[ULASAN] Mencuri Raden Saleh: “Boleh Kenalan?”

Peringatan: Mengadung bocoran 

“Boleh kenalan?” tanya Mas-mas di film Mencuri Raden Saleh kepada salah satu tokoh bernama Sarah. Mas-mas ini cuma muncul sebentar. Kehadirannya sebetulnya tidak mempengaruhi jalan cerita. Bahkan namanya pun kita tidak tahu. Tapi, seperti kerupuk di piring hidangan, ia adalah kerenyahan yang menyempurnakan rasa.  

Sebelum membahas Mas-mas ini lebih jauh, mungkin sebaiknya saya ceritakan dulu alur Mencuri Raden Saleh.

sumber gambar: Instagram @reza.hilman

Piko (Iqbaal Ramadhan) adalah pelukis muda yang terampil membuat lukisan palsu. Demi mendapatkan dua milyar rupiah untuk menyelamatkan ayahnya (Dwi Sasono) dari jeratan kasus, Piko menerima tawaran kurator istana, Dini (Atiqah Hasiholan), untuk memalsukan lukisan bersejarah “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh.

Supaya detail lukisan palsunya mendekati sempurna, Piko dibantu sahabatnya, Ucup (Angga Yunanda), peretas ulung yang membantunya mengakses data-data seputar “Penangkapan Pangeran Diponegoro” termasuk informasi-informasi restorasinya dari seluruh dunia.

Ternyata proyek memalsukan lukisan tersebut dikepalai Permadi (Tio Pakusadewo), mantan presiden dan politikus kotor yang ingin mencuri “Penangkapan Pangeran Diponegoro” asli. Tak hanya memalsukan lukisan, Piko jugalah yang dipaksa menukar lukisan palsu dengan karya asli yang akan dipamerkan di Galeri Nasional. Jika Piko tidak mau, Permadi mengancam membuat ayah Piko semakin tersiksa di dalam penjara. Piko tidak punya pilihan. Ia terpaksa menjalankan misi penuh risiko yang dititahkan Permadi.

Piko dibantu kekasihnya, Sarah (Aghniny Haque) yang atlet silat, montir bersaudara Gofar (Umay Shahab) dan Tuktuk (Ari Irham), Fella (Rachel Amanda) sang bandar judi dari keluarga elit, dan tentu saja Ucup.

Ternyata Permadi menjebak Piko dan kawan-kawannya. Permadi berhasil mendapatkan lukisan yang ia mau, tetapi keenam anak ini ditumbalkan hingga menjadi buron. Terinspirasi dari napas “Penangkapan Pangeran Diponegoro” versi Raden Saleh, Piko dan kawan-kawan memutuskan untuk melakukan perlawanan.

Sebelum Raden Saleh melukis penangkapan Diponegoro versinya, seniman Belanda Nicolaas Pienemann juga melukis peristiwa yang sama. Namun, keduanya mengambil sudut pandang yang bertolak belakang. Pienemann melihat peristiwa itu sebagai kecerdikan yang membawa harapan baru, sementara Raden Saleh menilainya sebagai pengkhianatan, kecurangan, dan menggambarkan rakyat Indonesia—termasuk Diponegoro sendiri—yang menjaga harkat dengan tetap menunjukkan sikap melawan. Semua itu dapat ditafsirkan melalui berbagai simbol yang bertaburan pada lukisan mereka, termasuk pada bahasa tubuh figur-figurnya, sampai warna langit penanda waktu.

Piko dan kawan-kawan yang merasa dikhianati dan dicurangi memutuskan merebut kembali lukisan asli “Penangkapan Pangeran Diponegoro”.  Mereka mengatur strategi agar dapat masuk ke rumah Permadi melalui pesta yang diselenggarakan mantan presiden itu. Saat segala rencana kembali kacau, Sarah terpaksa menjalankan plan B dengan menjebak Rama (Muhamad Khan), putra Permadi yang hidung belang. Terciptalah keributan di tengah pesta. Terjadi baku hantam antara sang atlet silat dengan anak-anak buah Rama. Pada saat itulah tiba-tiba Mas-mas entah siapa itu muncul, membantu Sarah, menyuguhi penonton dengan adegan perkelahian seru, dan di sela-selanya sempat-sempatnya bertanya kepada Sarah dengan gaya bak cowok-cowok film tahun 70an, “boleh kenalan?”

sumber gambar: instagram @reza.hilman

Apakah komplotan ini berhasil mebawa kabur lukisan Raden Saleh yang tersimpan di rumah Permadi? Plot twist apa yang kemudian muncul? Bagaimana film ini ditutup? Kalau itu tidak akan saya bocorkan. Teman-teman yang belum sempat menonton boleh mencari jawabannya di bioskop.

sumber gambar: welfare.id

Bagi saya, Mencuri Raden Saleh adalah rangkaian kesan yang membuat kita terpancing untuk bertanya: “Boleh kenalan?”

Di tengah film-film Indonesia yang hadir dengan beragam genre, hanya Mencuri Raden Saleh yang berani tampil beda dengan genre heist-nya. Sejak awal film ini menarik perhatian saya karena memberi lampu sorot kepada seni rupa. Di karya yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko ini, seni rupa terpapar sekeren itu. Bukan sekadar tempelan. Seluruhnya diriset cermat sehingga nama seniman dan istilah seni rupa hadir tepat pada tempatnya. Sejarah dan latar belakang “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh pun melebur harmonis sebagai bagian cerita. Berhubung film ini bukan film pendidikan seni rupa, tentu saja pancarona seni rupa hadir secukupnya saja untuk mendukung keberlangsungan cerita. Namun, lelatu yang ditimbulkannya berpotensi membuat penonton mencari tahu lebih jauh tentang seni rupa.

Historically Informed Performance (HIP)

Setelah menonton Mencuri Raden Saleh, saya dan Ikanpaus, suami saya yang musisi, membahas apa yang dilaukan Piko. Lepas dari label “pemalsu” yang disandangkan kepadanya, sebagai pribadi Piko tak bisa dibilang bukan seniman.

sumber gambar: Youtube Visinema

Piko mempunyai kepekaan-kepekaan seniman. Ia pun membuat replika “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dengan segala hormat. Piko memahami setiap simbol yang disiratkan lukisan tersebut, menghayati emosinya, bahkan mampu merefleksikannya dalam hidup. Ia tidak melukis dengan keterampilan yang dingin. Ada kedalaman pemahaman yang menjadikan “pemalsuan” yang dilakukannya mempunyai nilai emosional; membuatnya terkoneksi dengan Raden Saleh sendiri.

“Kalau dipikir-pikir Piko ini sama kayak temen-temen kamu yang mau perform, nggak, sih?” pikiran acak saya tercetus pada suatu pagi.
“Iya, sama. Kalau di musik klasik ada istilahnya: HIP. Historically Informed Perormance," sahut Ikanpaus.

Saat akan membawakan repertoar klasik, tak hanya berlatih memainkan partitur yang tersedia, musisi juga mempelajari sejarah, latar belakang, dan berbagai informasi seputar karya yang akan dibawakan. Semakin terperinci informasi yang mereka dapatkan, semakin dekat penampilan mereka dengan maksud yang ingin disampaikan sang komponis, semakin sempurna pulalah permainan mereka. Bahkan, demi mendekati bunyi otentik, ada musisi-musisi barok yang sengaja membuat ulang instrumen-instrumen yang sudah punah. Baru saya sadari, sepertinya kultur HIP ini tidak tumbuh di dunia seni rupa.

Berhubung karakter-karakter di film Mencuri Raden Saleh terasa begitu realistis, bukannya tidak mungkin di dunia seni rupa ada seniman dengan kepekaan dan keterampilan seperti Piko. Jika apa yang dilakukannya didasari semangat yang sama dengan musisi-musisi klasik, tidak bisakah mereplika dan menemukan kesenangan dalam penelaahannya diterima sebagai pilihan berkesenian seorang seniman?

Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini sekarang. Seperti akhir Mencuri Raden Saleh yang terbuka, saya akan membiarkan pertanyaan itu melanglang ke ruang-ruang yang bersedia menerimanya.

Sekarang, mari kita kembali kepada Mas-mas tak bernama yang diperankan Reza Hilman, fighting director film Mencuri Raden Saleh. Mari kita berpura-pura Mas-mas ini betul-betul ada.

Meskipun pertemuannya dengan Sarah begitu singkat, apa yang ia alami tentu terlalu berkesan untuk dilupakan. Hilangnya kesempatan berkenalan akibat kebakaran palsu di pesta Permadi bisa jadi menyisakan “rasa kentang” yang membuatnya geregetan setengah mati.

Setelah kesempatan berkenalan dibukakan oleh Mencuri Raden Saleh, kita akan apa?  

Mencari “Raden Saleh”?



Selamat Hari Keseimbangan
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah...

Komentar

Risma Dewi mengatakan…
Saya jadi penasaran ingin menonton filmnya. Terima kasih reviewnya, Teh.
salamatahari mengatakan…
Mari, lho, disatron di bioskop terdekat ��