Meta

"Kayaknya dia terharu, ya, kita ulangtaunin," kata Dea ke Metha.
"De, kayaknya itu bukan nangis terharu."
"Oh, iya gitu?"


Metha pernah bilang, dia selalu bingung kalau liat orang nangis. Katanya dia bukan orang yang bisa spontan meluk, ngusap-ngusap, atau sejenisnya. Tapi Metha selalu peka. Dia tau ketika orang kenapa-kenapa, meskipun orangnya nggak ngomong.

Untuk urusan ini, Dea sebaliknya Metha. Dea nggak segen spontan meluk dan ngekspresiin afeksi, tapi jarang sadar kalau orang kenapa-kenapa kecuali orangnya bilang. Waktu kami ngobrol, tukeran sudut pandang soal ini kadang jadi lucu dan menarik. 

Sebelum pandemi, setiap Sabtu Metha dateng ke rumah nganter Zoya dan Biban les musik sama Ikanpaus. Di masa-masa itu, sambil nungguin anak-anaknya, kami jadi sering ngobrol. Buat Dea, Metha sosok tangguh dengan senjata unik: selow.

Sejak masih muda banget idup Metha sebetulnya nggak mudah. Kendati begitu dia selalu punya cara berdamai dengan apa pun. 

Dari cerita-ceritanya, Dea nyimpulin Metha milih ngalir ngikutin arus--sederas apapun arusnya--dengan modal "jago berenang". Metha kreatif, serba bisa, cerdas sekaligus cerdik, fast learner, punya intuisi tajem sekali, dan Dea jadi ngerti kenapa kadang dia terkesan random dan impulsif. Kalau Dea liat-liat effort terbesarnya adalah dengan menjadi effortless. Apa yang dia alami sejak muda ngajarin dia nyintas dengan cara itu, termasuk ketika nyanyi dengan pembawaan santai tanpa ngupayain power dan vibra.

Selain ketemu setiap Sabtu, kami juga sering dateng ke CS Writers Club. Kami sama-sama penghuni daerah atas Bandung, jadi kadang-kadang kami berangkat bareng atau berkonspirasi bikin CS Writers Club di daerah atas kalau kebetulan jadi host. Selain kami, ada juga beberapa temen dari daerah atas seperti Rani, Ruri  Misha, Evan, dan lain-lain.

 

Kemudian datanglah pandemi. Pertemuan CS Writers Club jadi daring dan Metha jarang ikutan. Zoya-Biban sempet berenti les sebelum akhirnya les lagi secara daring. Otomatis Metha nggak pernah main ke rumah Dea lagi.  

Setelah pandemi selesai, Zoya dan Biban tetep les secara daring. Metha pun tetep jarang dateng ke CS Writers Club. Dari salah satu temen kami, sang gitaris handal Kang Opik Bape, Dea tau kalau Metha pindah ke Dago. Ada yang cerita Metha serius jadi pengacara dan buka firma bareng temen-temennya. Tampakanya ada arus baru di idup Metha yang perlu dia "berenangin". Dea percaya itu sesuatu yang baik buat dia.

Baru-baru ini Metha dan Dea tiba-tiba sering ketemu lagi karena Metha ikut kuliah filsafat bareng Ikanpaus di Unpar. Di sela-sela jam kuliah, Dea dan Metha jadi sering ngobrol tipis-tipis. Dea jadi tau Zoya udah mau kuliah (dan akhirnya masuk Integrated Arts Unpar). Blau, duonya Metha-Abay, mau gerak lagi dibantu temen kami, Evan. Dea juga jadi tau Metha kuliah filsafat gara-gara dapet hidayah. Semua terdengar begitu random tapi seru dan promising.  

The Deli Bakes: Terakhir kali nonton Blau tampil di acaranya Soulm, band-nya Evan.
 

Di tengah keadaan yang Dea pikir terang benderang ke depannya, tiba-tiba Rani ngabarin kalau Metha kena kanker getah bening stadium akhir. Rani dan Dea ngejenguk Metha. Waktu ngobrol, Metha tetep santai meskipun ngakuin badannya sakit. Rangga, suami Metha, selalu nemenin dan berupaya ngelakuin apa pun supaya Metha bisa sembuh.

Kondisi Metha naik-turun. Dosis painkiller-nya terus bertambah. Kemoterapinya terus berjalan. Menariknya, semua yang ngunjungin Metha punya kesan Metha tetep selow ketika ngobrol. Bahkan tanggal 27 April, waktu ada gempa dan semua heboh, tau-tau Metha muncul di Whatsapp Grup CS Writers Club dan becanda-becanda dikit. Dia nimbrung ngebahas gempa yang juga berpengaruh ke dia dan bilang kalau dia harus seger karena besoknya mau kemo. Whatsapp Grup hangat because we missed her badly. 

Secuplik obrolan di Whatsapp Grup

Tanggal 1 Mei Rani tau-tau ngabarin Metha kritis. Sesegera mungkin Dea dan Rani nyusul ke rumah sakit. Ternyata, begitu kami sampai, Metha udah berpulang. Rani dan Dea dikasih izin liat jenazah Metha. Rasanya kayak nggak nyata. Metha kayak cuma tidur. She smiled. Gorgeus as always.

"Beberapa hari lalu dia bisa ngobrol di grup CSWC. Gw kira udah mau sembuh," kata Dea ke Rani.
"Gw liatnya itu pamit, De," kata Rani.

Dea kembali nginget cara Metha ngejalanin idup. Ngikutin arus dan tetep selow adalah bentuk ketangguhan Metha. Dia berjuang ngelawan kanker dengan cara dan logikanya. Sebelum meninggal, Metha sempet nuntasin lirik lagunya yang terakhir, milih sendiri foto yg mau dipasang di pemakamannya, ngerekam video dirinya sendiri bilang "I love you" dengan bahasa isyarat, dan ngucapin "selamat tinggal, Ayah" ke Rangga.

Metha siap. Metha siap berenang di arus sederas apa pun, ngelintasin idup, bahkan ngelampauin idup itu sendiri. Beberapa hari ini berbagai ingatan tentang Metha muncul kayak cuplikan-cuplikan film. Random, nggak utuh, jamak, tapi buat Dea semua baik adanya.  Dea jadi sadar kalau sebanyak apa pun kami ngobrol, Metha tetep punya banyak misteri seperti alam semesta. "Meta" yang berarti "beyond" mungkin memang panggilan yang cocok untuk Raden Martha Margaretha Vartha Kusuma Pradesa kesayangan kita semua ini. 

foto: Ayuma Morie

Met, sampai jumpa di ruang dan waktu yang lain, ya. 

In this life, you will be missed.

A lot

Komentar