Liburan dan Cuplikan Cerita Lainnya

Waktu itu bulan puasa. Saya tidur di kasur yang digelar di ruang tengah, bukan di kamar. Lampu masih gelap ketika saya mendengar suara gedoran di pintu. Saya terbangun, padahal belum waktunya sahur. Namun rupanya, itu sudah waktunya kakek saya meninggal. Dini hari itu, kakek saya tak bangun untuk sahur. Tidak juga untuk apa pun.

Sebelum meninggal kakek sudah bertahun-tahun mengidap pikun. Kata orang orang tua yang dapat info dari orang pintar, lelembut atau jiwa kakek saya sudah tidak diam di tubuhnya. Itulah kenapa dia lupa caranya mengancingkan baju, memakai celana, juga di mana seharusnya membuang hajat.

Kakek juga lupa pada saya. Pada nama saya. Padahal sebelumnya, tiap kali saya datang, dia akan mengangkat badan saya tinggi-tinggi di teras samping rumah sambil bilang bahwa saya anak yang pintar.

Kakek kehilangan ingatannya tak lama setelah saya kehilangan sebelah mata saya. Sejak itu Kakek tak lagi mengangkat tubuh saya ke langit-langit. Kami punya permainan baru. Bibi-bibi dan nenek saya akan meminta kakek untuk menebak-nebak siapa nama saya. Sedangkan saya akan disuruh untuk menebak apa warna baju kakek sambil menutup sebelah mata.

Kami berdua tak pernah berhasil memberikan jawaban yang benar.

Malam itu Kakek akhirnya meninggal. Tapi saya merasa, dia telah meninggalkan saya jauh sebelum itu. Saya beruntung karena punya dua mata. Masih ada satu ketika saya kehilangan sebelah penglihatanku.

Tapi kakek saya hanya punya satu ingatan, satu jiwa, satu lelembut. Saya tak bisa menyalahkannya hanya karena tak seberuntung saya.

Malam itu saya tak sahur karena tak ada yang memasak makanan sahur. Ibu terlalu sibuk menangis. Ia merasa bersalah karena sebelumnya pernah bertanya pada orang pintar: kapan kakek akan meninggal?

Saya sekarang baru terpikir betapa besar rasa bersalah yang mungkin saat itu dirasakan ibu. Kata orang, Kakek jadi kembali seperti anak kecil yang tak mengerti apa apa akibat pikun yang dideritanya. Tapi saya ragu Kakek pernah punya pertanyaan kapan Ibu akan meninggal saat Kakek mengurus ibu saya yang masih kecil dan suka buang air sembarangan. Meski begitu, itulah pertanyaan yang sempat melintas di pikiran Ibu ketika lelah mengurus kakek. Bapaknya yang sedang kembali jadi anak kecil.

Siang itu, saya merasa sedikit pusing setelah pulang dari makam. Letaknya jauh dan jalurnya menanjak.

Orang bilang, hidup itu seperti ujian. Kalau begitu, apakah apa yang ada setelah hidup adalah liburan?

Dulu, ketika saya libur sekolah, saya akan pulang ke rumah orang tua saya kemudian sehari dua hari menginap di rumah Kakek. Ke rumah siapa Kakek akan pulang untuk menghabiskan liburannya? Mungkin orang tuanya.

Tapi bukankah kehidupan berikutnya adalah kehidupan yang kekal? Apakah itu berarti Kakek akan menjalani liburan yang tak pernah habis?

Jika bel tanda ujian saya habis juga sudah berbunyi, saya harap bisa kembali mengunjungi Kakek.

Saya berharap di liburan setelah ujian kehidupan nanti, saya dan kakek bisa bertemu dan kembali pada rutinitas kami sebelumnya. Saya bilang bahwa saya rengking 1 di sekolah kemudian Kakek mengangkat tubuh saya sambil tertawa. Tak perlu lagi tebak-tebakan. Nama saya telah pulang pada ingatannya, dan mata saya kembali mengenali warna bajunya.

Setelah itu saya akan meminta kakek mendongeng untuk saya. Seperti ketika saya kecil dulu. Dongeng apa? Tanya kakek. Apa saja, jawab saya. Asal yang ada putrinya.

 

Ditulis oleh Yoga Palwaguna untuk Cswritersclub edisi "Afterlife".
"Liburan" merupakan cerita favorit pemirsa malam itu.

 

Diedit dari foto Gita Khrisnamurti/Unsplash

 

Setelah sempat padam sejak akhir tahun 2020, awal tahun ini Cswritersclub kembali berpijar. Dimulai dari episode spontan yang diinisiasi Bapak Misha, berlanjut ke episode spontan lainnya yang diinisasi Mbak Rierie, sampai akhirnya sistem mulai bergulir sesuai aturan main per 18 Februari 2021, waktu kebetulan Dea menjadi host.

Malam itu ada 13 tulisan yang lahir dari buah pikiran teman-teman #writingclubkesayangan.

Rayyan membuka sesi dengan tulisan jenaka bergaya pariwara. Yoga dan Fiola berbagi kisah tentang relasi istimewa mereka dengan sang kakek. Ruri dan Lia sama-sama membahas surga dan neraka, tetapi dengan kacamata berbeda. Zinda mendeskripsikan anavriN alias Nirvana dengan indah dan imajinatif. Yanti seperti biasa menulis kisah semanis gulali, serangkai pesan untuk afterlife. Rani menulis percakapan intim yang terjadi di depan “kotak kaca berisi jiwa”. Misha membayangkan suatu planet yang terbangun dari sisa konsentrasi dan ingatannya. Mbak Ririe menulis cerita fiksi yang kaya dengan referensi astronomi. Cici—yang baru pertama kali bergabung dengan Cswritersclub—mengajukan pertanyaan balik kepada pembaca. Ayu membuat tulisan bertaburan soundtrack mengenai almarhum suaminya. Seperti Ayu, Mamat yang menutup sesi pun mengangkat sebuah soundtrack: "The Spirit Carries On" dari Dream Theater.

Bingung membaca ulasan yang rapat-rapat itu? Jangan sedih. Dea sudah menyiapkan sepaket slide show, kutipan tulisan setiap teman yang hadir malam itu. Selain itu, teman-teman bisa langsung mengunjungi tautan di nama setiap penulis untuk mengenal mereka semua lebih utuh. Sebagian dari mereka juga mengunggah tulisan yang mereka tulis hari itu di media sosial masing-masing.

Ketika bercerai dengan tubuh, ke sanalah sukma diyakini membawa siuh. Biarkan imajinasi berkelana melampaui hidup.

Melampaui hidup. 




 

Komentar