Deaskuroi

“Bukan bunga api yang penting, tapi apinya,” kata Pollux kepada Kastor.

“Tapi semua orang bicara tentang ‘sparks’, tentang bunga api. Katanya kita harus menemukan bunga api kita supaya bisa ‘betul-betul hidup’,” ujar Kastor, saudara Pollux yang fana.

“Kastor, bunga api akan muncul sendiri kalau kamu punya api yang menyala,” ujar Pollux.

Foto: Rizki Ramadhan
 

Pollux lalu memantik api di sebuah tungku. Dibawanya tungku itu ketika ia merangkul Kastor untuk berbagi ruang dengannya, di dalam tubuh seorang bayi Solar Gemini  bernama Dea. Di sana, kepada Kastor yang ditakdirkan fana, Pollux memperkenalkan api yang menjadikan hidupnya abadi.

Hidup bukan perkara mengasah minat dan bakat atau mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Hidup sesederhana kesiapan kita menerimanya. Hidup adalah memetik setiap hari, mengenali kekayaan pengalaman indera, menghirup perasaan dengan penuh, mencerna baik-baik segala yang ia berikan sehingga kita dapat menyerap apa yang perlu dan membuang ampasnya.

Bunga api adalah percik cahaya yang muncul karena api tetap menyala, syukur dan bahagia yang melompat-lompat dengan sendirinya ketika kita menerima hidup dengan tangan terbuka.

Kastor yang ditakdirkan fana kehilangan nyawa. Tetapi ia hidup kembali karena Pollux membagi apinya. Bukan bunga api. Apinya.

Ketika menulis cerita ini, Dea menghela Sang Dioskuroi yang menjadi jiwanya, dua dalam satu yang terlalu sering bercakap-cakap sehingga Dea akrab dengan kata-kata.

Apa yang selama ini Dea kenali sebagai renjana ternyata hanya bunga api.

Tanpa Dea sadari, ia berdiang pada api yang berkobar hangat melebihi itu… 

 

Musik latar: Meditate-Timmoor/Pixabay 

Seluruh video footage: Mixkit 

Narasi dan cerita: Sundea

Komentar