[REVIEW] Kencan Sore dengan Sekar Ayu Asmara

Ulasan seperti apa yang akan saya tulis untuk “Kitab Kencan” Bu Sekar Ayu Asmara? Tidak mungkin tidak personal. Di setiap halamannya saya seperti mendengar Ibu Sekar berbicara. Suaranya yang berat, nada bicaranya lempeng, cetusannya yang asam-manis-pedas, caranya berpikir, menilai, serta selera humornya yang merangkum rentang tahun 80an hingga hari ini. Tiba-tiba saya jadi kangen Bu Sekar.

Jauh sebelum mengenal Bu Sekar secara personal, nama Sekar Ayu Asmara saya kenal lewat karya-karyanya yang cenderung tragis. Sebut saja “Pintu Terlarang” , “Biola Tak Berdawai”, dan “Belahan Jiwa”. Masing-masing berbicara mengenai masa lalu kelam tokohnya dan kondisi psikologis yang mengikuti.

Meskipun mengenal karya-karyanya, saya tidak pernah tahu seperti apa sosok Sekar Ayu Asmara. Sampai beberapa tahun yang lalu, di Borobudur Writers Festival, saya duduk satu meja dengan ibu-ibu berbaju hitam-hitam. Ia tampak serius, tapi sering tiba-tiba melontarkan komentar out of the box dengan suara rendah dan datar. Pilihan kata-katanya lincah, kontras dengan ekspresinya yang dingin. Tetapi ibu ini cepat membuat saya merasa nyaman. Ia adalah perpaduan unik antara cuek dan perhatian, antara seorang ibu yang melindungi dan teman seru-seruan yang membebaskan, serta tidak membuat saya canggung menjadi diri sendiri.

Setelah mengobrol ke mana-mana, barulah saya sadar kami belum bertukar identitas. Waktu saya menanyakan apa yang biasa beliau tulis, dengan nada suaranya yang lempeng dan khas beliau menjawab:

“Tulisan saya kurang terkenal, mungkin kamu juga nggak tahu.”
“Kalau gitu nama Ibu siapa? Dea panggilnya apa?”
“Aku Sekar Ayu Asmara.”
“APA?!!! KURANG TERKENAL?!!!”

Pertemanan kami berlanjut. Bagi saya, Bu Sekar adalah sosok yang tak pernah berhenti melempar kejutan. Di kemudian hari saya tahu, di samping karya-karya thrillernya, Bu Sekar juga menulis buku anak-anak. Salah satunya “Si Kulang Pandai Bernyanyi” yang pernah saya ulas di sini.

Saya juga jadi tahu betapa besar kepedulian Bu Sekar pada isu kekerasan anak. Dalam suatu obrolan, barulah saya sadar, kisah-kisah thriller Bu Sekar sebetulnya berakar pada hal itu. Gambir, tokoh utama "Pintu Terlarang" mengalami kekerasan yang mengerikan di masa kecilnya. Sementara Renjani, tokoh utama "Biola Tak Berdawai", dikejar rasa bersalah karena menggugurkan bayi yang dikandung. Dari sanalah saya jadi tahu dari mana sisi keibuan Bu Sekar berasal.

Sebagai penulis Bu Sekar sama sekali tidak posesif terhadap karyanya. Ia selalu memberikan kebebasan penuh kepada siapapun yang mengalihwahanakan karyanya. Hasilnya, alih wahana itu selalu melahirkan kebaruan yang memperkaya perjalanan si karya. Sebut saja “Pintu Terlarang” yang difilmkan Joko Anwar, dialihwahanakan dari novel Bu Sekar dan novel “Biola Tak Berdawai” Seno Gumira Ajidarma yang ditulis berdasarkan skenario Bu Sekar.

Di kemudian harinya lagi, saya tahu Bu Sekar bukan hanya penulis. Berpuluh tahun lalu, ia juga pernah memenangkan lomba rancang busana bergengsi. “Aku juara karena bikin motif sendiri, desain perhiasan sendiri, dan penampilan diiringi lagu ciptaan sendiri,” cerita Bu Sekar ketika kami mengobrol dengan beberapa senior yang pernah terlibat di majalah “Femina”. Multitalenta sekali, bukan?

Sepanjang waktu, bagi saya Ibu Sekar selalu muncul dengan kejutan-kejutannya. Tahun lalu Bu Sekar yang enggan punya media sosial sendiri malah membantu cucunya menggarap video youtube dongeng (bisa ditonton di Khaelendra’s Krazy Stories. Seru, imajinatif, natural, dan menyenangkan sekali). Pada suatu hari yang random Bu Sekar mencerahkan hari saya dengan mengirimkan video tersebut.

Bu Sekar juga meluangkan waktu untuk hadir menonton preview zoomsical "Bianglala" garapan Program Musik Anak Bandung Philharmonic, yang naskahnya ditulis saya. Untuk saya, itu adalah dukungan yang sangat berarti.

Beberapa minggu lalu Bu Sekar tahu-tahu mengirimi saya buku terbarunya, “Kitab Kencan”, yang jauh berbeda dengan buku-buku lain yang pernah ia tulis sebelumnya.

“Nanti Dea review, ya, Bu,” janji saya.
“Kalau ketawa, boleh review,” sahut Bu Sekar.

Ketika membaca “Kitab Kencan”, teks di buku ini seakan-akan hadir audio-visual di hadapan saya. Saya bisa membayangkan suara dan ekspresi Bu Sekar di setiap kalimatnya, itu sebabnya tentu saja saya tertawa sendiri.

Di “Kitab Kencan”, Bu Sekar membahas seperti apa teman kencan yang tak perlu diberi kesempatan untuk kencan-kencan berikutnya. Meskipun buku ini berbeda dengan tulisan-tulisan Bu Sekar yang lain, bagi saya karya yang satu ini justru tidak terasa asing. Bu Sekar hadir effortless sebagai dirinya dengan bahasa tutur sehari-hari. Setiap “tips” yang tertulis di sana seakan meluncur spontan dari mulut Bu Sekar. Salah satu contohnya adalah ketika membahas teman kencan yang membawa seluruh keluarga sejak kencan pertama:

Kayak lo diajak makan ke restoran all you can eat. Lo kenyang, tapi nggak ingat apa yang lo makan.

Betul juga :))

Buku ini ditemani oleh gambar-gambar warna-warni Emte, ilustrator yang juga pernah berkolaborasi dengan penyair Aan Mansyur di “Melihat Api Bekerja”. Menurut saya, Emte seperti teman mengobrol yang pandai menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya. Ia menimpali cetusan-cetusan Bu Sekar dengan ilustrasi yang menyajikan selera humor selaras, mengingatkan saya pada majalah-majalah tahun 90an.


Setiap halaman (yang uniknya tidak disertai nomor halaman) tampak meriah. Di sisi kiri kita dapat membaca tulisan pendek Bu Sekar yang dibingkai dengan corak berganti-ganti, sementara di sisi kanan hadir pancarona ilustrasi Emte. Setiap halaman seperti festival yang raya. Seru, deh.

Bukan tanpa alasan di awal ulasan ini saya bercerita panjang lebar tentang Bu Sekar. Tujuannya, agar sebelum membaca bukunya, kamu pun merasa akrab dengan sosok personal sang Ibu yang Solar Gemini. Kenapa? Karena membaca "Kitab Kencan" seperti menerima kehadirannya secara langsung untuk bercakap denganmu.

Jika kamu membaca buku ini, jangan terlalu serius dipikirkan dan dibawa ke hati. Anggap saja obrolan sore dengan seorang teman akrab. Saking akrabnya ia tidak sungkan mengutarakan apa pun yang terlintas di pikirannya. Ia juga tidak ragu-ragu menunjukkan sudut pandang yang ia pilih. Teman akrab ini datang kepada kita menjelang petang, mengajak kita menertawakan hidup, menyingkirkan pikiran-pikiran yang membuat kening berkerut, membahas apa saja tanpa takut dianggap receh, kemudian membiarkan satu hari berlalu dengan senang. Ringan dan senang.

Bukan Bu Sekar namanya jika tidak hadir dengan kejutan. Apa kejutan yang ia bawa bersama “Kitab Kencan”-nya? Saya tidak akan memberikan bocoran. Kamu akan tahu sendiri jika mengundang Bu Sekar hadir mengobrol denganmu melalui buku ini.

Bagaimana...?


Miss you , Bu Sekar, sehat-sehat di Ibu Kota, ya....
 

Komentar