tala1/ta·la/ n Mus 1 laras (kesesuaian nada); 2 alat untuk melaraskan nada; garpu tala
Taun ini, tanggal 18 Mei kemaren, Ikan Paus dan Dea memasuki taun ke-7 pernikahan. Karena lagi hectic-hecticnya, terutama menuju perilisan zoomsical “Bianglala”, nggak ada perayaan yang terlalu istimewa.
Pagi-pagi mama mertua Dea kirim ronde dan nge-whatsapp-in segala filosofinya. Kata mama, ronde ngelambangin doa mama dan papa. Kira-kira gini penjabarannya:
- Bulet adalah simbol rejeki yang penuh dan utuh
- Ronde besar dan kecil simbol peristiwa besar dan kecil yang kami lewatin setiap hari.
- Ronde besar isinya kacang. Artinya, di setiap peristiwa besar ada makna yang terkandung. Kacang selalu bikin tanah yang dia huni jadi subur. Harapannya, idup kami selalu berguna buat lingkungan di mana pun kami berada.
- Air pandan, jahe, dan gula, lambang dari idup yang manis dan harum.
- Ronde yang lengket dan warna-warni juga jadi doa
untuk hari-hari kami ke depannya.
Nah. Untuk ngelengkapin semua filosofi itu, kami ngehidangin ronde dari mama di loyang kue. Selain representatif, makannya cukup pake satu wadah sehingga irit cucian :))
Tadinya hari itu Ikan Paus dan Dea berencana makan keluar, nyari tempat yang sepi, aman, dan ada makanan panasnya. Tapi menimbang situasi Covid-19 dan stamina kami sendiri, akhirnya kami memutuskan untuk makan di rumah aja. Supaya menunya berasa agak beda, kami masak mie instan yang fancy ini:
Enak juga, lho, bumbunya kayak white curry beneran.
Hari itu kami perlu keluar untuk ngurus beberapa hal. Ternyata nggak semuanya mulus sesuai harapan. Alat rekam Ikan Paus rusak total karena baterenya bocor, pulsa Dea angus padahal belum kepake sama sekali, dan di rumah, Dea baru sadar kalau ternyata KTP Dea ilang. Artinya kami harus keluar untuk ngurus lagi secepetnya :(
Karena sama-sama capek, kesel, masih harus ngejalanin serangkaian protokol pula sebelum istirahat, malem itu nada suara kami sempet agak tinggi ke satu sama lain. Tapi begitu sadar, otomatis kami sama-sama ngerem. Kami tau, di situasi kayak gitu, yang justru harus kami lakuin adalah “mendengarkan” bukan “minta didengarkan”. Kami belajar, itulah cara paling efektif untuk dipahami dan memahami, untuk tetep ada di jalur komunikasi yang selaras, supaya semuanya bisa berjalan baik sesuai tujuan.
Ketika ngasih waktu untuk emosi supaya bisa luruh, Dea sadar kalau dalam 7 taun pernikahan kami ngelatih ini dari waktu ke waktu. Seperti yang dilambangin ronde kiriman mama mertua Dea, kami belajar lewat peristiwa besar, kecil, dan warna-warni yang kami temuin setiap hari. Karena dibiasainnya sedikit-sedikit, progresnya nggak langsung kerasa. Tapi di taun ke-7 pernikahan, Dea cukup amazed sama hasilnya. Seperti sekring yang otomatis, kami tau kapan harus “memutus” sebelum korslet.
Setelah
bersih-bersih dan lebih tenang, kami ngereview semua kejadian sepanjang hari,
apa yang harus kami lakuin, dan gimana kami
udah bertumbuh sepanjang tujuh taun. Kami sadar kalau kami berdua individu yang
berbeda. Cara mikir kami beda. Cara komunikasi kami beda. Cara kami nyelesein
masalah beda. Apa yang kami suka beda. Didikan keluarga dan latar belakang kami
masing-masing juga beda.
Tapi
kami belajar, kebiasaan “menyimak” bikin kami lebih kaya dengan pengalaman dan
sudut pandang. Nurunin ego seperti nundukin kepala sedikit untuk masuk lewat
pintu yang nggak setinggi kepala. Kalau kita bersedia ngelakuin itu, ngelewatin
apa pun jadi lebih gampang. Kami juga jadi punya lebih banyak ruang untuk
ngerawat kasih sayang dengan empati dan ketawa-ketawa.
Taun ke-7 pernikahan disebut “Taun Tembaga”. Foto cincin warna tembaga di foto paling atas sebetulnya dibuat dari pinggir-pinggirnya kemasan ini:
Membantu memulihkan stamina dan memelihara daya konsentasi |
Happy 7th year anniversary, Ikan Paus
Here’s to another year of growing up together in harmony…
Komentar