Unyul, Horton, dan Black Lives Matter


“A person’s a person, no matter how small”
-Dr. Seuss-


Dia tinggal di ruang keluarga kami. Beberapa hari yang lalu, Ikan Paus mindahin dia dari pohon jeruk tongheng karena tongheng nggak bisa bertahan idup kalau daunnya digerogotin ulet.

Kebetulan ada pohon jeruk lain yang daunnya berlimpah-limpah. Nah. Pohon jeruk inilah yang daunnya diambil sama Ikan Paus, ditanem di pot, dan disediain untuk melihara temen kecil kami.

Dea percaya temen kecil kami titisan Unyul, ulet ganjil yang beberapa waktu lalunggak berhasil menyintas. Jadi ulet ini Dea namain Unyul lagi. Kami ngehargain nyawa Unyul yang kecil. Buat Dea, buku anak-anak “Horton’s Hear a Who!” karya Dr. Seuss cukup berkesan. Lewat Horton si gajah yang bisa denger suara dari debu, Dea kecil belajar ngehargain keidupan lain. “A person’s a person, no matter how small”.

wikipedia

Ketika tagar #BlackLivesMatter beredar di media sosial, Dea sempet tertegun. Kalau lewat cerita anak-anak aja kita udah belajar ngehargain nyawa yang kecil, kenapa orang dewasa malah harus dikasih tau bahwa “black lives matter”? Of course their lives matter! Seharusnya pemahaman ini mendasar sekali seperti toilet training.

Tapi, begitu ngikutin kasus pembunuhan George Floyd dan deretan peristiwa yang diperjuangin gerakan Black Lives Matter, Dea sadar, jangan-jangan di masyarakat memang ada yang sekip di perjalanan menghormati nyawa.

Rasisme kerap hadir seperti hantu, nyusup lewat percakapan kecil yang kayaknya biasa-biasa aja, nemuin kekuatan di tengah kelompok-kelompok, kemudian diem-diem jadi besar sekali; lebih besar daripada nyawa manusia. Tau-tau nafas Dea seperti dicuri.

“Biasanya orang-orang item memang kriminal.”
“Jangan nerima kerja orang dari suku itu. Males-males dan nggak jujur.”
“Kok dia mau ya sama si itu? Si itunya perbaikan keturunan.”

Ingetan Dea kembali terlempar ke video pembunuhan George Floyd yang viral, yang nggak berani Dea tonton sampai selesai.  

Sebelum Derek Chauvin sampai pada ketegaan yang begitu mengerikan, sepanjang idupnya, udah berapa banyak obrolan “biasa-biasa aja” yang dia denger? Udah berapa lama dia ngebiarin rasisme tumbuh di dalem kepalanya tanpa perlindungan kesadaran? Udah berapa lama dia mempercayai stigma sebagai “pikiran bener” yang semakin lama semakin besar, sampai lebih besar daripada nyawa orang lain? Pada suatu titik, lumpuhlah akal sehat dan kemanusiaannya. Rasisme. Pikiran itu. Jadi lebih besar daripada dirinya sendiri.

Sebagai polisi yang dipercaya ngejaga masyarakat, seperti Horton si gajah, seharusnya dialah yang paling lantan berseru:

″My friends! Tell me! Do tell! Are you safe? Are you sound? Are you whole? Are you well?”

goodreads

Pertanyaan-pertanyaan itu bergema-gema di kepala Dea.

Selamat Hari Keseimbangan, Temen-temen
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah.

Komentar