku punya dua kali pengalaman yang terlalu sedih di UGD RS Borromeus.
Berhubung aku nggak bisa kasih alasan yang kuat ke Thomas, akhirnya aku nurut aja. Sesampainya di sana, UGD sepi, dokter jaga nggak pakai lama langsung periksa+kasih info sangat jelas tentang prosedur pemeriksaan lab yang harus aku jalanin, perawat gercep ambil sample darah, dan Thomas juga mondar-mandir urusin administrasi perawatan aku sampai beliin roti buat sarapan meski ngantuk-ngantuk. Akhirnya, karena kondisi kurang baik aku opname dan masuk kamar perawatan. Sampai sini Thomas juga masih mastiin aku sampai bener-bener dapet kamar rawat, baru dia pulang. Subuh itu, semua hal bitter tentang UGD Borromeus selama 7 tahun terakhir kaya kehapus sama hal sweet dalam beberapa jam.
![]() |
foto: Elan Budikusumah |
Akhirya sweet dong, ya, berarti?
Belum selesai ceritanya. Pas agak siangan dan masuk ruang rawat, aku mau ke toilet dalam kamar rawat. Ternyata di situ ada jendela yang menghadap ke Kapel RS Borromeus. Aku inget 5 tahun lalu di dalem kapel yang sama aku pernah doa sambil nangis kejer berharap temen aku, Donny, bangun dari koma. Tiap hari, setiap ke toilet, mau nggak mau nampak kapel itu dan aku kayak mengulang kejadian itu. Udah engga nangis sedih, cuma menghela nafas aja. Tapi, ada satu hari, pas aku ngeliatin Kapel Borromeus dari jendela ruang rawat agak lama, yang keinget itu kejadian setelahnya. Waktu itu di luar pintu, temen aku yang lain, namanya Didut (yang udah almarhum juga sekarang), berdiri sambil nge-vape santai gitu. Aku nanyain donk kenapa dia nongkrong-nongkrong di depan kapel. Dia bilang kalau (dia) pengen tau lokasi kapelnya di mana dan ngajak balik ke ruang tunggu pasien. Dia tau aku emang lagi down banget waktu itu dan lagi melipir ke kapel karena aku waktu itu rasanya sendirian banget. Almarhum Didut mastiin aku engga sendiri tanpa bilang kalau selama aku di dalem, dia lagi nemenin dari luar kapel. Hari itu aku disadarkan kalau ada hal manis yang samar-samar di situasi terpahit sekalipun.
Ini sungguh bittersweet. Akhirnya ini lu ceritain ke Thomas, nggak? Ini kan sebetulnya alasan kuat lo nggak mau ke Borromeus.
Iya. Sepulang dari RS, aku cerita ke Thomas tentang bitterweet story ini. Dia bilang, itu namanya aku lagi dapat “pengalaman cinta”. Dari ruang UGD Borromeus dan Kapel Borromeus, bittersweet ini adalah tentang “pemulihan”, meskipun aku pribadi butuh waktu 7 tahun, De.
I see. Bagus, ya, ungkapan “pengalaman cinta” ini. Mencakup seluruh aspek peristiwa dan emosinya. Btw tulisan-tulisan lu juga cenderung bittersweet, ya?
Iya, haha...
Kenapa itu?
Nah, kalo kenapanya aku mungkin cerita di awal mulanya kali ya.
Please diceritain.
Aku mulai nulis itu 2012 setelah dipaksa dua orang temen, namanya Rendi dan Husni. Literally dipaksa :))) Rendi waktu itu lagi suka nulis blog. Terus dia nyuruh aku bikin Wordpress biar bisa saling blog walking karena dia ngerasa kalau aku curang wkwk..
Hah? Kok curang?
Aku bisa baca tulisan dia terus, tapi dia nggak bisa baca tulisanku. Kalau Husni, dia ngasih tulisannya ke aku dan dia minta aku ngelanjutin tulisannya. Dan itu kudu dikasih wkkw. Waktu itu mereka minta aku nulis hal sehari-hari aja. Karena saat itu lagi patah hati, tentu saja aku nulis keresahan sehari-hari :p Nggak tau kenapa, di masa-masa itu rasanya empati dan observasi aku jadi terasah, nggak maen-maen. Bahwa di hal apa pun, there’s always two sides of story. The sweet one, and bitter one. Tinggal kita mau kasih dominan POV yang mana. Akhirnya, hal-hal “seharusnya” yang engga mungkin terjadi ke kenyataan, aku tulis dalam bentuk fiksi yang tersirat. Kenapa tersirat? Karena waktu itu aku nggak mau ketauan keluarga aku kalau aku nulis.
Jadi blog ini cuma untuk pergaulan bersama Husni dan Rendi akhrinya?
Akhirnya nggak juga. Karena punya blog dan disuruh rutin kirim tulisan selama 2012, awal tahun 2013 aku coba ikut @PosCinta 30 hari menulis surat cinta via Twitter. Aku kirim dengan tulisanku ke Kang Pos dengan gaya tulisan two sides of POV itu, sejujur mungkin, tapi tetep tersirat dengan kalimat prosa liris/ fiksi fabel. Eh, kok ternyata pada relate, eh kok ada yang tersentuh. Kuperhatiin lagi, ternyata ada pasarnya, gaes HAHAHA…
HAHAHA. Okeh. Boleh cerita salah satu contoh ceritanya supaya pemirsa ada gambaran? Siapa tau ada yang relate.
Satu cerita ini adalah tulisan awal-awal pas ikut Pos Cinta 2013 itu. Waktu itu domisili aku masih di Jakarta dan lagi musim hujan. Tempat tinggal aku lumayan langganan banjir. Pagi itu, hujan semaleman ternyata engga bikin banjir, cuma bikin selokan penuh air. Literally sejajar permukaan jalan tinggi airnya. Beberapa temen kost bersyukur hari itu karena mereka ga kerepotan buat berangkat kerja. Sore-sore pas pulang kerja, setelah turun dari halte TransJakarta, aku jalan kaki menuju kost. Aku liat selokan ternyata masih penuh air. Ada kali 30 detik aku diem liatin got itu. Sampai kost, aku nulis tentang orang-orang yang bersyukur di atas penderitaan tikus-tikus got, ular welang, kecoak, dan biawak yang ga bisa pulang karena rumahnya kebanjiran. Bukankah tikus got itu juga sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang punya hak hidup? Aku sebut binatang-binatang itu sebagai kaum yang terpinggirkan dan harus berjuang sendirian. Ini yang aku maksud tentang keseimbangan dan mawas diri. Apa iya kita ini sedang bersenang-senang di atas penderitaan makhluk lain? Tulisannya ada di sini.
Meskipun momennya nggak patah hati lagi, apa yang bikin tulisan lo tetep cenderung bittersweet?
Yang aku bisa jawab, mungkin ada hubungannya sama kadar kesinisan seseorang. Biar engga saling merugikan, kesinisannya dimonetisasi jadi fiksi aja yuk wkkwkwk.
Hahaha, secara ada pasarnya, ya. Menurut lu, apa yang bikin orang kadang malah relate ke yang bittersweet daripada yang sweet?
Mungkin kayak yang aku bilang tadi. Karena bittersweet ini menjadikan kita lebih seimbang melihat kejadian, lebih mawas diri dalam melakukan perjalanan, dan mengalami pemulihan dalam waktu yang kita sendiri tentukan.
Baiklah. Sekarang kita ngomongin hal manis. Selain yang bittersweet, ada, dong, pengalaman hidup yang lo kenang sebagai pengalaman termanis.
Ada dua, De. Yang pertama pas Papa bilang ke aku, sebulan sebelum beliau meninggal, “Pokoknya apa pun yang kamu putusin, Papa dukung dari belakang.” Kalimat itu selalu ngasih ruang lega waktu banyak orang ngeraguin apa yang lagi aku jalanin.
Yang kedua, beberapa tahun setelahnya tiba-tiba Mama bilang ke aku, “Mama minta maaf, ya. Soalnya Mama itu bukan mama yang sempurna.” Kita waktu itu juga lagi baik-baik aja dan saat itu aku udah mulai mengerti pengalaman masa kecil Mama. Sebenernya aku nggak perlu pernyataan itu, but I do appreciate it a lot.
![]() |
foto: Elan Budikusumah |
Tetep ada nuansa bittersweet-nya sedikit, ya, bukan yang giyung gitu. Okeh. Terakhir. Punya pesan apa buat pembaca www.salamatahari.com?
Bittersweet, mau kasih dominan POV yang mana?
Bagaimana, Pemirsa, mau kasih dominan POV yang mana? Kamu sendirilah penentunya. Semoga kita menemukan jalan untuk pulih dari peristiwa bitter yang menggigit hidup kita. Take your time. Sepanjang apa pun perjalanannya, bawalah mawas diri sebagai kawan perjalananmu.
Penasaran dengan tulisan-tulisan bittersweet Rani? Jangan ragu-ragu mampir ke https://justcallmefrancessa.wordpress.com/. Siapa tahu ada yang relate dengan hidupmu.
Komentar