Menanam Nenek

 
“Bikin dulu kopi!” suruh kakek saya.
“Sebentar dulu,” sahut nenek dengan suara lembut.
“APA?! SI BINTANG TUJUH?!” Kakek, yang ketika itu pendengarannya mulai terganggu, langsung ngegas enggak perlu.
Nenek mengangkat wajahnya. “Kubilang sebentar dulu,” ulang nenek dengan suara yang tetap lembut tetapi lebih jelas.

Kakek dan nenek saya asli Batak. Kakek bermarga Pandjaitan, sementara nenek boru Tambunan. Jika ditanya tentang mereka berdua, saya lebih sering bercerita tentang kakek alias ompung doli. Ompung yang ekspresif, spontan, hangat, terbuka, penuh kejutan, talkative,  dan selalu lucu tanpa bermaksud melucu lebih mudah diakrabi. Sementara ompung boru—yang saya panggil “nenek” supaya tidak tertukar dengan “ompung doli”—lebih tertutup dan pendiam. Saat mengingat dan menyusun kembali cerita-cerita tentang nenek, saya jadi sadar betapa kuat ikatan nenek dengan kampung halamannya: Balige.



Nenek lahir dan besar di Balige, dekat danau Toba. Konon ayahnya raja setempat. Awalnya ayah nenek penganut agama lokal dan punya ilmu-ilmu sakti. Tapi, setelah memeluk Kristen Advent, beliau menanggalkan kesaktiannya dan menjadi pendeta yang suka bermusik. Anak-anaknya—termasuk nenek—dididik menjadi pemeluk Advent yang taat.

Berdasarkan cerita yang saya dengar, di masa remajanya nenek cantik sekali. Ia sering merancang dan menjahit baju-bajunya sendiri, bertata krama baik, dan pintar memasak. Ompung doli saya, perwira gagah asal Porsea, naksir berat. Seperti Hades kepada Persephone, dia menculik nenek saya.

Ompung muda di usia menculik nenek

Singkat cerita ompung dan nenek akhirnya menikah. Namun, ompung butuh waktu panjang untuk memenangkan hati nenek. Ompung tidak pernah “menyentuh” nenek sampai nenek betul-betul “siap". Ompung pun bersedia mengantar nenek ke pasar malam untuk bertemu dan jalan-jalan berdua dengan cinta pertamanya. Selama nenek berkencan ompung menunggu dengan sabar, tidak mengganggu, dan tidak marah.

Anak pertama yang lahir jauh setelah pernikahan

Di kemudian hari ompung berhasil mencapai pangkat kolonel dan menetap di Jakarta. Sebagai tentara berpangkat tinggi, ompung jadi punya kehidupan dan tanggung jawab-tanggung jawab baru. Meskipun selalu mendampingi, nenek bersikap seperti orang asing di lingkungan sosial ompung. Nenek malas mendengarkan cerita-cerita ompung, terutama terkait profesinya sebagai tentara.  Nenek cenderung menarik diri, banyak melamun, serta mencipta lagu. “Tapi, kalau ada saudara-saudaranya dari Balige atau datang ke acara-acara adat Batak, nenek beda. Nenek keliatan nyaman dan jadi supel,” cerita mama saya.


Saya lantas teringat kepada ikan arsik masakan nenek yang lezatnya tak ada lawan. Nenek mempunyai semacam balong kecil untuk memelihara ikan mas-ikan mas yang akan dimasak di hari-hari istimewa. Sehari sebelum mengarsik, nenek selalu mengajak ikan-ikan di balongnya bercakap-cakap dalam bahasa Batak dan menyanyi untuk mereka. Entah apa yang nenek sampaikan dan lagu apa yang ia nyanyikan.

Di sela cerita-ceritanya yang jarang, nenek cukup banyak menyebut-nyebut Balige. Saya tidak ingat persis apa saja yang nenek ceritakan, tetapi setiap mendengar “Balige”, angan saya melukiskan birunya danau Toba, kesejukan udara, rumah gorga dengan ukiran-ukiran cantik, dan lagu-lagu Sion yang dinyanyikan dengan aransemen khas gereja Advent. Saat memejamkan mata, saya seperti dapat melihat hamparan rumput Balige yang mengistirahatkan pandang. Di keasriannya, hidup orang-orang Batak seperti nenek dalam sebentuk budaya samar-samar. Saya heran bagaimana gambaran itu dapat hadir terang benderang di kepala saya, padahal satu kali pun saya belum pernah menginjakkan kaki di tanah Balige.

Saya jadi sadar nenek saya tercerabut dari akar budaya, dari tanah kelahiran yang membuatnya hidup, dan dari Balige yang dicintainya. Ompung selalu berusaha membahagiakan nenek, tapi tampaknya gagal memahami apa yang diambilnya dari nenek.

Nenek tidak dapat dibahagiakan dengan status, kemewahan, rasa bangga yang selalu ompung tunjukkan tanpa gengsi, bahkan perhatian yang tak hanya ompung limpahkan untuk nenek sendiri tapi juga saudara-saudara nenek. Nenek hanya butuh ditanam kembali. 

Setelah ditarik paksa dari tanahnya, nenek tak sanggup mengejan akar baru di dunia ompung. 

Sesungguhnya nenek membutuhkan identitas yang utuh. Bukan sebagai bayang-bayang Kolonel K.E Pandjaitan, tapi sebagai puteri Balige yang lekat dengan adat istiadatnya sendiri.

Saat Kak Ita Siregar mulai menyuarakan Festival Literasi Balige, ada sesuatu yang terasa familiar dan memanggil. Ingatan-ingatan sunyi tentang nenek bermunculan di kepala saya dan membawa saya kepada perasaan halus yang hangat seperti air mata.

Melalui obrolan di telepon, Kak Ita menyampaikan cita-citanya terhadap kemajuan literasi dan pariwisata Balige. Ada kerinduan menghadirkan ruang-ruang budaya. Ada kecemasan generasi muda di era internet lupa mengeja identitas dirinya saat dihadapkan dengan arus informasi yang memaksa mereka memindai cepat. Ada pertanyaan, mungkinkah pesona dan tradisi Balige tetap lestari di tangan generasi muda?

Di pra festival yang dilaksanakan secara daring, Kak Ita meminta saya bicara mengenai literasi digital dan generasi internet. Meskipun belum tahu harus menyampaikan apa, saya cepat mengiyakan. Ada sesuatu yang membuat saya ingin terhubung dengan Balige dan mempersembahkan sesuatu ke sana.

Ketika mempersiapkan bahan presentasi, saya jadi sadar tak ada yang perlu dicemaskan dari perubahan. Dunia yang akan datang adalah dunia yang dipersiapkan untuk generasi berikutnya. Anak-anak masa kinilah yang lebih tahu cara menghadapi tantangan zaman.

Saya percaya kehidupan tak pernah mengambil tanpa memberikan gantinya. Sependek pengamatan saya, apa yang berangsur pudar selalu berganti dengan formula baru yang lebih sesuai dengan masa depan. 

Generasi mendatang tidak akan pernah lepas dari akar budaya, tetapi kelak memberi makna baru kepada identitas. Mereka melanjutkan tradisi dan mimpi-mimpi leluhur yang tidak selesai dengan cara mereka sendiri.

Saya adalah boru Batak yang tak lagi memiliki apa yang nenek miliki. Saya lahir di Jakarta, menghabiskan separuh hidup saya di Bandung, tidak bisa berbahasa Batak, tetapi bukan berarti tidak lagi membawa bagian diri nenek bersama saya. Siapa sangka di kemudian hari saya berkesempatan kembali ke Balige dengan cara yang pasti tak pernah nenek bayangkan. Internet memungkinkan saya menanam bagian diri nenek yang tercerabut dari akar  dengan pemahaman-pemahaman baru.



Saya sadar manusia senantiasa membawa jejak, harapan, dan sepotong alkisah yang tak mungkin diselesaikan sendiri. Kita adalah tubuh-tubuh fana yang dibatasi masa, usia, dan perlu menitipkan prasangka-prasangka baik kepada masa depan dan generasi yang mengemudikannya.


Terima kasih, Festival Literasi Balige.  Meskipun saya belum bisa hadir secara fisik di Balige, semoga tahun-tahun mendatang ada kesempatan untuk berkunjung. 

Terima kasih untuk kepercayaan panitia di pra festival lalu, merupakan suatu keluhuran yang saya hargai sepenuh hati.  

Teman-teman, Festival Literasi Balige masih berlangsung hingga akhir Juli. Simak informasi lengkapnya di sini, ya…


Selamat hari kakek-nenek dan lansia sedunia, 24 Juli.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah...

Komentar