Semacam review film pendek “Video Call”
“Halo, Pa, ini Yara..”
“Oh, Yara. Kamu ada di mana?”
“Masih di Jakarta. Pa, tadi Yara ada kirim makanan. Dimakan, ya.”
“Iya. Nanti papa makan bareng sama mamamu. Kamu di sana gimana? Punya uang? Cukup?”
“Masih ada, Pa. Nanti Yara telpon papa lagi, ya.”
“Lho, kamu nggak mau ngomong sama mamamu?”
"Besok…”
Di masa pandemi ini, isi kotak pandora seperti centang perenang tak terampun. Kita harus bersiap menghadapi kabar buruk setiap waktu: Kehilangan pekerjaan. Usaha yang bangkrut. Kematian kerabat. Dan tentu saja virus corona yang terus mengintai, tersembunyi, tapi semakin lama terasa semakin dekat.
Waspada membuat kita mulai membangun kotak kita sendiri-sendiri. Memakai masker. Tinggal di rumah. Melengkapi diri dengan alat-alat sanitasi. Serta menjembatani jarak-jarak fisik.
Memelihara hubungan dibantu video call adalah salah satu cara menjembatani jarak, terutama bagi mereka yang tinggal di rantau. Itulah yang dilakukan Yara, perempuan muda yang mencari nafkah di ibu kota. Secara berkala ia menghubungi sang papa di kampung halaman.
Ternyata, “sempitnya jembatan” membuat interaksi mereka terjebak pada repetisi menjemukan. Pertanyaan yang sama, jawaban yang sama, paket yang sama, bahkan percakapan penutup yang sama:
“Kamu nggak mau ngomong sama mamamu?”
“Besok…”
Film pendek “Video Call” menekankan repetisi tersebut sampai kita ikut terbawa dalam kejemuannya. Kendati demkian, melalui gestur, ekspresi, dan emosi-emosi yang tiba-tiba membuncah tidak tertahan, kita tahu ada begitu banyak hal yang terjadi di luar repetisi yang menjadi tulang pada film 13 menit ini. Yara sempat berusaha mendobrak formula video call yang terus berulang, namun di akhir percakapan dia jugalah yang mengembalikan repetisi itu pada “tugas”-nya: menjaga stabilitas.
Siapa sangka pada akhirnya repetisi itulah yang menyelamatkan keluarga mereka dari terpaan terbesar yang menimpa. Aku tidak akan memberi beberan lebih banyak, silakan ditonton saja di akhir unggahan ini ;)
“Video Call” adalah film pendek yang bercerita dengan bahasa gamblang dan verbal. Tetapi untuk aku, justru di situlah letak kekuatannya. Ia berbicara sebagai “kita”, bukan sebagai filsuf, kritikus, atau motivator yang kadang menawarkan cahaya tetapi abai pada bayangnya.
“Video Call” tidak berjarak. Ia seakan bersimpuh dalam doa bersama kita. Seperti seorang teman, ia menceritakan masalah sehari-hari yang mungkin dialami oleh siapa saja, menafsirkannya dengan sederhana apa adanya, dan menawarkan berkas cahaya yang empatik.
Chemistry papa-anak yang terbangun lewat adu akting Louis Hartono Tedjo (papa) dan Jessy Anggrainy (Yara) terasa hidup dan realistis. Menyaksikan mereka, seperti berhadapan langsung dengan kisah hidup anggota keluarga atau teman dekat. Begitu mudah kecemasan, kemarahan, kekecewaan, kesedihan, sekaligus kasih sayang yang dipelihara dalam repetisi itu terkoneksi dengan kita.
Film pendek ini dipersembahkan untuk semua #pandemicsurvivor. Aku. Kamu. Kita. Dunia.
Kotak pandora—yang dalam mitologinya sebetulnya bejana—berisi segala bencana bagi kemanusiaan. Teror, wabah penyakit, kekecewaan, duka lara, dan lain sebagainya, silakan sebutkan. Namun, ada satu benda yang tetap tinggal di dalam bejana.
Nama benda itu adalah harapan.
Silakan saksikan filmnya dan telusuri nama-nama kerabat kerjanya. Siapa tahu ada nama kenalanmu…
Selamat Hari Keseimbangan
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah...
Komentar