Kupu-kupu Malam Kesayangan


Sebetulnya, waktu masih jadi ulet dan tinggal di rumah kami, temen kecil ini udah Dea kasih nama: Ginukginuk. Uletnya gede banget, kuat, dan makannya banyak. Gerakannya agak clumsy. Mungkin karena dia terlalu besar dan ranting-ranting kadang nggak kuat nanggung beratnya.

Ketika jadi kepompong, dia ngebungkus diri asal-asalan di daun kering. Amburadul banget. Kami sempet nebak dia bakal netas jadi kupu-kupu besar yang rewog dan clumsy, soalnya ada satu jenis kupu-kupu model itu yang sering main ke rumah.

Tapi beberapa minggu yang lalu, pas ngecek si kepompong, kami berdua kaget. Si Ginukginuk udah keluar dan ternyata jadi ngengat, bukan kupu-kupu. Kami baru tau kalau ada ngengat yang uletnya bukan ulet bulu. 

Setelah dicek, kami tau kalau dia disebut Hawk Moth. Nama latinnya theretra silhetensis. Dia salah satu serangga tercepet dan matanya bagus banget. Setelah dia jadi Hawk Moth, nama Ginukginuk udah nggak cocok banget buat dia. Jadi Dea kasih nama baru untuk idupnya yang baru: Elang Jingga.


foto: Ikan Paus

Awalnya Elang Jingga keliatan gagah banget. Waktu ambil ancang-ancang untuk terbang, dia kayak pesawat tempur. Begitu lepas landas, dia muter-muter sebentar, abis itu mendarat di atas tas dan diem aja di situ.

“Ini dia bobo lagi apa gimana, ya? Kayaknya masih ngantuk,” kata Dea ke Ikan Paus.
“Mungkin. Soalnya ngengat kan aktifnya malem,” saut Ikan Paus.

Akhirnya kami ngebiarin Elang Jingga istirahat dulu. Rencananya dia bakal kami lepas sore-sore atau begitu siap terbang lagi. Supaya Elang Jingga nggak dicaplok cicak atau Hanafi si kadal salah asuhan, Ikan Paus ngulurin jarinya. Lucunya, Elang Jingga nurut seperti binatang yang memang udah dijinakin. Dengan percaya dia pindah ke jari Ikan Paus dan diem aja di situ.

foto: Dea

Elang Jingga ngasih kami pengalaman baru sama ngengat. Selama ini ngengat lekat dengan stigma negatif. Sayapnya nggak sebagus kupu-kupu, saudara seordonya. Dia juga sering disebut sebagai hama, perusak pakaian, dan jadi sasaran obat nyamuk. Dea juga belum pernah baca cerita yang tokoh protagonisnya ngengat. Mereka sering dianggep binatang liar yang nggak baik. Padahal pengalaman kami sebaliknya.

Sejak Elang Jingga nunjukin sikap bersahabat dengan percaya sama kami, kami jatuh sayang sama ngengat kecil itu. Kalau diperatiin, motif sayap dan matanya bagus sekali. Dia jinak dan friendly. Ketika Ikan Paus mau kerja dan nggak bisa lagi ngebiarin Elang Jingga bertengger di jarinya, dia minta Elang Jingga pindah ke mikrofon studio. Dengan pengertian Elang Jingga pindah. Abis itu Elang Jingga sama sekali nggak ngerepotin. Somehow kami ngerasa Elang Jingga cuma pengen ada di deket kami.

Sampai sore, nggak ada tanda-tanda Elang Jingga mau pergi. Begitu langit udah gelap, kami sadar udah saatnya nyuruh Elang Jingga pergi nyambut takdirnya. Mikrofon tempat Elang Jingga bertengger kami bawa ke kebun. Kami matiin semua lampu supaya dia terbang ngikutin cahaya alam, bukan cahaya artifisial di sekitarnya. Cukup lama Elang Jingga bergeming. Sampai akhirnya sayapnya bergetar. Dia ambil ancang-ancang untuk terbang. Lepas landas. Ketika Ikan Paus dan Dea siap untuk dadah-dadah ngelepas dia pergi jauh, dia malah nyusruk sembunyi ke semak-semak.

“Yah! Kan di situ ada Hanafi!” Dea panik.
Ikan Paus buru-buru nyari Elang Jingga lagi, tapi ternyata nggak ketemu. Kami coba nyalain semua lampu, tapi Elang Jingga tetep nggak keluar.

Kami baru sadar kenapa sayap ngengat nggak “sebagus” sayap kupu-kupu. Ngegat selalu sembunyi dan sayapnya adalah kamuflase. Pas googling, kami baru tau kalau ada ngengat yang sayapnya mirip daun pisang dan kulit kayu. Ada sih ngengat yang warna sayapnya merah muda, kuning, bahkan warna-warni seperti kain tradisional. Tapi motif sayap ngengat tetep harus cukup available untuk nyamar. Di alam, mereka nggak boleh stand out kayak kupu-kupu.

Kalau malem, ngengat ngikutin cahaya bulan sebagai orientasi arah "atas". Tapi karena ada cahaya buatan yang dibikin manusia—kayak lampu atau api—ngengat sering salah orientasi. Ngikutin cahaya yang nggak seharusnya seringkali bikin mereka celaka atau berputar-putar bingung di kesia-siaan.

Dea baru sadar kalau ngengat ternyata begitu rapuh, tapi tau diri. Ketika disuruh pergi, mereka pergi meskipun akhirnya harus cari tempat berlindung lain. Ketika dikasih izin tinggal, mereka nggak menuntut lebih daripada itu. Di balik stigma hama, perusak, dan jelek yang mereka sandang, ngengat ternyata serangga yang lovable.

“Kira-kira dia bakal di semak-semak itu sampai kapan, ya? Besok pagi ada Hanafi,” kata Dea ke Ikan Paus.
“Nggak tau. Tapi kalau kita aja nggak bisa nemuin dia, mungkin Hanafi juga enggak. Elang Jingga pinter, kok, sembunyinya.”

Kami percaya alam tau cara ngejaga Elang Jingga, meskipun kami nggak tau cara terbaik untuk ngelepas dia pergi. Sifat ngengat keliatannya beda banget sama kupu-kupu.

Selama ini kita akrab sama istilah "kupu-kupu malam". Sadar nggak kalau di dunia serangga, kupu-kupu malam beneran ada?

Waktu mikirin nasib Elang Jingga, cuplikan lagu “Kupu-kupu Malam”-nya Titiek Puspa terngiang: 

Ooh apa yang terjadi terjadilah,
yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya
Ooh apa yang terjadi terjadilah,
yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Selamat Hari Keseimbangan
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah 

foto: Ikan Paus



Komentar