Mendukung Na Willa Tiga Periode

 “Hai, aku Na Willa.”
“Aku juga.”
“Aku juga.”
 

Tiga eksemplar buku menghampiri aku. Sebundel berwarna kuning gading, bundel lainnya hijau tentara, bundel lainnya merah marun.
 
“Kami kakak beradik,” kata mereka bertiga kompak.
“Siapa yang paling besar?” tanyaku.
“Dia,” buku hijau dan merah marun menunjuk buku berwarna kuning gading.
“Tapi dia yang paling muda. Aku yang paling tua,” tambah buku merah marun.
“Tunggu, tunggu. Kok bisa?” saat aku menggaruk-garuk kepala, ketiga Na Willa tertawa berderai.
“Sini kujelaskan,” kata Na Willa hijau.
 
Ketiga Na Willa adalah anak-anak Ibu Reda Gaudiamo. Si sulung kuning gading yang paling muda bernama “Serial Catatan Kemarin”, adiknya, si hijau yang sedikit lebih besar, bernama “Dan Rumah dalam Gang”, sementara si bungsu merah marun yang justru paling banyak usianya bernama “Dan Hari-hari Ramai”. Mereka menceritakan keseharian gadis kecil bernama Na Willa yang bertumbuh dari waktu ke waktu. Urutannya linear sesuai tahun, terkecil sampai terbesar.
 
“Kami bisa dibaca secara acak, tetapi akan lebih enak jika bertahap,” kata Na Willa merah marun.
“Sebaiknya kamu mulai dari aku!” Na Willa kuning gading melompat-lompat minta dipilih.
“Ok kalau begitu,” sahutku seraya meraihnya.
 
Na Willa no. 1 

Na Willa di “Serial Catatan Kemarin” berusia kurang lebih lima tahun. Berlatar belakang Surabaya 1960an, Willa menceritakan hari-harinya dengan kacamata anak di usia itu. Ia memperkenalkan temannya satu persatu. Ada Bud yang selalu ingusan, ada Farida yang giginya hitam-hitam, ada Dul sepupu Farida yang suka menantang bahaya, serta ada Warno yang menyandang polio.

 
Dunia Na Willa tidak suci hama, tetapi kacamatanya tidak menghakimi. Nuraninya menaruh empati, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti. Melalui paparan Na Willa yang apa adanya misalnya, aku membaca kondisi keluarga Farida. 
 

 

Farida bisa ke mana saja. Main di rumah siapa saja. Karena ia tak pernah dicari oleh ibunya. Pasti senang sekali jadi Farida (halaman 17)
 
Farida tinggal di rumah besar dengan banyak kakak. Sementara itu, tak jauh dari rumahnya, tinggal Dul dan Ahmad, sepupu piatu Farida yang sering dijaga ibu Farida. Ayah yang galak membuat Farida malas bermain di rumah. Meskipun begitu, jika tak pulang-pulang, Farida tak pernah dicari. Suguhan informasi ini tentu membangun opini di kepala kita yang sudah dewasa. Namun, Na Willa melihat ketidakdicarian Farida sebagai kebebasan menyenangan yang tak dimiliki anak-anak lain.
 
Gambaran keluarga Farida dilanjutkan pada tiga bab di halaman 70-77: “Pesta”, “Pengantin”, dan “Malam Pesta”. Pada ketiga bab tersebut, Na Willa dan Farida bergembira ria atas pernikahan yang dijelang Mbak Tini, kakak Farida. Mereka makan kue cucur di kamar Mbak Tini, membayangkan Mbak Tini mengenakan baju berkilap-kilap, lipstik, dan mahkota. Namun, Na Willa merekam Mbak Tini menangis sambil memukul-mukul kasur di kamar menjelang hari pernikahannya. Na Willa tidak mengerti. Padahal ia pikir menikah pasti akan sangat menyenangkan.
 
Pada hari pernikahan Mbak Tini, intuisi anak-anaknya menangkap ketidaknyamanan saat berhadapan dengan suami Mbak Tini.
Lelaki yang ada di sampingnya, melihat ke arahku. Tersenyum lagi, gigi emasnya terlihat lagi. Banyak. Tiba-tiba aku merasa tidak senang padanya. Aku tidak tahu kenapa. Aku ingin cepat pulang (halaman 79).
 Di bab lain, Na Willa menceritakan Dul yang suka mengejar kereta api dan melompat ke gerbong. Na Willa ingin seperti Dul. Begitu tahu, Mak—ibu Na Willa—tentu marah. Mak melarang Na Willa ikut melihat kereta bersama Dul.
 
Kita dihadapkan pada Na Willa yang sebagai bocah merengek-rengek menentang larangan Mak, tetapi kita pun berhadapan dengan ketidakmampuan Mak menjelaskan kecemasannya sebagai ibu. 
 
Tiba-tiba tangannya menjulur, ke pangkal pahaku. Di situ ia membuat cubitan kecil, memutarnya, menariknya! Aku menjerit. Keras! Cubitan itu makin keras, makin pedas, makin menggigit rasanya. (halaman 43)
 
Namun, tak lama kemudian, tragedi yang menjelaskan sikap Mak terjadi. Dul tertabrak kereta dan kehilangan salah satu kakinya. Aku merinding.
 
Na Willa kuning gading, ini ngeri, deh,” kataku seraya menutup halaman Na Willa.
“Oh, kamu harus baca kelanjutannya,” desak Na Willa.
“Kenapa?”
“Ayolah, ayo baca.”
 
Setengah terpaksa, aku lanjut membaca. Ada atmosfer tak nyaman selepas tragedi tersebut. Ada mimpi buruk yang mengejar Na Willa. Ada momen tegang menunggu kabar Dul dari rumah sakit. Sampai akhirnya, tiba saatnya Na Willa menengok Dul yang sudah mengenakan kaki palsu.
 
Apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Dul berlari-lari menyambut Willa meskipun kaki palsu mempersulitnya. Ia tetap bocah bandel yang membuat pusing para perawat. Ia bahkan memamerkan kaki palsunya yang dapat berbunyi “Tok-tok-tok” kepada Na Willa. Diiringi kaki palsu itu, ia dan Willa menyanyi Dondong Opo Salak.
 
“Bagaimana?” tanya Na Willa.
Mixed feeling,” sahutku.
“Tapi kamu suka kan?”
 
Aku mencoba menyesap kesan yang tertinggal setelah membaca Na Willa kuning gading. Pada akhirnya aku mengangguk. Menurutku Na Willa kuning gading mampu menjaga kemurnian anak-anaknya dengan sempurna. Meskipun harus memberikan informasi yang membuat pembaca memahami seluruh situasinya, ia tak pernah terjebak menjadi orang dewasa mini. Tak ada yang harus menjadi manusia super di halaman-halaman Na Willa. Anak-anak tak terbeban menjadi suri tauladan dan orang dewasa dapat melakukan kesalahan.
 
“Kalau begitu sudah saatnya kamu membaca aku!” Na Willa hijau melompat ke hadapanku.
Aku pun tersenyum seraya menyambutnya.
 
Na Willa no.2
 

Na Willa di “Dan Rumah dalam Gang” sudah sedikit lebih besar daripada di “Serial Catatan Kemarin”. Di seri dua, Na Willa kembali memperkenalkan teman-temannya, tetapi kali ini teman-teman sekolah. Ada si kembar Sri dan Sumi yang berbeda sifat, ada Joko yang selalu bicara bahasa Jawa, ada pula Endang yang selalu memakai bedak ke sekolah. Sedikit berbeda dengan di buku pertama, dalam buku ini, perkenalan teman-teman Na Willa dipadatkan dalam satu bab saja.
 
Na Willa dalam “Dan Rumah dalam Gang” mulai diperlakukan sebagai anak besar. Willa diajarkan memahami etika dasar dalam kehidupan sosial orang dewasa. Misalnya ketika Oom Sie, teman Pak, bertamu hingga pagi. 
 
 
“Willa, kalau sudah besar nanti dan bertamu ke rumah orang, kamu harus ingat untuk pulang. Apa lagi kalau sudah malam. Yang punya rumah juga mau tidur dan istirahat!” (halaman 30).
 
Mak yang pada “Serial Catatan Kemarin” kerap mengganjar Na Willa dengan pukulan dan cubitan pun marah dengan ekspresi berbeda.
Mak marah. Aku tahu. Karena di sepanjang jalan pulang, Mak diam saja (halaman 27)
 
Mungkin Mak sadar Na Willa sudah cukup besar untuk mengerti sendiri tanpa harus dicubit atau dipukul. Dan, ya, Na Willa memang mengerti.
 
Willa juga belajar menerima tanggung jawab dan kepercayaan yang cukup penting, misalnya bernyanyi solo di radio RRI. Mak tak dapat menemani di dalam studio, tetapi Na Willa mampu menyanyi sendiri dan menguasai kegugupannya. Ia menunaikan tanggung jawabnya dengan baik dan membanggakan. Mak dan Pak mendengarkannya dari radio.
 
Di  Na Wila hijau, Pak yang hampir tak pernah diceritakan pada Na Willa kuning gading pun hadir lebih banyak. Itu sebabnya dinamika Mak dan Pak sangat mewarnai Na Willa hijau. Pak adalah pribadi yang senang bersosialisasi dan agak impulsif, sementara Mak adalah pribadi yang tegas dan disiplin.
 
Kita juga berkenalan dengan Tante Lan, adik Pak yang tinggal di Singapura dan sempat berkunjung ke Surabaya. Tante Lan yang merokok, suka berdiskusi dengan Pak, dan lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris, adalah sosok yang sangat mandiri dan kuat. Jika dihubungkan dengan Pak yang pada tahun ‘60an fasih berbahasa Belanda, Perancis, Inggris, dan Mandarin, kita mendapat petunjuk, sepertinya Pak dan Tante Lan tumbuh di tengah keluarga yang cukup elit dan berpendidikan.
 
Na Willa hijau ditutup dengan pindahnya Willa ke Jakarta. Dalam buku ini, Willa yang sudah lebih besar diizinkan bersentuhan dengan kesenduan akibat perpisahan.
 
“Aku lebih muram, ya, dibanding kakakku si kuning gading?” tanya Na Willa hijau.
“Hmmm. Sebetulnya, nggak juga, sih. Lebih aware mungkin iya,” tanggapku.
 
“Sekarang giliranku. Aku ingin tahu pendapat kamu setelah baca aku!” Na Willa merah marun menghampiri aku. Bahasa tubuhnya lebih sadar lagi daripada Na Willa hijau.
 
Na Willa no.3
 
Setelah akrab dengan suasana gang di Surabaya, seperti Pak, Mak, dan Na Willa, aku sendiri harus beradaptasi dengan Jakarta.  
 
Awalnya, keluarga Na Willa tinggal di rumah yang sangat sempit dan kurang layak. Keputusan terburu-buru Pak untuk pindah ke Jakarta, membuat Willa tak langsung bisa masuk sekolah. Namun, keadaan segera berubah. Mak mengandung. Mereka mendapatkan asisten rumah tangga baru asal Tasikmalaya, Bi Entin namanya. Na Willa lupa bahasa Jawa. Keluarga Na Willa pindah ke rumah yang lebih besar. Na Willa tak pernah bertukar surat dengan teman-temannya di Surabaya, bahkan mulai lupa wajah mereka. Na Willa pun akhirnya masuk sekolah. Namun, suasana sekolah baru Na Willa sangat berbeda dengan sekolahnya di Surabaya.
 
“Aku tidak suka sekolahku di Jakarta,” kata Na Willa merah marun dengan suara tertahan.
“Ya, aku lihat begitu,” ujarku sambil menyimak halaman-halaman yang menceritakan ketidaksenangannya.
 
Di sekolah, Na Willa tak punya teman. Pak yang keturunan Cina menyekolahkan Willa di sekolah Cina. Willa yang secara fisik tidak putih dan sipit harus berhadapan dengan sikap rasis teman-teman sekolahnya. Ia dipanggil “huana” (sebutan merendahkan untuk pribumi). Meskipun tak tahu artinya, Willa tahu panggilan itu sungguh buruk. Willa yang biasanya terbuka menceritakan apa pun kepada orangtuanya, kali itu malah memilih diam. Sama sekali ia tidak menceritakan apa yang dialaminya di sekolah.
 
“Kenapa?” tanyaku.
Na Willa merah marun menghela nafas panjang sebelum balik bertanya kepadaku. “Kamu ingat Warno?”
“Hmmm. Ya, teman kamu yang polio dan memanggil kamu ‘asu Cino’ kan?” tanggapku sambil mengingat salah satu cerita yang kubaca di Na Willa kuning gading.
“Kamu ingat aku diapakan Mak gara-gara memiting Warno?”
 
Aku ingat, Mak mengunci pintu dan menghajar Willa setelah ibu Warno datang melaporkan perbuatan Willa. Willa mencoba membela diri. Menjelaskan bahwa tindakan yang ia lakukan adalah reaksi kata-kata kasar Warno: “Asu Cino”. Namun, Mak tidak berhenti memukulinya.
 
“Tapi kamu dihajar Mak karena memukul orang cacat, Willa. Ini beda,” ujarku.
“Kalau Mak tahu aku menendang Cin Hok, memangnya kamu yakin Mak tidak akan marah?”
Aku terdiam. Baru kusadari, di sekolah barunya, Willa pun menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan fisik.
“Aku tidak merasa bersalah karena memiting dan menginjak Warno, dia yang duluan. Aku tahu apa yang benar dan salah. Aku bisa membela diriku sendiri.  Kamu lihat kan? Sesudah Cin Hok kutendang keras-keras, tak ada lagi yang memanggil aku ‘huana’.”
 
Identitas adalah sesuatu yang penuh dengan bias. Aku jadi mempertanyakan alasan Mak memukul Willa setelah Willa menghabisi Warno. Bisa saja karena Willa bersikap kasar kepada orang cacat yang tak berdaya membalas, namun, mungkin juga karena hal-hal lain yang sulit ia jelaskan kepada Willa kecil.
 
Na Willa kuning gading berlatar tahun ‘60an, kutaksir tak jauh dari peristiwa G30S PKI yang traumatis untuk etnis Tionghoa. Willa yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Mak ketika Pak pergi berlayar, menjadikan Mak orientasi identitasnya. Ia tak paham “bahasa Cing Coang” tetapi dapat berbahasa Sabu NTT sedikit-sedikit. Ketika bermain boneka, Willa dan Farida memilih mengganti nama boneka Willa menjadi Atik karena Willa “bukan Cino”.
 
Namun, identitas Willa sebagai anak Pak adalah sesuatu yang tak dapat diingkari. Kadang-kadang bukan Willa yang menentukan identitasnya, tetapi orang lain. Label itu pun tidak permanen. Di suatu masa Willa bisa menjadi “asu Cino”, tetapi di lain waktu ia justru seorang “huana”.
 
Aku ingat bagaimana Mak mencubit Willa yang bersikeras ingin ikut Dul mengejar kereta api. Kusadari, Mak menjadi galak ketika panik. Saat tak sanggup menjelaskan bahaya besar yang mendesak kepada Willa, ia menggunakan kekerasan fisik untuk membuat Willa patuh. Maka, bisa jadi pilihannya memukuli Willa yang berani menghabisi Warno pun berangkat dari situ.
 
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Na Willa merah marun, membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum wagu.
 
Na Willa merah marun menyajikan dunia yang sungguh baru untuk Na Willa. Willa memelihara anjing bernama Dulu Kelabu. Bertetangga dengan Teddy dan Tony yang tinggal dengan orangtua tunggalnya, Tante Anita, seorang penyanyi seriosa. Na Willa tak lagi menjadi tumpuan perhatian orangtuanya karena sudah ada Na Piga dan Ma Migu, adik-adiknya yang kembar.
 
Latar belakang orangtua Na Willa pun kembali tipis-tipis digambarkan lewat selera musik dan pilihan film mereka. Jika pergi ke bioskop bersama Willa, Pak selalu memilihkan film-film musikal seperti Heintje dan Sound of Music, sementara Mak memilih film Indonesia seperti film Rano Karno yang sebetulnya lebih berkesan untuk Na Willa.
 
Kita juga berkenalan dengan adik Mak, Oom Jonathan, yang datang dari Sabu untuk membantu Mak menjaga Na Piga dan Ma Migu. Oom Jona digambarkan berbicara dengan logat Sabu yang kental dan datang dengan koper kaleng penyok-penyok. Willa menyukai Oom Jona yang spontan, riang, dan suka menyanyi. Willa juga senang belajar bahasa Sabu dari Oom Jona. Begitu sulitnya akses ke Sabu di masa itu sehingga Willa bahkan tak tahu Mak punya adik (dan banyak!).
 
Cerita ditutup dengan ungkapan rindu yang Willa sampaikan dalam hati. Semenjak ada Na Piga dan Ma Migu, ia tak lagi punya waktu bersama Mak dan ia mendambakan itu. Kurasa, Na Willa merah marun ditutup dengan mencari jalan memutar untuk kembali ke titik pertama, ketika hanya ada Willa dan Mak.
 
Willa juga akan menjelang tanggung jawab baru. Setelah masuk ke kelas empat, Na Willa berhadapan dengan pelajaran-pelajaran yang lebih susah dan akan pulang sendiri dari sekolah, tak perlu dijemput Bi Entin lagi.
 

 
Setelah rampung dengan Na Willa merah marun dan meletakannya, ketiga Na Willa mentapku. “Jadi bagaimana?” tanya mereka bersamaan seperti vokal grup.
 
“Pertama, ternyata mengulas tiga buku sekaligus di satu artikel repot juga. Aku kesulitan membahas terlalu dalam karena akan rumit, panjang, dan sangat melelahkan,” ujarku terus terang. Ketiga Na Willa tertawa. “Kalau begitu, mungkin kamu bisa membuat perbandingan saja. Apa bedanya kami bertiga,” kata Na Willa hijau. Aku mengusap-usap daguku sambil mencoba mengingat-ingat semua yang kusimak.
 
“Aku pasti paling gelap karena aku paling besar, paling mengerti kenyataan hidup,” celetuk Na Willa merah marun.
“Eh, jangan salah. Jujur, ya, menurutku yang paling gelap seharusnya justru dia,” kataku seraya menunjuk Na Willa kuning gading.
“Masa? Aku ceria sekali,” sangkal Na Willa kuning gading.
“Plis. Di halaman-halaman kamu aku bertemu dengan kecelakaan tragis yang membuat anak kecil kehilangan satu kaki selamanya, Willa kecil yang dipukul Mak sendiri karena tak suka diperlakukan rasis, kisah pernikahan dini yang membuat merinding, dan Pak yang menangis karena tidak dikenali anak sendiri. Sementara di Na Willa merah marun, hidup tidak sekeras itu. Tony dan adiknya, Teddy yang—meskipun tak disebutkan secara langsung—autis, memang tinggal dengan orangtua tunggal. Namun, hidup mereka terhitung baik. Mereka tetap tumbuh sebagai anak-anak yang dilindungi dan mendapat kasih sayang penuh. Tidak seperti Farida yang tak pernah dicari jika tidak pulang-pulang atau Dul yang bebas melakukan hal-hal bahaya tanpa pengawasan. Willa mampu mengatasi rasisme di sekolah dengan caranya. Wati, anak perempuan Bi Entin, terbebas dari pernikahan dini dan mendapatkan kesempatan sekolah. Sekali lagi, semakin besar, Na Willa bukan semakin gelap, tetapi semakin aware dan pandai menyimpan,” paparku.
“Bagaimana dengan aku?” tanya Na Willa hijau.
“Kamu bagian transisi. Bersamamu, Na Willa punya lebih banyak waktu dengan keluarga sehingga terbiasa dengan dinamikanya. Ini membuatnya tidak terlalu kaget ketika harus tinggal di Jakarta dan hampir seluruh hidupnya berpusat di rumah; Pak, Mak, Bi Entin, Oom Jona, adik-adik, dan tetangga yang hanya Tony dan Teddy,” kataku sambil menoleh kepada Na Willa hijau.
 
“Ke dua apa, Dea? Tadi kamu bilang ‘pertama, mengulas tiga buku sekaligus di satu artikel repot juga’, jadi ke duanya apa?” tanya Na Willa kuning gading.
“Ahahaha. Iya, ya, apa, ya?” aku tersadar kemudian menggeleng karena tak ada lagi yang ingin kuurutkan.
 
Aku menumpuk ketiga Na Willa, mengucapkan terima kasih karena diperkenankan mengikuti tumbuh kembang Na Willa, melihat dengan kacamatanya yang tak berlensa pretensi, berkenalan dengan suatu era yang tak pernah kualami sendiri, dan membaca budaya yang begitu berwarna. Na Willa yang masih kurang lebih kelas empat SD mungkin masih akan melanjutkan hidup, tetapi kisah-kisahnya tak lagi perlu “dikamarkan” dalam bundelan buku. Tiga buku mungkin sudah cukup.
 
Omne trium perfectum, ungkap sebuah frasa Latin. Artinya, “segala sesuatu yang datang dalam tiga adalah sempurna”. Namun, apa itu sempurna? Bukankah kisah-kisah Na Willa justru terasa dekat karena dunianya yang tidak sempurna?
 

 

Komentar

Reda Gaudiamo mengatakan…
Terima kasih buat ulasannya yang luarbiasa ini🙏🏼
salamatahari mengatakan…
Terima kasih juga buat cerita-cerita Na Willa, Mbak Reda, bakal aku bawa terus pengalaman Na Willa ini <3