Di Balik Naskah dan Komposisi Bianglala

Dua minggu terakhir adalah pekan kejar tayang buat Dea dan Ikan Paus. Itu sebabnya Dea nggak sempet bikin tema dan empat artikel untuk zine-zine-an online minggu ini. Tapi, demi seenggaknya menuhin komitmen ngunggah secara berkala, Dea cerita sedikit tentang apa yang Dea kerjain dua pekan ini ya…


Hampir setaun yang lalu, Airin, CEO Bandung Philharmonic, ngirim tautan pertunjukan zoomsicals ke kami di divisi anak-anak Bandung Philharmonic. Zoomsical ini pertunjukan musikal, tapi formatnya zoom. Pemainnya nggak tampil segambreng-gambreng barengan di panggung, tapi di-shoot sendiri-sendiri dan dijajar sekotak-sekotak di layar. Ada beberapa komunitas di luar negeri yang ngegarap pertunjukan dengan sistem ini di masa pandemi. Tujuannya supaya tetep bisa berkarya, tapi nggak terlalu banyak kontak fisik sama orang lain.

“Bikin yang kayak gini juga, dong,” kata Airin. 

Kami mau-mau aja, tapi masih belum kebayang caranya supaya sangkil, mangkus, dan tetep bagus. Karena kami harus jalan terus, rencana zoomsical ini kami simpen dulu. Divisi anak bergerak dengan program-program yang masuk akal untuk dikerjain dulu.

Beberapa bulan yang lalu ide zoomsical ini kembali diangkat dan ditanyain. Mario, manajer program divisi anak, udah kebayang cara ngegarapnya. Meskipun latihan dilakuin daring dari rumah masing-masing, rencananya shooting dan rekaman bakal diambil secara profesional sama tim Bandung Philharmonic. “Supaya seragam dan pasti bagus gambarnya,” kata Mario. Selain itu, kalau direkam tim, selama gambarnya diambil mereka tetep bisa diarahin langsung sama Mario sebagai sutradara.

Maka, mulailah kami nyiapin bahan untuk zoomsical. Tadinya naskah mau dimodifikasi dari dongeng simfonik yang Dea tulis tiga taun yang lalu, “Monsters Under the Bed”. 

Tapi karena kayaknya cerita ini agak susah digarap dalam format zoomsical, kami mutusin bikin cerita baru aja sekalian. Mario sepenuhnya nyerahin penggarapan cerita ke Dea dan Dea senang :D

Singkat cerita, Dea akhirnya bikin naskah tentang terpecahnya cahaya putih jadi warna-warna pelangi. Sebelum sampe ke ujung kisah, ada rangkaian konflik yang harus mereka hadepin. 


Tiap karakter Dea garap sungguh-sungguh. Untuk anak-anak insya Allah bakal seru dan menghibur. Tapi, untuk orang gede bisa menarik juga. Sebab, meskipun disampein dalam bentuk cerita anak-anak, “Bianglala” ngegambarin gimana kita ngerespons masalah sehari-hari. Di paling nggak satu tokoh yang ada di situ, Dea yakin kita bisa nemuin cermin diri kita sendiri.

Karena bebas, Dea juga milih kosakata-kosakata yang lebih jarang dipake. Misalnya, Dea milih judul “Bianglala”, bukan “Pelangi”. Mungkin karena bianglala nama wahana Dufan, kata itu kedengeran lebih playful dan imajinatif buat Dea. Anak-anak juga jadi belajar kosakata baru dari judul ini.

Di beberapa bagian lagu, Dea juga make kosakata yang nggak terlalu umum tapi didengernya enak. Misalnya, Dea make kata “kirana” untuk nyebut “sinar”. Karena teks ini bakal dinyanyiin, Dea juga berusaha milih kata-kata yang berrima dan cantik. Antara lain ini:

Rampai terrangkai, bak puspamala
Rantai teruntai, arzak dan ratna

“Rampai” adalah macem-macem jenis kembang yang dironce jadi satu, sementara puspamala itu karangan bunga yang dikalungin. Kalau “arzak” (bukan Azrax!) artinya permata yang warnanya indah, sementara, “ratna” artinya batu mulia. 

Begitu kira-kira.

Supaya temen-temen yang lolos audisi dapet ilmu juga, kami nge-recruit Ci SylviaEunike, pelatih vokal profesional yang punya pengalaman nyanyi di Elfa’sSingers. Ci Sylvi bakal ngasih coaching clinic sekalian ngelatih lagu-lagu yang harus dinyanyiin tiap pemeran.

Urusan akting ditanganin Mario. Selain berpengalaman terlibat di berbagai pertunjukan musikal, lewat coaching clinic Mario juga bisa nularin kecintaannya sama dunia pertunjukan musikal ke para peserta.

Setelah segala sesuatunya siap, audisi digelar. Terpilihlah sekian pemeran yang bagus-bagus semua. Serius. Bagus-bagus banget. Ini dia nama-namanya. Mungkin ada yang kamu kenal: 


Gara-gara itu Si Ikan Paus tau-tau impulsif.

“Kalau gitu ini komposisinya bakal aku rombak total semua. Berarti naskahnya juga harus kita rombak total.”
“HE? Sebentar lagi kan mereka udah mulai latian,” Dea syok.

Setelah ngobrol rada intens, Dea jadi sepakat sama Ikan Paus, ngerombak naskah dan komposisi kami. Setiap lagu di-custom sesuai dengan kekuatan masing-masing pemeran, tapi juga mengandung tantangan-tantangan yang kayaknya bakal menarik untuk mereka coba lampaui, supaya maju ke next level. Karakternya juga Dea pertajem lagi, bahkan ada yang Dea rombak total, tapi jatohnya justru di luar apa yang bisa kami bayangin.

Ikan Paus juga ngajarin beberapa prinsip naskah musikal ke Dea. Kata Ikan Paus, di naskah musikal ada yang namanya “aria” dan “resitatif”. Aria semacem soundtrack setiap tokoh. Bentuknya kayak lagu pada umumnya, tapi harus bener-bener ngegambarin inti pemikiran dan perasaan si tokoh. Bagian itu adalah bagian yang mau di-highlight supaya penonton nangkep siapa tokoh ini. Secara nggak langsung, lagu itu jadi identitas si tokoh.

Sementara itu, resitatif adalah percakapan-percakapan biasa yang dinyanyiin. Nggak harus dibikin kayak lirik lagu, nggak perlu juga berbentuk satu lagu utuh, tapi kalau bisa karakternya jangan putus dari aria masing-masing tokoh. Tadinya kami mau main-main cukup banyak dengan aria dan resitatif ini. Tapi akhirnya bagian resitatifnya kami kasih sedikkkkiiiiit banget aja. Kami lebih konsentrasi ngegarap bagian aria masing-masing tokoh.

Seperti masih kurang kerjaan, kami pun bikin naskah kedua. Cerita yang tadinya direncanain jadi epilog pendek “Bianglala”, kami bikin jadi satu naskah utuh mandiri yang pararel sama naskah utama. Lagunya total baru.

Idealnya, semua keriaan ini kami kerjain dalam tempo empat hari saja. Soalnya, empat hari setelah kami nerima hasil audisi, seluruh peserta udah dijadwalin kumpul di zoom untuk perkenalan dan table read. 

table read "Bianglala"

Satu hari sebelum table read, Mario ngehubungin, nanyain kerjaan kami udah kelar apa belom. Tentu saja…belom…ehehe. Secara dirombak total. Ikan Paus nulis komposisi lagi, ngaransemen lagi, Dea ngulang nulis cerita dan lirik, kami pun masih harus diskusi-diskusi supaya teks, musik, dan karakter tiap pemain kena setepat mungkin.

“Ya udah, deh, kirim ke gue naskah yang ada dulu. Seenggaknya mereka ada bahan untuk dibaca. Nanti bisa dikoreksi lagi…”

Akhirnya Dea ngirim naskah yang ada dulu. Naskah yang dibaca di table read pertama masih jauh dari siap. Beberapa hari setelahnya, kami bahkan masih sempet ngeganti nama tokoh dan mutusin untuk ngerevisi total salah satu karakter tokoh lainnya. Effort-nya lumayan banget, sampe kami kurang-kurang tidur. Tapi waktu itu semua yang Ikan Paus dan Dea lakuin cuma bertumpu sama tujuan ini:

Bikin naskah yang berkesan, baik untuk para pemainnya, tim yang terlibat, maupun penontonnya nanti.

… dan itu semua kami lakuin sepenuh hati.

Awal minggu ini semua kerjaan kami akhirnya kelar. Naskah, partitur, sampai guide dalam bentuk mp3 berhasil kami tuntaskan. Abis itu Dea tidur kayak orang mati dan nggak sempet mikirin tema zine-zine-an online salamatahari lagi.

Setelah table read, coaching clinic vokal pertama mulai diadain Selasa (13/4) kemaren. Privat. Ini adalah empat peserta yang dapet jadwal paling awal. 

Searah jarum jam dari atas: Boni, Daniel, Rifqi dan Amanda

Kapan “Bianglala” tayang?

Tunggu aja tanggal mainnya. Supaya nggak ketinggalan berita, jangan lupa follow akun IG @bandungphil, ya…

Semoga “Bianglala” jadi pementasan yang ngebawa kebaikan buat sebanyak-banyaknya orang.

Dengan cara apa pun, dalam bentuk apa pun.

Ikan Paus kejar tayang

Selamat ngejalanin ibadah puasa untuk temen-temen Muslim…

Selamat Hari Keseimbangan, 

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah... 


Komentar