“Iiiihhh, salaaah, hahahaha,” tanggap bocah itu seraya tergelak.
“Apa, dong?” tanyaku.
Bocah itu membuka tangannya yang menangkup. Rangkaian aksara beterbangan dari telapaknya yang mungil, tumbuh menjadi pohon tinggi, menebarkan harum cengkih dan kayu manis, melayarkan kisah sejarah dengan cara-cara paling menyenangkan, memotret pengalaman dan kenangan, serta…oh…baru kusadari, itu semua hadir dalam puisi anak-anak. Mata kepalaku berbinar saat mengeja puisi dan warna-warna yang mengelilingiku.
“Bocah Rempah” membawa lima puluh kantung mungil puisi tentang rempah-rempah. Puisi-puisi ini dikemas lagi dalam wadah-wadah berlabel: “Kisah Cengkih”, “Rahasia Rasa”, “Saudagar, Phinisi, dan Rempah”, “Cerita Pala”, dan “Dari Banda ke Meja Makan Dunia”. Menarik sekali.
Aku menangkap salah satu wadah—“Saudagar, Phinisi, dan Rempah”— lantas menjumput sebuah kantung di dalamnya, tajuknya “Percakapan dalam Wadah Rempah”.
“Aku selalu dibeli lebih sedikit, seperti pala,” kata cengkih
“Meski sedikit, kita harus ada,” sahut pala
“Kalian istimewa, juga lada” tukas garam.
(halaman 27)
Bukan hanya menghirup keharuman, aku seperti dapat mendengar suara para rempah bercakap-cakap. Cengkih yang bersuara agak serak, pala yang suaranya dalam dan berwibawa, serta garam yang bersuara gurih dan renyah seperti penyiar radio. Melalui percakapan itu, aku—dan pastinya anak-anak Indonesia—jadi mengenal setiap rempah. Mereka bercakap-cakap seperti sahabat, tergelak bersama, dan saling memberikan dukungan.
"Kisah kami ada di laut, gunung, juga dataran lain, tapi kisah kalian, aroma kalian, perjalanan kalian, tak ada bandingan,” garam memuji.
Rempah yang bercakap-cakap lantas lebur bersama-sama sebagai bumbu. Setelah itu senyap. Saat kisah mereka terbang jauh, mataku kembali menjelajahi puisi-puisi yang bertebaran.
Aku kemudian tertarik pada wadah “Rahasia Rasa”. Di dalamnya aku mendapati sekantung puisi dengan judul “Rempah di Toples Kaca” (halaman 31-32).
Puisi itu bercerita tentang Om Iwan, Om Si “Bocah Rempah” yang tinggal di Minnesota, Amerika Serikat. Sebagai pengobat rindunya terhadap Indonesia, Om Iwan melakukan ini:
Malam itu Om Iwan mengisi toples kecilnya
dengan lima sendok makan cengkih
sembilan butir pala
dua sendok makan lada hitam
(…)
“Membaui rempah dari toples adalah cara melepas kangen pada Indonesia
Nanti kau akan tahu rasanya anak muda.”
Aku belajar kangen pada Indonesia.
Aku tak bisa menahan senyum membacanya. Puisi ini mengemas beberapa hal sekaligus. Kisah keluarga yang hangat, fungsi rempah yang tak melulu untuk masakan, memperkenalkan kota di negara lain sambil dengan cerdik menautkannya dengan identitas bangsa.
Saat berhadapan dengan “Rempah di Toples Kaca”, aku seakan dapat ikut menghirup harum rempah yang diracik Om Iwan sambil mengencangkan ritsleting jaket North Face-ku melawan udara dingin Minnesota. Namun, aroma dan tiupan angin dari “Rempah di Toples Kaca” segera berlalu. Selanjutnya, melintas di hadapanku “Kisah Rempah” dengan rimanya.
Pelaut melayarkan karung-karung rempah
menuju negeri-negeri jauh jutaan langkah
rempah, aromanya menenangkan
khasiatnya menyehatkan
(halaman 71)
Aku menemukan puisi itu di wadah “Dari Banda ke Meja Makan Dunia”. Setiap kantung puisi yang kutemukan di wadah tersebut membawaku melanglang ke mana-mana.
Setelah lelah bertualang dengan kendaraan puisi, aku kembali ke meja kerjaku sendiri. Kuamati “Bocah Rempah” yang ditulis oleh Ari Ambarwati, seorang Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia yang banyak menulis fiksi anak-anak. Puisi-puisinya yang menggemaskan itu ditemani oleh ilustrasi lucu dengan garis-garis naif kekanakan karya Retno Suci. Aksara dan citra tersebut lebur menjadi dunia anak-anak yang lugu dan penuh rasa ingin tahu.
Tangan “Bocah Rempah” yang menangkup ternyata punya kapasitas lebih besar daripada kemungilannya. Ia dapat memperkenalkan rempah-rempah, mengajak bermain, belajar geografi, bahkan menceritakan sejarah dengan cara yang sangat menyenangkan. “Bocah Rempah” pun menghadirkan kehangatan keluarga, bahkan menyisipkan pesan kesetaraan gender dengan cara yang halus sekali. Misalnya, pada “Sup Buntut” (halaman 19), ketika yang memasak tak harus selalu ibu, tetapi bisa juga ayah.
“Bocah Rempah,” panggilku.
“Kok bisa, sih, semua konten itu muat-muat aja di tangan kamu yang mungil itu?”
“Bocah Rempah” menoleh kepadaku kemudian menatapku dengan matanya yang cemerlang. “Bukan muat di tangan aku, Kak Dea, tapi muat di puisi,” ujarnya sambil tersenyum.
“Muat di puisi,” ulangku sambil merenungkan kata-katanya.
Ketika “Bocah Rempah” berlari-lari menangkapi puisi-puisinya kembali, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Meskipun kerap hadir dalam rangkai kata yang ringkas, puisi mampu memuat macam-macam. Perasaan yang paling kompleks, kritik sosial yang menyentuh banyak dimensi, intisari kearifan, dan apa saja.
Aku mencermati “Bocah Rempah” yang hadir untuk ahli waris rempah, anak-anak Indonesia. Ia bahkan tetap cukup berkelimpahan untuk memberi kepada kita yang mungkin bukan anak-anak lagi.
Pala berakar dari bahasa Sansekerta, phala, artinya buah dari pohon
(hal 61, Banda)
Kusadari, pohon yang sehat tak pernah kehabisan buah untuk dibagi….
Bocah Rempah adalah kumpulan puisi anak karya Ari Ambarawati, diilustrasikan oleh Retno Suci, dan diterbitkan oleh penerbit Diomedia, 100 hal, artpaper full color, 20 x 20 cm, hardcover. Pemesanan ke WA 0838-3487-7705 (Komariyah)
Komentar