Dalai Lama dan Pemburu Vampir

Kegegeran Dalai Lama yang beredar pekan ini bagaikan prank untuk dunia. Dea nggak tega cerita detailnya. Kalau penasaran, temen-temen bisa googling sendiri.

 

Waktu denger berita itu, Dea berangkat dengan kacamata praduga tak bersalah. Dea telusurin beritanya, Dea liat konteksnya, dan akhirnya Dea tonton videonya. Kita nggak pernah tau persis pikiran Dalai Lama, tapi gestur ngejelasin banyak. Agak cringe. Anak kecil yang disebut-sebut sebagai korban jelas nggak nyaman. Dia sempet narik kepalanya mundur dan berusaha ngelepasin diri, tapi Dalai Lama megang dia cukup erat sebelum meluk dia sekali lagi.

 

Peristiwa beberapa detik itu pasti ngebawa banyak perubahan untuk dunia. Krisis kepercayaan besar-besaran udah pasti. Secara politik, ini bahan untuk digoreng. Sementara buat si anak dan keluarganya, kejadian ini pasti ada efeknya. Setelah kehebohan itu, muncul permintaan maaf di Twitter Dalai Lama:

 

sumber: ss twitter

 

Permintaan maaf ini disampein dari sudut pandang orang ketiga, bukan langsung orang pertama. Bagian he teases people he meets in innocent and playful way juga ngasih kesan agak defensif buat Dea, pakai suara orang lain pula. Dea nggak tau kenapa Dalai Lama nggak milih ngehadepin sendiri publik, cuma Dea nggak mau bikin asumsi. Satu hal yang pasti, rangkaian peristiwa ini ngingetin Dea kalau Dalai Lama juga manusia. He’s one of us, bukan yang maha suci.

 

Kabar baiknya, di dunia ini kita memang nggak belajar dari yang maha suci. Kita belajar dari orang-orang yang pernah melakukan kesalahan dan kita belajar menyimpulkan dengan adil setelah kita sendiri berbuat salah dan belajar mengoreksi secara kritis.

 

Apa yang dilakuin Dalai Lama beberapa waktu lalu juga nggak lantas bikin ajaran-ajaran baiknya mentah. Ajaran tetep ajaran, sementara manusia tetep manusia. Kesadaran itu muncul karena Dea inget secuplik kutipan dari film B Jesus Christ Vampire Hunter: “Follow the message, not the messenger”.

 

Meskipun kayaknya nasty, Jesus Christ Vampire Hunter sebenernya banyak pencerahannya. Inti ceritanya, Yesus (Phil Caracas) berusaha ngegagalin aksi vampir yang punya misi mem-vampir-kan seisi kota. Yesus dibantu sama pegulat El Santo (Jeff Moffet).

 

Yesus di cerita ini jauh dari sempurna. Kelakuannya slengean, kadang-kadang centil nggak jelas, tukang berantem, dan quirky abis. Filmnya juga low budget dengan kamera burem-burem dan efek-efek seadanya. Pokoknya keliatan asal-asalan lahir dan batin.

 

Tapi, di film ini banyak line-line cerdas yang kalau diresapin bener juga, salah satunya kalimat yang Dea kutip itu. Secara jenaka Jesus Christ Vampire Hunter juga ngritik banyak fenomena di masyarakat. Ada satu adegan yang kepanjangan durasinya, tapi jangan-jangan memang sengaja dibikin begitu. Pas Yesus lagi jalan di trotoar, dateng ateis semobil yang ngajak Yesus berantem. Ateisnya nggak abis-abis dan modelnya macem-macem. Nggak jelas banget sebenernya.

 

Ada juga adegan Yesus bonyok-bonyok terus ditolong sama transgender genit di jalanan. Buat yang tau cerita Alkitab, pasti sadar kalau adegan itu diadaptasi dari kisah “Orang Samaria yang Baik Hati”. Kita jadi mengkaji ulang siapa sebenernya “orang Samaria” di jaman ini.

 

Singkat cerita, pada akhirnya vampir justru jadi kritik terhadap agama itu sendiri. Ada benang merah antara sifat vampir dan fanatisme agama. Pada akhirnya, film itu mempertanyakan lagi apa yang penting dan apa yang enggak, apa yang perlu dan apa yang enggak, gimana seharusnya kita bersikap terhadap segala hal yang terjadi di sekitar kita, sampai akhirnya Yesus ngomong, “follow the message, not the messenger”.

 

Ikanpaus dan Dea hobi nonton film-film B dan low budget untuk hiburan. Komedinya seringkali natural karena masalahnya teknis. Cuma, di luar ekspektasi, kadang-kadang ada harta karun menarik di film-film B itu. Contohnya di Jesus Christ Vampire Hunter.

 

Jesus Christ Vampire Hunter diproduksi Odessa Filmworks Inc. di Kanada, disutradarain Lee Demarbre, dan naskahnya ditulis Ian Driscoll. Rilisnya persis pas ulangtaun Dea, 10 Juni 2001. Kalau penasaran sama mereka, boleh googling nama-nama ini di internet.  Berikut poster filmnya: 

 

sumber: IMDB

Cukup menggambarkan ke-nasty-annya bukan?

 

Kita kembali ke Dalai Lama. Peristiwa beberapa hari yang lalu pasti bikin banyak orang kecewa. Di Twitter, beberapa pengikut masih berusaha ngebela Dalai Lama dengan berbagai alesan yang nggak cukup kuat dan langsung patah begitu kita liat videonya. Manusiawi, kok. Kita—termasuk Dea sendiri most of the time—takut ngadepin kekecewaan. Marah atau sekalian denial adalah respons yang umum kita ambil waktu kekecewaan ada di ambang pintu, terutama kalau dianter sama mereka yang kita hormati. Kadang kita lupa, siapapun yang kita hormati bukan sosok maha sempurna. Mereka manusia yang bisa khilaf, sama seperti kita, tapi mungkin nyandang tanggung jawab moral yang lebih berat karena ada di tempat yang lebih tinggi dan bisa diliat semua orang.

 

Dea nerima permintaan maaf Dalai Lama karena pada dasarnya beliau manusia dengan segala dinamikanya. Sama kayak kita semua.

  

But we don’t ruin an apology with an excuse, do we

 

Komentar

Anonim mengatakan…
Sepertinya ada tradisi/budaya tibet tertentu yang tidak lazim. Iseng-iseng cari konteks itu, dan ada penjelasan di vice.https://www.vice.com/en/article/jg5854/tibetans-explain-what-suck-my-tongue-means-dalai-lama-viral-video