Dialita Choir: Mereka yang Bernyanyi Berdoa Dua Kali

 Ada satu kutipan yang saya ingat waktu menonton film dokumenter “Lagu untuk Anakku”:

“Mereka yang bernyanyi, berdoa dua kali.”


Konon kalimat yang dicetuskan Santa Agustine tidak persis begitu. Namun, bagi saya, kutipan populer tersebut sangat jitu menggambarkan ibu-ibu Dialita. Ibu-ibu Dialita bernyanyi untuk mencurahkan isi hati dan saling menguatkan. Di saat-saat paling tak mudah, bernyanyi menjaga kewarasan, mencatat peristiwa, sekaligus menjadi neraca; penyeimbang keberanian untuk mengungkapkan dan keikhlasan untuk memaafkan.

sumber: IG @dialitachoir

Tiga tahun lalu, pada suatu hari, saya dihubungi tiga teman sekaligus: Bang Udin, Ayu, dan Arum. Mereka mengajak saya mampir ke Ruang Putih untuk menonton konser kecil Paduan Suara Dialita. Berhubung Ruang Putih bisa ditempuh dengan jalan kaki saja dari rumah, saya memutuskan hadir tanpa banyak bertimbang. Setelah sampai di sana, barulah saya bertanya lebih banyak tentang Dialita dan konser apa yang akan saya saksikan. Begitu tahu saya cukup terkejut.

Dialita—di atas lima puluh tahun—adalah paduan suara beranggotakan perempuan-perempuan berstatus tahanan politik di masa orde baru. Pikiran saya terlempar pada gambaran Gerwani dalam film “Pengkhinatan G30S PKI”, tetapi berbelok cepat kepada kenangan-kenangan saya terhadap Pak Amarzan (yang waktu itu belum berpulang). Mendadak pikiran saya kacau. Saya tidak tahu apa yang harus saya persiapkan untuk menyaksikan konser hari itu.

Kendati demikian, saya memilih menyimak dengan hati dan pikiran terbuka. Saya mempersiapkan diri menerima kemungkinan apa saja. Ternyata, apa yang saya saksikan memberi sudut pandang baru yang menghangatkan hati. Seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak, imaji  Gerwani sadis nan psikopat segera sirna. Siang itu, dengan kesadaran utuh, pikiran saya mulai membuat catatan baru.

April 2019 untuk pertama kalinya saya bertemu langsung dengan perempuan-perempuan yang pernah menyandang cap tahanan politik ini. Di ruang kecil yang hangat, saya dan hadirin lainnya mendengarkan ibu-ibu Dialita beryanyi dan berbagi cerita. 



“Tidak ada dendam sama sekali,” ungkap Ibu Tuti Martoyo, salah satu personil Dialita favorit saya yang matanya selalu berbinar dan tampil gaya. Hati saya terenyuh. Tidak ada intensi balas dendam dan kebencian, apa lagi kesadisan. Bukan berarti mereka menyangkal dan menutupi kisah-kisah pahit yang terjadi. Pengalaman tersebut hanya mereka sampaikan sebagai cerita lalu dengan segala muatannya.  

Ibu Tuti bercerita

Bagi mereka, bernyanyi adalah cara menyembuhkan luka dan trauma sekaligus meruntuhkan stigma. Harapannya, dengan bernyanyi mereka dapat membangun relasi yang normal-normal saja dengan kita. Ibu-ibu Dialita hanya ingin diterima dengan cinta, dilihat sebagai ibu-ibu biasa beserta dimensi manusiawinya, dan melestarikan karya mereka yang sayang jika dilupakan begitu saja.

Di sela-sela nyanyian, mereka pun menceritakan kisah-kisah yang melatari setiap lagu. “Salam Harapan” misalnya adalah lagu yang ditulis untuk mereka yang berulang tahun di penjara, biasanya disertai hadiah berupa rajutan karya sendiri atau bunga mawar yang dipetik di kebun rumah tahanan. “Relakan” ditulis untuk teman-teman yang meninggal atau dibawa pergi. “Kita gendong-gendongan untuk lihat teman yang dibawa,” cerita Ibu Muji sambil menjelaskan posisi jendela rumah tahanan yang cukup tinggi.

“Lagu untuk Anakku” yang diangkat sebagai judul film dokumenter Bang Salahuddin Siregar ditulis untuk anak-anak yang lahir di balik jeruji. Simak liriknya:

Lihatlah pagi cerah dunia, anakku
Lihatlah mawar merah merekah, sayangku
Secerah pagi indah hari depanmu
Semerah mawar rekah harapanku

Duka derita kubawa setia
Cinta dan cita lahirlah semua
Menyinari hari mendatang, sayangku
Jadilah putra harapan bangsamu


Bukankah menyanyikannya seperti berdoa dua kali?

 

Pada tanggal 12 Maret 2022 lalu, film dokumenter “Lagu untuk Anakku” diperdanakan di kanal youtube Negeri Films. Saya agak terlambat menonton karena sengaja mencari waktu untuk menyimak film itu tanpa disambi.

Bagi saya “Lagu untuk Anakku” adalah salah satu narasi peristiwa 65 terbaik yang pernah saya saksikan. Meskipun mengambil posisi berseberangan dengan pelajaran saya semasa sekolah, film ini tidak provokatif. Adegan kekerasan yang ditampilkan hanya secuplik dokumentasi kerusuhan 65 yang dibisukan, tetapi kita memang perlu melihat itu agar mendapat gambaran utuh. 

Pada intinya "Lagu untuk Anakku" mengajak kita melihat lanskap agar memperoleh pemahaman yang berimbang. Ibu-ibu Dialita bercerita dari sudut pandangnya; dengan nyanyian dan kesenian yang hadir sebagaimana hakikatnya. Alur dan susunan adegan di film ini pun hangat simpatik. Tak hanya menceritakan pengalaman ibu-ibu Dialita, musisi-musisi yang meng-cover lagu-lagu Dialita pun berkesempatan membagi pandangan dan pengalaman mereka dengan lagu Dialita. Betapa lagu-lagu tersebut--doa yang disampaikan dua kali--masih memberi dampak menguatkan bagi generasi berikutnya.

Usai menonton, saya dan suami saya membahas film "Lagu untuk Anakku". Sama seperti saya, ia setuju dengan pilihan sudut pandangnya. Saat ini yang kita butuhkan memang membuka semua cerita. Bukan untuk memperpanjang mata rantai balas dendam, melainkan untuk rekonsiliasi.

Di kesempatan lain, saat membahas karya teman saya, Theo Frids Hutabarat, kami membandingkan pengertian “sejarah” dan “masa lalu”. Theo lebih suka menggunakan istilah “masa lalu” karena “sejarah” membingkai dengan lebih terbatas. 

Saya jadi berpikir. Jika “masa lalu” berpasangan dengan “masa depan”, bukankah yang selalu kita harapkan memang “masa depan yang lebih baik”?

Jadi, sebetulnya kita harus belajar dari "sejarah" atau "masa lalu"? 

Silakan menyimak kisah Dialita lebih lengkap di "Lagu untuk Anakku". Filmnya bagus, deh, bisa ditonton di sini

Mari berkenalan dengan ibu-ibu Dialita dan nyanyian-nyanyiannya lewat akun instagramnya: @dialitachoir

Selamat Hari Keseimbangan

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah...

Komentar