Bukupukupu

Kamu adalah titik kecil yang datang dari timur. Aku menajamkan pandangan, mencoba mengeja sosokmu, tetapi sulit karena silau matahari kerap menyembunyikan kehadiranmu. Ketika aku masih mencari, tiba-tiba kamu sudah mendarat di kusen jendela kamarku. Aku terkejut.

“Selamat pagi,” sapamu. Bukan dengan suara yang merambat di udara, tetapi dengan kata-kata yang meruang di dalam kepalaku. 

“Selamat… pagi,” sahutku dengan kata-kata yang juga kuruangkan ke dalam kepalamu.

Selama beberapa saat aku memandangimu. Kamu sejenis lepidoptera—entah ngengat atau kupu-kupu—dengan sayap berlembar-lembar. Warna dan aromamu seperti buku antik. Ketika aku menghirup aroma yang kau bawa, tercium bau kisah yang tidak asing.

“Bagaimana kabarmu dua tahun ini?” Tanyamu.

“Kamu siapa?” Aku balik bertanya.

Seperti gemericik air, tawamu meruang di dalam kepalaku. “Aku kawan lama.”

“Kawan lama dari mana?” Kejarku.

“Nanti juga kamu tahu,” jawabmu, “apa kabar? Sudah dua tahun kita nggak ketemu.”

Aku mencari kamu di antara wajah-wajah buram dan nama-nama yang tak kuingat secara utuh. Kamu tidak ada. Aku memaksa ingatanku bekerja lebih keras lagi, tetapi ia justru terpelanting ke suatu masa yang dingin dan kelabu. Tubuhku bereaksi terhadap memori. Dadaku sakit. Nafasku sesak. Tiba-tiba aku menggigil disergap ingatan. 



Semuanya terjadi begitu cepat. Pada pertengahan Maret 2020, sebelum kami sekeluarga sempat mengolah informasi yang bertubi-tubi tentang Covid 19, orangtua kami masuk rumah sakit dengan hasil diagnosa yang tidak jelas.

“Kemungkinannya mami sama papi sakit apa?” tanyaku pada Mariska, kakak sulungku yang baru saja menikah.

“Nggak tahu. Masih tunggu hasil lab.” Aku menangkap getar yang tertahan pada suaranya. Aku tahu ia juga cemas. Tetapi ia berusaha terlihat tangguh untuk aku dan Diandra, adikku.

“Bukan korona kan?” Tembak Diandra.

Pertanyaan Diandra terasa mencekik. Susah-susah aku menyangkal kemungkinan itu dengan tidak bertanya.

Segera aku melirik Mariska. Ketika memaksakan senyuman sambil menggeleng, matanya berkaca-kaca, “nggaklah.”

Ternyata kondisi orangtua kami terus memburuk. Hasil laboratorium tak kunjung keluar, tetapi mereka dinyatakan sebagai suspect Covid 19.

Tidak sampai dua minggu setelah orangtua kami dirawat di rumah sakit, kami mendapat telpon. Papi dan mami kami meninggal di hari yang sama. Dalam waktu kurang dari 4 jam, mereka harus sudah dimakamkan. Kami bahkan tidak diizinkan melihat jenazah mereka untuk terakhir kali.

“APD-nya terbatas. Jadi yang ikut ngubur aku sama Samuel aja, ya, kalian tunggu di rumah,” tanpa berunding, Mariska memutuskan untuk berangkat dengan suaminya. Mau tak mau Diandra dan aku menerima keputusan itu.

Aku tak tahu harus merespons kematian orangtuaku dengan emosi seperti apa. Semua terjadi begitu cepat. Aku merasa terlalu banyak menelan tanpa sempat mengecap. Apa lagi mengunyah. Dadaku sakit.

Sementara itu Diandra tampak marah terhadap banyak hal. Ia menyalahkan pemerintah, prosedur yang berbelit-belit, masyarakat yang meremehkan, sampai edukasi yang terlambat dan terasa tidak serius.

“Papi-mami kayaknya kena pas kawinan Mariska. Korona udah ada waktu itu. Cuma masih ditutup-tutupin.”

“Ya udahlah. Nggak usah dicari-cari,” tepisku.

“Kamu segitu nggak pedulinya?!” Semprot Diandra.

Aku tidak menjawab. Kepalaku terlalu sakit untuk berdebat. Ketika Diandara tetap meletup-letup seperti minyak panas terciprat air, aku mendengarkan setengah hati. Lama-lama kupingku terasa berdenging. Tak ada lagi kata-katanya yang sanggup aku cerna.

Begitu tiba di rumah, Mariska dan Samuel yang tampak letih segera membersihkan diri. Selanjutnya kami berempat berkumpul di ruang keluarga. Hening menggantung selama beberapa saat, sampai akhirnya Diandra memecahkannya.

“Gimana tadi?”

Mariska menarik nafas dalam-dalam. Ketika hendak mengatakan sesuatu, matanya mendadak berkaca-kaca. Ia berjuang keras untuk bicara, namun kalah oleh emosi. Akhirnya ia menyerah. Tangisnya pecah dan Samuel cepat-cepat mendekapnya.

Kesedihan Mariska lekas menular. Ketika Diandra menggenggam tanganku, semua yang beku mendadak leleh. Aku merasa jatuh dalam duka cita yang entah di mana ujungnya. Sambil menangis, aku memeluk Diandra. Tak lama kemudian, aku merasakan tubuh Diandara ikut bergoncang.

***

“Jadi bagaimana kabar kamu dua tahun ini?” Pertanyaanmu meniup gambar-gambar kelabu yang baru saja menyergapku. Jejak ingatan yang sempat singgah di tubuhku rontok. Kusadari, gambar-gambar masa lalu yang kelabu hanya residu. Apa yang sungguh-sungguh kumiliki adalah “hari ini”.

Dua tahun bukan waktu yang panjang, rentang seperti belum mengubah terlalu banyak. Jika kamu tidak bertanya, aku pasti luput mengukur apa saja yang tumbuh. Facebook dan Instagram masih menjadi media sosial terpopuler, tetapi fiturnya terus bertambah. Demam Tiktok sudah berlalu, gantinya keseruan media sosial baru: The Chef.

Di masa karantina yang panjang, hampir semua orang belajar memasak. Setelah masa karantina berlalu, apa yang kita masak menjadi identitas dan lambang pergaulan.

Aku menapaki dua tahun ini selangkah demi selangkah. Di saat-saat terberat, Mariska selalu mengingatkan, this too shall pass. Ia benar. Duka cita bukan kelam yang abadi. Hidup menanam kebiasaan-kebiasaan baru yang akan menjelma menjadi penerimaan. Aku ingat pada suatu hari Diandra mengajakku duduk-duduk di atap.

“Sadar nggak? Sebelum korona, di kota, mana bisa kita lihat bintang sebanyak ini? Terlalu banyak polusi cahaya,” tukas Diandra sambil tengadah menakjubi kerlap-kerlip.

“Sebelum korona warna langit Jakarta seperti tembaga. Sekarang bersih banget, ya,” tanggapku.

“Korona ada bagusnya ternyata. Dia maksa orang berubah. Kalau dipikir-pikir, mungkin karena korona juga dunia batal kiamat.”

Aku tertawa.

“Gara-gara korona, zoom wedding sekarang wajar. Nggak perlu buang uang, nggak capek ngadepin orang nyinyir, jatuhnya lebih tulus, iya nggak sih? Aku udah bilang dari dulu. Pesta pernikahan sebetulnya nggak ada gunanya. Basi!”

Aku tertawa kecil. Menjelang pernikahan Mariska yang rumit dan repot, Diandra pernah mengusulkan pernikahan daring. Ia langsung dihujani ceramah oleh mami dan Mariska. Tak pernah kusangka, di kemudian hari, pernikahan yang ia bayangkan diterima sebagai kewajaran. Sambil mengusap kepala adikku, aku berkata, “peradaban nggak pernah jera memulihkan yang lapuk dan usang, Di.”

“Satu lagi. Sekarang aku udah terima papi-mami meninggal karena korona.”

Aku terkejut mendengar pernyataannya.

“Mami pernah bilang, dia takut ditinggal papi. Tapi dia juga nggak mau pergi duluan, dia bilang kasihan papi kalau nggak ada yang urus. Mungkin korona justru jawaban doa mami.”

Aku menggenggam tangan Diandra erat-erat. Malam itu, kami resmi mengucapkan selamat datang kepada penerimaan.

***

Aku kembali menatapmu. Segala kilas balik kurangkum dalam jawaban yang paling klise, “Kabarku baik.” 

“Aku sudah menambahkan catatanku,” jawabmu.

“Siapa kamu sebetulnya?” Tanyaku lagi.

“Nanti juga kamu tahu,” jawabmu sambil bertolak menuju barat. Aku mengamati lembar-lembar sayapmu yang mengepak mendayung angin menjauhi aku.

Saat membalikkan tubuhku, tak sengaja aku bertatapan dengan pantulan wajahku sendiri di cermin. Ia seperti sosok yang lain, tetapi tidak persis begitu.

Tiba-tiba aku tersadar.

Bagaimana berinteraksi dengan sosok yang kuhadapi di cermin? 
 
Ia adalah “aku” atau harus kusebut “kamu”? 
 
 
Untuk RR
 
 

 
 
Cerpen audio yang dinarasikan oleh Astari Indah ini ditulis untuk "Tantangan Pembaca Menulis" yang diadakan oleh Podcast Mainmata dan Post Santa Bookshop. Kunjungi Podcast Mainmata di Spotify untuk mendengar cerpen lainnya, kisah di balik cerpen-cerpen yang ditulis, dan beragam informasi seputar literasi.
 
 
 

Komentar