Yoga Palwaguna dan Jejak Pak Aki

Di sesi Cswritersclub edisi “Afterlife”, tulisan Yoga Palwaguna terpilih sebagai favorit pemirsa. Lewat catatan hangat berjudul “Liburan”, Yoga menelusuri memori masa kecilnya bersama sang kakek. Kakek yang pandai mendongeng. Kakek yang kehilangan ingatan pada masa-masa terakhir hidupnya. Kakek yang berpulang di bulan puasa.

Di rubrik penyalamatahari edisi ini, Yoga akan bercerita lebih banyak lagi mengenai sang kakek. Mengapa ia memilih menulis kisah mengenai sang kakek di Cswritersclub edisi “Afterlife”? Apa bagian diri sang kakek yang tumbuh di dalam dirinya? 

Halo Yoga, kenalan dulu sama pembaca, pertama-tama cerita dikit dulu, dong, tentang kegiatan kamu sehari-hari…

Halo, Kak Dea. Saat ini aku kerja sebagai staf akuisisi konten di sebuah platform baca-tulis digital. Karena platform ini masih baru, jadi masih lumayan hectic ngurusin ini itu. Semoga apa yang kukerjakan sekarang bisa bermanfaat gak cuma buatku sendiri tapi juga buat orang lain khususnya yang suka baca dan menulis. 

Katanya lagi nulis kumpulan cerpen juga, ya, Yo?

Iya, aku masih mencoba untuk menyelesaikan naskah kumpulan cerpenku yang progresnya lambat banget. Hahaha. Meski prosesnya berat dan lambat, anehnya, aku masih belum ingin menyerah. 

Bener, Yo, jangan nyerah. Nggak apa-apa pelan-pelan, yang penting bergerak…

Iya. Saat ini sedang berusaha untuk berdamai dengan proses yang lambat ini, syukur-syukur bisa menikmatinya. Hehehe.

Ok. Sekarang tentang cerita “Liburan” ya. Waktu ada tema “Afterlife”, kenapa kamu milih kisah kakek kamu untuk diangkat?

Ketika pertama tahu bahwa temanya adalah "Afterlife", aku gak langsung kepikiran mau cerita tentang kakek. Saat itu justru yang pertama terbayang ya “akhirat”. Surga, neraka, penghitungan dosa dan pahala, balasan amal, dan semua tek-tek bengeknya. Tapi aku sedang agak lelah dengan itu semua. Jadi, aku ingin mencoba menulis afterlife dari sudut pandang lain. Karena afterlife dimulai dengan kematian, aku jadi teringat kematian-kematian yang membekas di ingatanku. Salah satunya adalah kematian kakek, karena itu kali pertama ada keluarga dekatku yang meninggal sehingga memorinya masih terrekam dengan cukup baik dalam kepalaku. 

Cerita ini setting-nya di mana, Yo?

Cerita ini setting-nya di Ciwidey, Kak, dalam latar budaya orang Sunda. 

Oh, ok. Berarti “lelembut” itu bagian dari budaya Sunda ya? Apa sih lelembut itu?

Keluargaku termasuk orang yang saat itu masih percaya pada hal-hal supranatural. Makanya pas kakek mengalami pikun, yang kepikiran sama mereka adalah membawa Kakek ke orang pintar. Mana tahu lah mereka soal alzheimer atau istilah medis lainnya.

Kalau cari arti katanya di Google, yang muncul adalah “makhluk halus”. Aku sendiri mengartikan lelembut sebagai “jiwa” karena menurutku itu yang lebih pas dalam konteks kondisi kakekku. 

Setelah nulis cerita “Liburan” dan nginget kembali kenangan bersama kakek, apa yang kamu rasain?

Aku merasa hopeful, Kak Dea. Meski membicarakan kematian, tapi aku jadi sadar bahwa ketika seseorang meninggal yang kita ingat adalah momen-momen yang pernah kita miliki bersama orang itu. Ketika menulis cerita kemarin, aku jadi ingat kejadian-kejadian menyenangkan yang aku alami bersama Kakek dan itu jadi penguat bagiku sekarang untuk melewati apa yang ada di depanku dengan lebih tenang. Pertama, karena seberat apa pun ujian yang aku alami pasti pada akhirnya akan berlalu, entah karena ujiannya yang berganti atau karena jatah umurku yang habis. Kedua, karena ada orang-orang yang menyayangiku, termasuk mereka yang telah lebih dulu menyelesaikan “ujian kehidupannya”. 

Harapan kamu, di tempatnya yang baru sekarang, gimana keadaan kakek kamu?

Menurut cerita dari Ibu, kakek hidup di masa yang cukup berat, baik dari segi ekonomi maupun keamanan (waktu itu pas ada gerakan pemberontakan). Setelah berhenti bekerja, kakek juga kehilangan rutinitas yang sebelumnya bikin beliau aktif. Jadi aku berharap sekarang Kakek “liburan” di tempat yang damai dan dia tak kekurangan suatu apa pun. 

Nah. Kalau boleh berandai-andai, menurut kamu “tempat liburan”-nya kira-kira kayak apa?

Ketika aku membayangkan seperti apa “tempat liburan” kakek sekarang, yang kebayang adalah rumah masa kecilku, rumah kakek waktu masih kerja di perkebunan. Sebuah rumah panggung yang dinding biliknya bercat putih. Letaknya dekat sungai, jadi sepanjang hari akan selalu kedengeran suara aliran air. Di samping rumah ada kolam ikan tempat Kakek bisa mancing kalau lagi gak ada kegiatan. Di halaman depan ada taman kecil tempat Kakek belajar merawat tanaman. Setiap sore, ada anak-anak kecil yang datang ke rumah dan minta didongengin sama kakek. Anak-anak itu yang jadi penghibur selama Kakek nunggu cucu-cucunya nyusul ke “tempat liburan”. 

Aahhhh…manis dan indah banget. Dari deskripsi kamu, langsung kebayang suasana “tempat liburan”-nya. Ngomong-ngomong, ada nggak sih bagian diri kakek kamu yang rasanya tumbuh di diri kamu?

Mungkin bukan sifat kakek sendiri ya, tapi aku merasa kakek punya andil yang besar pada kecintaan yang saat ini aku miliki pada cerita, pada dunia fiksi, pada literatur pada umumnya. Waktu aku masih kecil, kakeklah yang rajin membacakan dongeng sebelum tidur dari cerita-cerita yang dia karang sendiri. 

Oh iya. Makanya di ending cerita kamu kemaren, kamu minta didongengin ya sama kakek. Kalau bicara sifat, menurut kamu sifat kakek kamu itu gimana?

Kakek harus membesarkan belasan anak dengan pekerjaannya sebagai kepala hansip perkebunan dalam kondisi ekonomi yang sulit, jadi menurutku beliau adalah seorang pekerja keras. Kakek punya bekas cidera di pergelangan tangannya yang dia dapat ketika ikut jadi pagar betis untuk menghalau gerombolan pemberontak, jadi menurutku beliau adalah orang yang pemberani. Ketika membayangkan wajah Kakek sekarang, gambar yang muncul paling nyata dalam ingatan adalah bagaimana Kakek tersenyum. Kakek orang yang menyayangi keluarganya. 

Kombinasinya menarik, ya, Yo. Idupnya keras, pemberani, sempet jadi pager betis, sekaligus penyayang dan yang paling memorable justru senyumnya. Terakhir. Kalau kamu bisa kirim kartu ke “tempat liburan” kakek, kamu mau nulis apa?

“Pak Aki, kumaha damang? Sudah lama pisan sejak terakhir kali kita ketemu, ya. Gimana, udah ketemu sama Ma Emin di sana? Jangan pada bertengkar ya kalau udah ketemu. Harus akur. Udah gak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sekarang mah, liburan aja yang tenang. Nikmati waktu-waktu berdua. Selama di sini kan pusing ngurusin anak-anak dan cucu-cucu, sekarang biar kami urus diri kami sendiri. Pak Aki tinggal istirahat aja. Tunggu waktunya kami ikut liburan juga ke sana. Sampai jumpa lagi, ya! Nanti saya bakal minta didongengin lagi sebelum tidur. Siapin aja stok cerita dari sekarang. Ingat, harus yang ada putrinya, ya!”

Pak Aki itu panggilanku untuk Kakek, Ma Emin itu nenekku yang meninggal tahun kemarin

Baiklah. Makasih, ya, Yo. Sukses buat kumpulan cerpennya, semoga tetep dinikmati prosesnya…

Amin. Sami-samiii 

Setelah wawancara ini, saya jadi mengerti kenapa Yoga tumbuh sebagai juru cerita yang handal. Di dalam setiap tulisannya, Yoga selalu cermat memilih kata-kata, mendayung alur yang menuntun dengan nyaman, dan membuat pembaca merasa terlibat penuh ke dalam kisahnya. Kamu dapat membacanya langsung di cerita “Liburan” yang diunggah di sini.

Saya percaya “kartu” yang dikirimkan Yoga serupa doa, pesan itu pasti sampai ke tangan sang kakek. Sebagai pendongeng, tanpa perlu diminta, beliau pasti sudah mempunyai lebih dari cukup stok cerita.

Tiba-tiba muncul pertanyaan yang justru lupa saya tanyakan kepada Yoga. Kenapa, ya, setiap cerita harus ada putrinya?

 

Komentar