Mungkin Ulasan Aman Pertama

Percayakah kamu bahwa waktu kadang-kadang begitu nisbi? Ia tak selamanya enggan menunggu, tak selamanya pula memaksamu berlari mengikutinya. Waktu pun tak selamanya bergerak ke depan. Ada kalanya ia mengizinkanmu kembali kepada “aman pertama”, memberimu momen untuk mengejanya dengan sayang dan hati-hati.

 


Seuntai lagu datang suatu petang membawa sekeranjang oleh-oleh. Ia menghantar aroma teh tubruk oplos racikan oma, rasa erwtensoep yang muncul di setiap perayaan tahun baru, seprai yang didinginkan udara Bandung tahun 80an, dan sore-sore cerah ketika kami menikmati snoep ditemani sinar matahari dari jendela. Lagu itu menyapaku dengan petikan gitar yang mengantarkan akor-akor nyaman. Aku belum pernah mengenal si lagu sebelumnya, tetapi ia terasa familiar. Kehadirannya menaburkan ingatan-ingatan lain yang tercurah seperti hadiah. Di sela kenyamanan dan kesahajaan nada-nadanya, aku mendengar suara sepupu-sepupuku dan aku tertawa-tawa, suara minibus Daihatsu 1983 milik keluarga omku, dan suara acara-acara TVRI yang sering kujadikan penanda waktu.

 

“Namaku Aman Pertama,” ujar lagu itu seraya duduk menemaniku di beranda.

“Oh, hai, Aman Pertama,” sapaku.

“Aku tahu namamu,” ujar Aman Pertama dengan intonasi yang terasa akrab. Ia seperti sudah mengenalku lebih lama daripada yang bisa kubayangkan.

 

Kami duduk bersisian. Di momen itu, aku tak mengerti bagaimana cara waktu bekerja. Aku merasa mundur ke masa lalu tanpa mengingkari masa kini yang tengah kujalani. Aku merasa kembali menjadi anak-anak dengan kesadaran penuh orang dewasa.

 

Beranda di rumahku

si muda nikmati amanmu

tanpa ragu

 

tak usaha demi makna

skarang punya rasa tak kemana-mana

sibuk urusi mau kemana

 sampai lupa kamu siapa

 

Demikian lantun Aman Pertama. Lirik itu tak disampaikan oleh vokal yang pernah kukenal. Namun, vokal itu menjadi wahana bagi suara-suara pembawa aman yang tercecer di sepanjang perjalanan hidupku. Aku seperti kembali kepada percakapan-percakapan acakku dengan Ompung Doli alias kakekku. Aku kembali mendengar suara pengasuhku yang mengajariku hidup ringan seperti layang-layang. Aku pun seakan mendengar kembali lagu-lagu pop jazz 80an yang diputar di tape mobil tanteku. Ingatan dan kesadaranku tahu, di waktu linear, momen-momen pendek itu hadir berselang-seling dengan peristiwa-peristiwa lain yang justru membuatku merasa tak aman. Namun, Aman Pertama tak memasukannya dalam rute yang perlu kulewati kali ini.

 

Gitar masih menjadi nadi sekaligus detak jantung ketika piano dan bas hadir seperti hangat tubuh yang menandakan kehidupan. Aku menyesap semua perasaan-perasaan baik yang datang bersamanya. Aku tak lagi melihat semua perasaan itu sebagai kilas ingatan yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi satu kesatuan utuh yang membentuk aku.

 

Tak usaha demi makna

kalahkan rasa tak kemana mana

sibuk urusi mau kemana

jangan lupa kamu siapa

 

Aku jadi menyadari, adakalanya waktu linear membuatku memperlakukan usia sebagai bom waktu. Aku berupaya berlari lebih cepat daripada waktu, mengumpulkan atribut identitas yang kupikir mampu menjinakkan bom watu itu, namun, amankah aku dalam balutan atribut identitas itu?

 

“Memangnya aku siapa?” tanyaku pada Aman Pertama.

Aman Pertama tertawa renyah, “lupa?”

 

Kudekap namamu

Redalah lelahmu

Harapku amanmu

 

Genggam tanganku

Lenganku masih untukmu

Pulanglah amanmu disini

 

Reffrain dengan nada dan akor yang mudah ditebak seperti setiap sisi rumah oma yang kuhafal di luar kepala. Di sana batin kanak-kanakku tak pernah tersesat—setidaknya aku selalu merasa begitu. Setelah rumah itu dijual dan akhirnya rata dengan tanah, ternyata tubuhku masih menyimpan rekaman rasa aman dari sana yang masih dapat kuakses. Aku mengejanya dengan sayang dan hati-hati. Kucoba mengenali siapa diriku melalui aman pertama yang memberiku keleluasaan bergerak sebagai aku. Di momen tersebut kusadari, usia bukan bom waktu. Usia adalah jejak-jejak perjalanan yang memperkayaku dengan pengalaman serta kebijaksanaan-kebijaksanaannya.

 

Aku jadi mengerti bagaimana cara aman pertama bekerja. Tugas waktu yang linear adalah memberi kesempatan regenerasi, termasuk untuk wadah aman pertama. Namun, aman pertama fleksibel menyesuaikan diri dengan wadah lain sebagai aman kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Di hidupku hari-hari ini, ia antara lain tinggal pada mekarnya bunga Portulaca di kebun tengahku, perasaan-perasaan yang muncul ketika aku menulis, teman hidup yang menyayangi dan menerimaku apa adanya, juga lagu Aman Pertama yang prasaja. Aku bukan identitas yang dibangun dari sekumpulan atribut. Aku adalah kelenturan aman pertamaku yang mencari wadah di setiap situasi. Waktu linear tak pernah memaksaku berlari, apa lagi lebih cepat daripada dirinya. Waktu lienar hanya menyediakan aliran yang perlu kuikuti dengan kesadaran penuh. 

 

Aku bergulir menuju ujung lagu bersama Aman Pertama. Membiarkannya mendekap namaku erat-erat dan meredakan lelahku.

 

Pulanglah amanmu, pulanglah amanmu, di sini

 

Rumah Oma. Foto: Andreas Supangkat

Presave Aman Pertama di sini. Lagunya rilis 15 September 2023 mendatang. Silakan dinantikan sambil jajancenderamatanya.

 

 

 

 

Komentar