Arief Ash Shiddiq yang Terganggu Cukup Panjang


Namanya Arief Ash Shiddiq, Head of IP Develepoment di Wahana Kreator yang sudah menelurkan beberapa karya. Sebut saja “Posesif”, “Dua Garis Biru”, “Bumi Manusia”, dan masih banyak lagi. Sesuai tema zine-zine-an online kita, kali ini kami membahas tokoh antagonis yang ternyata bukan villain. Lalu apa itu villain? Mengapa Arief merasa “terganggu cukup panjang” akibat film “Posesif”?

Simak obrolan kami… 

 

 

 

 

 Ok, Rief, di Wahana Kreator ini, yang lu kerjain sehari-hari apa?

Gua di sini nge-handle konten. Nggak cuma naskah (film), di sini sekarang kita juga lagi ngerjain konten untuk radio, Podcast… 

Apa karena shooting lagi susah sekarang?

Iya juga, tapi sebetulnya kami liat podcast itu new thing yang develompment-nya juga bagus. 

Baiklah. Karena kita mau ngebahas soal antagonis, kita mulai dari ngebahas penokohan. Sepenting apa, sih, penokohan dalam cerita itu?

Semua bergantung pada moda cerita yang digunakan. Kalau moda cerita yang digunakan Wahana Kreator saat ini, cerita adalah tuturan tentang perubahan. Nah. Kenapa tokoh jadi penting? Karena tokohlah yang menyebabkan perubahan terjadi, dan perubahan yang terjadi pada tokoh berpotensi untuk empatik ke audiens, dibandingkan dengan perubahan yang bukan terjadi pada tokoh. 

Okay. Kalau di penokohan, menurut lu tokoh antagonis itu apa? 

Antagonist is the best argument yang bisa mematahkan posisi si protagonis. Protagonis itu kan sebetulnya cuma pilihan narator untuk menggerakkan cerita. Ketika dia bergerak, siapapun yang menghalangi geraknya itu menjadi antagonis. Sementara kita tau, ketika seseorang sedang bergerak menuju sesuatu, force yang bisa dialami cuma dua: hal-hal yang menghalangi atau hal-hal yang membantu. 

Apa yang bikin tokoh antagonis di cerita jadi penting?

Proses kreatif itu seperti main catur. Jadi, di mana posisi awal lo harus dilawan dengan sekuat mungkin, itulah yang membuat cerita jadi tidak menggurui. Pembuat cerita harus mengkritisi betul statement yang dia buat. Jadi katakanlah di satu cerita seseorang mau bilang bahwa “kejujuran itu perlu”. Tapi gua nggak tau apakah di akhir cerita gua akan teryakinkan kalau kejujuran memang perlu. Kenapa? Karena gua akan berusaha mematahkan itu. Itu yang kemudian berkembang makin mateng sesuai dengan perkembangan penulis atau kreatornya.

Antagonis itu menyajikan sudut pandang yang baru. Kebaruan itu yang bikin menarik. Itulah yang perlu ada di antagonis-antagonis yang “bener”, sehingga dia jadi antagonis yang menarik. Antagonis bukan orang jahat, ya, kalau orang jahat kita sebutnya villain. 

Nah. Gimana tuh kalau villain? Apa persisnya batas villain dan antagonis? 

Biasanya batasnya di gimana kita ngerancang apakah kita mau penonton benci sama dia atau enggak. Atau ketika kita mau make gimmick menciptakan musuh bersama sehingga kita menciptakan propaganda untuk menyerang itu. 

Tapi tetep bisa manusiawi nggak? Kalau jahat-jahat doang kan suka nggak real

Kita tuh beberapa waktu yang lalu sempet ngulik tentang orang jahat. Evil tuh apa, sih? Konsep mengenai evil itu gimana? Sebetulnya waktu diomongin ternyata kompleks, ya. Ternyata ada posisi there is no such thing as evil, tapi ada juga posisi, kalau nggak ada evil, law gimana? Apakah chaos is evil and order is good? Tapi akhirnya semua itu menunjukkan bahwa konsep villain  adalah sesuatu yang dihayati ada, harus dibicarakan, tapi harus disadari bahwa dia punya kompleksitas yang luar biasa. 

Ada nggak tokoh yang diciptakan Wahana Kreator sebagai villain? 

Itu terjadi ketika kita bikin “Posesif”. Si laki-laki yang abusif kita taro sebagai villain. Walaupun paham (alasan keposesifannya), kita nggak mau dia menang. Tapi ternyata… yang ngebelain tokoh laki-laki abusif itu banyak juga hahaha…sebel banget kan gua? Ini ada cowok yang nyekek pacarnya di sekolahan, terus masih ada pembicaraan “pengen dong diposesifin sama Yudis”. Dan gua terganggu. Cukup panjang hahahaha… 

wikipedia
 

Buset! Ngeri banget! Gua nontonnya aja udah ngilu, males banget ngalamin sendiri mah. Menurut lo kenapa “kegagalan” membangun Yudis sebagai villain bisa terjadi? Apa gara-gara cast Yudisnya kegantengan? 

Itu. Sebegitu rendahnya self esteem mereka, sampai lo rela dimiliki dan dihapus selama yang memiliki dan menghapus orang seganteng itu. “Karena orang sepertimu menginginkan saya, maka saya ada harganya”. Mereka tau orang kayak Yudis akan memakan mereka sampai habis, tapi dalam ilusi mereka, orang ini menganggapnya berharga. Gua nggak berhasil cover, bahwa ada orang yang nggak apa-apa digituin, asal dapet (pacar seganteng Yudis). Jadi kebutuhannya bahkan bisa dipenuhi oleh orang sejahat itu.

Atau, ini. Ada ibunya Yudis yang cuma dikasih liat sebentar. 

Tapi ngeri abis.

Yes. Itu pure villain. Di posisi itu kita bahkan tidak memancing sama sekali simpati penonton. Tapi yang menarik, keberadaan ibunya membuat (audiens) kayak yang (mikir), “Habisnya dia digituin sama ibunya, jadi dia orang yang terluka. Karena Yudis orang yang terluka, jadi nggak apa-apa, sini gua yang nyembuhin”. Padahal itu juga jebakan lagi, sih. 

Entah bener atau enggak, kalau gua peratiin kayaknya cowok-cowok dengan issues dan relationships yang toxic, belakangan lumayan nge-trend. Jangan-jangan itu juga yang bikin Si Yudis malah jadi idola ciwi-ciwi...

Pertanyaanya adalah, apakah kamu punya kapasitas untuk melakukan itu (menyembuhkan), atau tidak. Bahkan ketika kamu punya kapasitas untuk melakukan itu, itu tidak menjadi alasan untuk kamu cinta orang itu. Jadi pertanyaan gua untuk orang-orang yang suka sama cowok-cowok dengan issues adalah, lu mau buktiin diri lu ngapain sih?

Soal toxic relationship, kayak Yudis yang terakhirnya ngambil otonomi Lala dan ninggalin Lala di pinggir jalan (adegan di filmnya), itu yang dilakuin kan kontrol:  “Gua yang ngambil keputusan. Gua yang take control”. 

Jadi khas banget, orang-orang yang hidup di dunia posesif cirinya itu. Ketika dia ada di hubungan yang toxic dan akhirnya jadi korban, yang jadi masalah utama adalah dia—kayak Lala di “Posesif”—kehilangan otonomi. Dia bahkan nggak tau dia bisa apa, dia nggak tau juga dia maunya apa. 

Ok. Karena kita udah membahas bahwa ternyata Yudis ini relate sama kenyataan, kita bisa liat kalau villain itu bisa kita bahas secara manusiawi ya.

Iya. Tapi paham boleh, sayang jangan. Hahaha.

Hahaha. Baique. Sekarang lepas dari villain dan kembali ke antagonis. Di suatu cerita, seseorang bisa jadi antagonis di satu bagian dan jadi protagonis di bagian lain, nggak?

Bisa. Nah. Dengan posisi kayak gitu, kita jadi lebih leluasa mengembangkan orang itu. Kayak di “Dua Garis Biru”, mereka (tokoh-tokohnya) adalah protagonis dan antagonis. Berganti-ganti. 

wikipedia

I see. Menurut gua itu karakternya mateng banget. Mungkin perkembangan mereka berhubungan juga ya sama upaya mematahkan statement awal itu tadi, makanya semua tokohnya kerasa manusiawi dan kompleks.

Ini kan ngomongin kompleksitas karakter. Sebetulnya nggak semua karakter harus kompleks, yang kita pikirin soal kompleksitas karakter adalah audiens. Audiens yang menyukai karakter yang kompleks adalah audiens yang menghayati kehidupan secara kompleks juga. Dia mungkin melihat dirinya kompleks juga. Padahal ada juga karakter yang simplistik. 

Terus kapan kita bisa bikin karakter yang kompleks, kapan simplistik?

Yang perlu kita lihat adalah posisi awal ketika kita mengembangkan cerita. Kita mau ngomongin apa dan argumennya apa. Kayak di “Home Alone” misalnya. Penjahatnya simplistik karena yang mau kita bahas bukan penjahatnya. Penjahatnya cuma imbas, fungsinya cuma untuk memberikan problem. Fokusnya ke gimana Si Kevin—tokoh utamanya—bisa eksplor, gimana caranya dapet skill baru, gimana caranya bisa kabur dari masalah itu. Di “Home Alone” yang mau dibahas kan betapa enaknya bisa mandiri, mau mengeksplor kemandirian. “Aku memang bisa sendiri, aku bisa menaklukkan tantangan di depanku (yang adalah penjahat-penjahat di “Home Alone”), but in the end, I miss my parents”. 

Ok. Terakhir. Kalau lu disuruh ngejelasin, Wahana Kreator ini persisnya apa sih?

Wahana Kreator adalah perusahaan yang memproduksi cerita. Cerita dalam kanal apa saja? Terbuka. 

Asek. Tengkiu banget. Untuk sementara itu dulu. Insightful, Rief… 

Obrolan selanjutnya berlanjut panjang lebar ke mana-mana. Menyambung pembahasan mengenai antagonis, protagonis, dan villain dengan contoh kehidupan sehari-hari, sedikit curhat, mempertanyakan ukuran moralitas dan batas-batasnya, sampai membahas “Voltus” yang sedang kembali menarik perhatian Si Dea akhir-akhir ini, "Deni Manusi Ikan", juga "Si Sirik dan Juwita". Tokoh-tokoh yang mungkin hanya akrab bagi kami kaum milenials sampai Gen Y.2.

Melalui berbagai kisah yang berlompatan dalam obrolan kami, saya sadar hidup ini adalah perjalanan memproduksi cerita. Di lembar-lembar kisah yang berbeda, kita yang sama dapat menjadi protagonis, antagonis, ally, bahkan villain…

Komentar