Alif Rizky dan Tiga Kata: Pull Your Espresso

 
Pada suatu siang yang agak random, diantar kawanku Ari Respati, aku mampir ke Homage, ruang mungil tempat kopi Pullo di-roasting. Aku butuh biji kopi dengan cerita tertentu dan Mas Alif, pemilik Pullo, dianggap orang yang paling tepat mengulik ini.
 
Alih-alih memilihkan kopi yang cocok dengan ceritaku, Mas Alif malah menyuruh aku mencoba sendiri. “Aku nggak ngerti kopi,” kataku sambil mengenang kopi-kopi hore yang biasa kuminum. Namun, Mas Alif meyakinkan semua orang bisa mengerti.
 
Sesaat kemudian, aku sudah berhadapan dengan lima cup kopi. Seperti dalam permainan, Mas Alif menuntunku berproses dalam mengenali kopi. Tak kusangka dengan inderaku sendiri aku menemukan kopi yang kubutuhkan.
 
Setelah acara cicip kopi selesai, gantian aku yang mewawancarai Mas Alif.
 
Hai Mas Alif, pertama-tama kenalan dulu, dong, sama pembaca www.salamatahari.com
Halo, nama saya Alif Rizky, sekarang kegiatan sehari-hari adalah jaga warung Homage, dan roasting kopi di Pullo, sambil antar jemput anak sekolah hehehe. 
 
Jadi Homage dan Pullo ini sebetulnya apa?
Homage kan artinya penghargaan, jadi simplenya kami berdua (Mas Alif dan istri) di sini mau showcase hal-hal yang saya dan istri sukai yang juga kami kebetulan into, seperti kopi, teh, dan beberapa buku yang kami memang sukai.
 
Wah, so sweet amat. Kok bisa kepikiran bikin Homage?
Awalnya kami mencetuskan nama ini ketika sedang menyiapkan souvenir pernikahan, yaitu tea blend racikan berdua. Karena arti lain Homage juga adalah bakti (devotion), oleh karena itu sekalian ini mewakili hari pernikahan tersebut. Setelah itu ternyata banyak respon positif dari tea blend yang kami racik pada saat itu, akhirnya kami lanjutkan untuk berjualan tea blend dan produk turunannya di bawah nama Homage (@homagemakes di instagram).
 
Buat souvenir pernikahan sendiri? Lebih so sweet lagi ini mah. Kalau Pullo?
Kalau Pullo adalah nama yang saya pilih untuk usaha berjualan biji kopi pada awal tahun 2021.
 
Pullo artinya apa?
Kalau tidak salah “pulo” itu bahasa Betawi atau Sunda yang berarti pulau.
 
Oh, dari bahasa lokal kita ternyata. Kenapa usaha biji kopinya dikasih nama Pullo?
Suatu hari pada saat masih kecil saya terinspirasi dengan serial TV  berjudul “Rudolph and The Island of Misfit Toys” yang menceritakan petualangan rusa bernama Rudolph berada di suatu pulau bertemu teman-teman baru berupa mainan yang tidak lazim (misfit toys). Ketika saya berkenalan dengan kopi, saya belajar bahwa kopi banyak sekali dan masing-masing memiliki citarasa tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai hal. Serunya, tiap konsumen kopi juga memiliki preferensinya tersendiri juga yang tentunya tidak kalah terpengaruhnya oleh berbagai hal yang kompleks. Pada saat itu seru sekali menurut saya, langsung saya bercita-cita jika memiliki suatu tempat seperti kafe atau usaha apapun yang berhubungan dengan kopi saya ingin sekali memberi nama “The Island of Misfit Toys”. Namun karena terlalu panjang, akhirnya saya settled dengan nama the island, atau Pulau — Pullo!
 
Kenapa yang dipilih nama “Pullo” dengan double “l”,  bukan “Pulo” aja atau “The Island” sekalian?
Jadi pada awal pembuatannya nama yang saya pilih adalah Pullo Espresso. Derived from the phrase “pull your espresso”, karena mesin kopi yang lahir di masa awal adalah lever machine, jadi harus ditarik/pulled untuk menghasilkan secangkir espresso. Pada saat itu juga saya bercita-cita untuk supply kopi espresso roast dengan profil roast yang tidak terlalu gelap, fokusnya pada citarasa kompleks yang lembut daripada boldness yang biasanya dikaitkan pada kopi.
 

 
 I see, dari kapan, sih, tertarik sama kopi dan gimana ceritanya, Mas?
Sebelumnya hanya sekedar suka nongkrong di kafe, sekitar tahun 2009 kalau tidak salah. Baru tertarik sama kopi sekitar tahun 2013 ketika dikasih temen untuk nyicip kopi dari Colombia La Chorerra yang di-roasting dari Australia, namanya Supreme Coffee Roaster. Pada saat itu pertama kali saya coba kopi yang manis bukan terasa seperti kopi yang saya kenal. Akhirnya sejak saat itu jadi penasaran ingin tahu lebih hehe.
 
Selama terjun ke dunia kopi, pernah ada kendala, nggak?
Sempat vakum karena harga kopi yang mahal serta modal pribadi saya yang belum ada pada saat itu hahaha.  Tapi, di pertengahan tahun 2024, setelah memulai Homage di lokasi baru, banyak teman-teman dan tamu toko yang ternyata cocok dengan apa yang kami sangrai sendiri. Oleh karena itu dimulailah Pullo. 
 
Okeh. Karena zine-zine-an online edisi ini temanya “Tiga”, apa tiga kopi favorit Mas Alif?
Kopi yang selalu saya suka dan excited mencicipinya adalah kopi yang berasal dari daerah Yirgacheffe, Ethiopia; Panama; dan sekarang yang saya lagi suka banget adalah Mami Estate di Gunung Arjuna, Batu, Jawa Timur.
 
Masih seputar “tiga” dan “gunung”, ya. Tadi salah satu kopi yang aku cicipin kan kopi dari Gunung Tilu (dalam bahasa Sunda “tilu” artinya “tiga”). Kopi Gunung Tilu ini menurut Mas Alif karakternya gimana?
Jujur saya bukan orang yang tepat tepat untuk generalisasi setiap rasa yang teman-teman dapat temukan ketika mencicipi kopi dari Gunung Tilu heheeh.
 
Yagapapa, berdasarkan lidah Mas Alif aja.
Kalau dari pengalaman saya mencicipi kopi dari Gunung Tilu dengan proses dicuci (washed) saya selalu menemukan citarasa yang lembut manis dan menyenangkan menyerupai teh hijau, bunga-bungaan, dan buah-buahan sitrus yang segar. Kalau teman-teman suka banget dengan kopi yang memiliki karakteristik seperti minum teh, bisa mencicipi kopi Gunung Tilu dengan proses dicuci (washed), kalau suka yang lebih banyak sweetness dan rasanya lebih intens bisa coba yang natural, atau proses eksperimental lainnya. 
 
Menurut Mas Alif, karakter ini ada hubungannya nggak sama bentang alam tempat kopi Gunung Tilu tumbuh?
Seperti mahluk hidup lainnya, tanaman kopi juga akan menghasilkan karakteristik yang dipengaruhi oleh tempat mereka tumbuh. Seperti ketinggian, curah hujan, dan kesuburan tanah. Sekali lagi, saya bukan orang yang tepat untuk menjelaskan sejarah kopi Gunung Tilu dengan detail, namun dengan pengalaman saya, Gunung Tilu adalah daerah penghasil kopi yang pertama kali saya kunjungi. Setahu saya Gunung Tilu adalah salah satu dari beberapa yang termasuk pada Pegunungan Malabar yang dulu merupakan daerah penghasil kopi pada jaman penjajahan Belanda. Namun, pada saat saya berkunjung kesana saya melihat banyak juga pohon-pohon baru yang tertata dan terawat. Karena saya suka sekali dengan alam, dan waktu berkunjung melihat kebun kopi di Gunung Tilu yang berdampingan dengan kebun teh saya rasanya senang sekali. 
 
Kayaknya deskripsi suasana ini relatable, Mas. Buat aku, kopi Gunung Tilu tadi memang begini suasananya. Nyaman, wanginya friendly, dan membawa hawa-hawa mager hahaha. Nah. Kalau begitu, ada samanya, nggak karakter kopi-kopi di Jawa Barat yang bentang alamnya mirip-mirip?
Jika dibandingkan dengan tetangga paling dekat yaitu kopi yang berasal dari Sumatera, atau Jawa Tengah (sekali lagi ini saya cukup menggeneralisir), biasanya kopi Jawa Barat dengan proses yang sama, misal dicuci (washed) memiliki tekstur yang lebih lembut dengan intensitas citarasa yang sedang. Sangat cocok bagi teman-teman yang suka kopi yang lebih “nyantai” hehe. 
 
Nah. Betul kan, berhawa mager.
Hahaha. Hal ini mungkin bisa disebabkan oleh banyaknya cultivar (jenis pohon) yang bernama Java, yang menurut World Coffee Research, berasal dari Ethiopia, yang juga memiliki citarasa kurang lebih sama sifatnya, lembut dan nyantai. Bisa jadi dulu ada disini karena merupakan salah satu jenis pohon yang dibawa oleh Belanda.
 
Hmmm. Menarik. Sekarang kalau bicara perbedaan, apa bedanya kopi Gunung Tilu sama kopi Puntang yang dari Jawa Barat juga tapi lagi hits banget?
Lokasi Gunung Tilu cukup dekat dengan Gunung Puntang. Namun, kalau beberapa kebun yang pernah saya kunjungi, yang beda banget sepertinya kalau di Puntang lebih seperti hutan daripada perkebunan, karena tanaman kopinya tumbuh beriringan dengan berbagai tanaman lainnya, bukan hanya ada pohon kopi saja. Hal ini menyebabkan suhu di sekitaran pohon yang berada di Gunung Puntang lebih dingin, dan karena banyak pohon lainnya juga, sepertinya organisme tanahnya juga lebih bervariasi. Karena saya bukan seorang pakar agronomi, saya belum bisa yakin zat apa yang menyebabkan perbandingan lurus dengan rasa yang dihasilkan kopi tersebut. Namun, jika saya lihat, Puntang dengan kondisi lahan yang lebih berbentuk hutan menyebabkan jumlah produksi dan aktivitas panen dan perawatan di Gunung Puntang lebih sedikit jumlahnya dan lebih kompleks perlakuannya.
 
Kalau kita bandingkan kopi dengan proses yang sama, misal dicuci (washed), dari Gunung Puntang terkadang kita bisa temukan lebih dari sekedar buah-buahan sitrus, dan banyak menyerupai bunga-bungaan jika dibandingkan dengan Gunung Tilu. Namun, sekarang dan akan datang, sedang muncul lebih banyak prosesor-prosesor modern yang breaking the status quo, hehehe, jadi terkadang kita bisa mendapatkan citarasa tertentu yang terkadang berbeda dengan apa yang kita harapkan dari daerah tersebut. Buat saya ini sangat seru sekali. Kesukaan saya terhadap kopi karena berbagai citarasanya yang unik dan nggak ada habisnya.
 
Asek, sementara itu, wawancara kita di sini habisnya. Terima kasih banyak, lho, ya, semoga banyak yang jajan kopinya Pullo dan main ke Homage. Aku senang. Tempatnya lucu banget. 
 
 
 
Teman-teman, aku serius. Jika sedang lelah menghadapi ingar bingar Bandung, mampirlah ke Jalan Kartini 5a. Di ruang mungil ini, kamu akan berjumpa sudut-sudut dengan lampu teduh temaram, pusparagam aroma yang menyamankan, dan kopi yang pintar memahami dirimu. Ruang mungil ini penuh dengan kasih sayang. Sejak awal, ia dibangun oleh hal-hal yang dicintai Mas Alif dan sang istri.
 
Aku memperhatikan aktivitas di Homage. Bicara tentang “tiga”, kusadari anggota keluarga Mas Alif pun berjumlah tiga. Kusadari pula, di ruang kecil ini, “pull your espresso” dapat menyimpan banyak sekali makna.  
 
Permainan mencicip kopi

 

Komentar