[Ulasan] Singgasana Surga di Bawah Langit

“Bosan gua lihat sampah. Ke situ aja, yuk.”
“Di situ sampah juga, Gus.”
“Yang penting suasana baru.”

 

Selanjtunya, Ayu, Agus, dan Laras tiga sahabat dalam Surga di Bawah Langit, bergotong royong memutar balik sofa kesayangan mereka. Aku tersenyum menyaksikan adegan sederhana tersebut. Kusadari, untuk menemukan surga di bawah langit, mungkin kita memang hanya perlu “suasana baru”.

 

Sebelum terlalu jauh membahas sofa, sebaiknya kuceritakan dulu sinopsis film musikal Surga di Bawah Langit ini.

 

sumber foto: Kumparan

Ayu, Agus, dan Laras adalah tiga sahabat yang tinggal di permukiman kumuh ibu kota. Di usia kanak-kanak, mereka harus berhadapan dengan realita yang hadir telanjang. Ayu, yang dibesarkan oleh penari jaipong bernama Dewi, melihat rentannya perempuan terhadap pelecehan. Agus yang miskin dan yatim piatu sejak bayi senantiasa menertawakan hidup sebagai bentuk perlawanan terhadap nasib. Sementara Laras yang sehari-harinya mengojek payung harus membagi waktu antara menyambung nyawa dan merespons kesempatan di depan mata.

 

Kendati tumbuh di lingkungan tidak ideal dan dibesarkan oleh sosok orangtua yang tidak lengkap, Ayu, Agus, dan Laras tak menjadi pahit. Persahabatan mereka dan segala konsekuensinya adalah “surga di bawah langit”. Perbedaan sifat membuat mereka justru menjadi kompak dan saling melengkapi. Ayu tangguh dan keras kepala, Agus selalu mencairkan suasana, sementara Laras selalu menjadi penimbang yang bijaksana dan berhati-hati. Mereka sering berkumpul di bukit sampah, menunggu pelangi, bercanda, dan bercakap-cakap tentang apa saja sambil duduk-duduk di sebuah sofa merah tanpa kaki. 

 

Ayu, Agus, dan Laras tidak terpisahkan. Sampai pada suatu ketika, Dewi yang akan menjadi TKI ke luar negeri memutuskan untuk menitipkan Ayu pada Uwaknya di Ciamis. Ayu yang keras kepala tentu saja memberontak. Terjadilah perdebatan intens antara Ayu dan Dewi. Namun, melalui percakapan itu, aku menyadari, cinta tetaplah cinta meskipun tidak selalu disampaikan dengan cara yang paling ideal. Realita membuat kita tak selalu mendapatkan apa yang kita mau. Namun, surga di bawah langit adalah kemampuan untuk berdamai dengan yang fana alih-alih memaksakan yang baka datang sebelum waktunya.

 

“Kita bakal ketemu lagi, nggak, ya?” tanya Ayu.
“Pasti, pasti ketemu lagi,” tanggap Agus yang selalu optimis.

 

Ketika akan berpisah, Ayu, Agus, dan Laras berkumpul di bukit sampah. Di hadapan mereka, melengkung pelangi yang menjadi lambang harapan.

 

Film tidak berakhir sampai di situ. Namun, aku tidak akan menceritakan kelanjutannya. Aku tidak akan menceritakan bagaimana mereka mengarungi realita tanpa satu sama lain.

 

Mendaras Simbol 

Surga di Bawah Langit ditutup dengan paduan suara Voice of Indonesia yang memukau. Di panggungnya, aku mendapati tiga benda ikonik yang pasti bukan sekadar dekorasi: Sofa merah, payung pelangi, dan sound system atau sistem suara yang selalu dibawa Ayu.  

 

Bisa jadi sofa merah adalah singgasana Ayu, Agus, dan Laras. Namun, jika biasanya singgasana ditempatkan di tempat tinggi, singgasana surga di bawah langit justru dibuat sedekat-dekatnya dengan bumi.

 

Jika singgasana identik dengan kegagahan dan kemewahan, singgasana surga di bawah langit justru sebaliknya. Benda tersebut dibuat dari sofa yang sudah ditinggalkan di pembuangan sampah. Kendati demikian “raja” yang duduk di sanalah yang memberinya nilai. Di kerajaan surga di bawah langit, tiga bocah bermahkota persahabatan tak dapat diperintah oleh realita telanjang.

 

Aku kembali pada adegan yang kutulis di awal artikel ini. Bagiku adegan dan percakapan kecil itu cukup kuat dan metaforik. Tidak ada yang berubah dari hidup di sekitar mereka. Namun merekalah yang menjadi penentu sudut pandang.

 

sumber foto: Layar.id

Payung pelangi adalah sarana Laras mencari nafkah. Lebih daripada itu, benda tersebut melambangkan harapan yang melindungi isi kepalanya. Laras menitipkan harapan itu kepada Kak Amar, pelatih vokalnya. Melalui Kak Amar Laras belajar bahwa harapan bukan sesuatu yang taken for granted. Pada sepotong adegan singkat, Laras melihat Kak Amar keburu dipayungi orang lain karena Laras terlambat datang latihan. Tak sekadar “terlambat memayungi”, Laras mengerti bahwa kesempatan adalah sesuatu yang harus ia kejar.

 

Sementara itu, sistem suara mewakili suara Ayu yang lantang serta kecintaannya pada menyanyi dan menari. “Suara” itu ia serukan dan bawa ke mana-mana. Pada suatu hari, Dewi mendapati Ayu diam-diam masih mengamen dan menari di jalan. Dewi marah sekali. Ia merampas sistem suara Ayu dan membantingnya sampai terburai berantakan. Bukan hanya urusan sistem suara, kekhawatiran Dewi menjadi godam yang menghancurkan kelantangan dan kecintaan Ayu.

 

Surga di Bawah Langit mencoba memotret realita seapaadanya. Namun, entah disengaja atau tidak, film ini nyaman secara visual. Permukiman kumuh, dinamika masyarakat, termasuk sampah-sampahnya hadir dalam elok pancarona; cerah, berwarna-warni, dan jauh dari nuansa suram.

 

Pilihan visual menarik lainnya adalah bingkai. Pada salah satu adegan, Laras mengintip anak-anak jalanan berlatih vokal bersama Kak Amar. Di antara lis jendela yang membingkai kaca-kaca buram, Laras menemukan satu kotak yang memberinya pandangan jernih. Tidak luas, tetapi mampu menangkap seluruh kegiatan secara utuh.

 

Mungkin pilihan bingkai dan tone warna Surga di Bawah Langit adalah cara film ini memindahkan mata Ayu, Agus, dan Laras kepada kita.

 

Paraiso

Ide Surga di Bawah Langit berangkat dari pengalaman personal yang telah berumur panjang. “Jadi dulu banget, waktu masih kecil, aku pernah lihat satu video klip di TVRI. Judul lagunya ‘Paraiso’,” cerita Rio Silaen, produser dan penggagas cerita Surga di Bawah Langit.

 

Dalam bahasa Filipina, paraiso artinya surga. Namun, Rio kecil heran karena alih-alih menampilkan keindahan surga, video klip itu justru mempersembahkan tumpukan sampah. Di kemudian hari Rio tahu “Paraiso” ditulis berdasarkan pengalaman anak-anak Smokey Mountain, wilayah pembuangan sampah di Filipina. Surga bagi mereka adalah kenyataan berikut kebaikan sekecil apapun yang masih dapat mereka temui. Misalnya, burung yang masih berani terbang melintasi wilayah mereka, kaleng kosong yang masih bisa mereka miliki tanpa harus berebut, dan kebebasan dari rasa takut.

 

“Paraiso” tertanam di hati Rio, tumbuh bersama pengalamannya sebagai pengajar vokal, dan bertahun-tahun kemudian bertransformasi menjadi film. Mengapa memilih membuat film musikal untuk anak-anak? “Semata-mata karena aku bergerak di bidang pendidikan—walaupun non formal—untuk anak-anak. Aku melihat film anak-anak atau film keluarga kurang di Indonesia. Karena aku punya latar belakang musik yang cukup kuat, kita coba buat film yang genrenya musikal,” papar Rio.

 

Menggandeng Pritagita Arianegara, sutradara yang filmnya (Salawaku, 2016) memenangkan empat Piala Citra, Rio mulai menggarap Surga di Bawah Langit. Film ini dibintangi oleh pemain-pemain kawakan yang menjanjikan seperti Happy Salma (Dewi), Jajang Pamuntjak (Nenek), Reza Rahardian (Agus dewasa), Acha Septriasa (Ayu dewasa), dan penyanyi bersuara empuk, Andien Aisyah (Laras dewasa).

 

Pemain-pemain ciliknya pun tak kalah gemilang. Ada Neona Ayu (Ayu) yang sejak kecil akrab dengan dunia tarik suara, Muzakki Ramadhan (Agus) pemeran Sancaka kecil di film Gundala yang aktif juga sebagai penyanyi cilik, serta Keira Vanaya (Laras) pendatang baru yang manis dan bersuara bening.

 

Meskipun pandemi membuat film ini harus menunggu dua tahun sampai rilis di bioskop, proses pembuatan Surga di Bawah Langit tidak terlalu lama. Hanya butuh waktu dua minggu untuk pengambilan gambar (2019).

 

Lokasi menjadi tantangan yang cukup membuat ketar-ketir. “Kita shooting di Zona 1,” ujar Rio Sialen. Zona 1 adalah area Bantar Gebang yang paling kotor, paling bau, dan paling tidak menentu keadaannya. Ada kekhawatiran pemain yang tidak terbiasa dengan keadaan itu tidak sanggup melakukan pengambilan gambar di sana. Jadi bagaimana hasilnya? Saksikan saja di bioskop mulai 30 Maret 2023 ini.  

 

Foto: Dokumentasi Surga di Bawah Langit

Aku akan mengutip beberapa penggal lirik “Paraiso” untuk menutup ulasan ini.

 

I learned to be free in paraiso
Free to claim anything I see
 

Paraiso make the world understand
That if I could see a single bird
What a joy


Mungkin kerajaan surga bukanlah kemegahan tiada tanding dan mimpi-mimpi besar yang jauh di awan-awan.

 

Ketika tidak berusaha menggenggam apa-apa, kita justru memiliki segalanya.

Komentar