-Jumat,
5 Juni 2020-
Pernikahan Virtual Uda Pinto dan Uni Welli
Pernikahan Virtual Uda Pinto dan Uni Welli
Melalui
Zoom, kami terhubung dengan lokasi pernikahan Uda Pinto Anugrah Datuk Raja
Pangulu—sastrawan dari Sumatera Barat—di Padang. Di layar laptop saya, tampak
dekorasi pernikahan serba kuning yang belum sempurna tertata.
“Tulisan
happy wedding-nya nanti nggak
kelihatan. Nggak apa-apa?” Tanya Doval, panitia yang langsung mengurus dari
Padang.
“Nggak apa-apa, yang lebih penting kan orangnya,” sahut Mbak Imelda Akmal, penulis arsitektur yang menjadi panitia cabang ibu kota.
“Nggak apa-apa, yang lebih penting kan orangnya,” sahut Mbak Imelda Akmal, penulis arsitektur yang menjadi panitia cabang ibu kota.
Percakapan
behind the scene itu disiarkan secara
tidak sengaja. “Disangka masih uji coba, tahunya on air, paraaah,” ketik Mbak Imel via whats app kepada saya. Saya
terkikik. Kendati demikian, bagi saya, “kecelakaan kecil” itu justru
menghangatkan. Berkesempatan menyaksikan persiapan yang apa adanya, membuat
saya merasa terlibat sebagai anggota keluarga.
Pernikahan Zoom Uda Pinto dan Uni Welli Marzeni yang jelita adalah pengalaman baru bagi banyak orang. Tak disangka-sangka, ternyata segala keterbatasan dan jarak malah membuat upacara pernikahan pulang kepada esensinya.
Menurut saya, belakangan resepsi pernikahan lebih mirip dengan pagelaran. Jalannya acara harus cukup entertaining untuk penonton. Pengantin dituntut tampil sempurna sebagai primadona lakon. Jamuan, dekorasi, dan pilihan souvenir memainkan peran yang cukup penting di panggung itu. Sukses atau tidaknya pagelaran akan kita ketahui dari review hadirin setelahnya. Pelan-pelan, kehangatan yang personal kehilangan tempat.
Dulu sekali, pesta pernikahan menjadi lambang keakraban dan gotong royong. Acara diselenggarakan di sekitar rumah. Hidangan dimasak oleh keluarga dan tetangga. Tidak ada wedding organizer sebab kerabat pasti turun tangan membantu. Keterlibatan mereka adalah cara mengucapkan “turut berbahagia” dengan segala ketulusannya.
Tetapi kehidupan berubah. Masyarakat bergerak lebih cepat. Pola hubungan menemukan bentuk baru. Karena pola yang lama kerap tidak kompatibel lagi dengan keadaan, tujuan resepsi pernikahan pun bergeser sedikit demi sedikit. Pengantin berdiri di panggung yang berjarak dengan tamu undangan. Jika pengantin masih merindukan kehangatan yang personal, after party solusinya. Di situlah perayaan yang sesungguhnya biasanya dilakukan, bersama lingkar terdekat kedua mempelai.
“Kalau dipikir-pikir, kenapa harus bikin pesta-pesta juga, ya? Kalau repot dan mahal kan nggak harus,” komentar saya ketika mengobrol dengan seorang teman pada suatu hari.
“Ya nggak enaklah kalau nggak ada resepsi sama sekali…”
“Nggak enak sama siapa dan kenapa?”
Pernikahan Zoom Uda Pinto dan Uni Welli Marzeni yang jelita adalah pengalaman baru bagi banyak orang. Tak disangka-sangka, ternyata segala keterbatasan dan jarak malah membuat upacara pernikahan pulang kepada esensinya.
Menurut saya, belakangan resepsi pernikahan lebih mirip dengan pagelaran. Jalannya acara harus cukup entertaining untuk penonton. Pengantin dituntut tampil sempurna sebagai primadona lakon. Jamuan, dekorasi, dan pilihan souvenir memainkan peran yang cukup penting di panggung itu. Sukses atau tidaknya pagelaran akan kita ketahui dari review hadirin setelahnya. Pelan-pelan, kehangatan yang personal kehilangan tempat.
Dulu sekali, pesta pernikahan menjadi lambang keakraban dan gotong royong. Acara diselenggarakan di sekitar rumah. Hidangan dimasak oleh keluarga dan tetangga. Tidak ada wedding organizer sebab kerabat pasti turun tangan membantu. Keterlibatan mereka adalah cara mengucapkan “turut berbahagia” dengan segala ketulusannya.
Tetapi kehidupan berubah. Masyarakat bergerak lebih cepat. Pola hubungan menemukan bentuk baru. Karena pola yang lama kerap tidak kompatibel lagi dengan keadaan, tujuan resepsi pernikahan pun bergeser sedikit demi sedikit. Pengantin berdiri di panggung yang berjarak dengan tamu undangan. Jika pengantin masih merindukan kehangatan yang personal, after party solusinya. Di situlah perayaan yang sesungguhnya biasanya dilakukan, bersama lingkar terdekat kedua mempelai.
“Kalau dipikir-pikir, kenapa harus bikin pesta-pesta juga, ya? Kalau repot dan mahal kan nggak harus,” komentar saya ketika mengobrol dengan seorang teman pada suatu hari.
“Ya nggak enaklah kalau nggak ada resepsi sama sekali…”
“Nggak enak sama siapa dan kenapa?”
Kita kembali
kepada pernikahan virtual Uda Pinto dan Uni Welli. Karena yang hadir secara
fisik tidak banyak, pernikahan terasa syahdu. Kamera jarak
dekat membuat saya dapat melihat setiap ekspresi dengan detail. Hening membuat
ijab kabul dan doa yang dilantunkan terasa khusyuk. Sambil merekam ijab kabul
Uda Pinto dengan gawai, saya pun berdoa di dalam hati. Saya dan penghulu berdoa
dengan iman yang berbeda. Tetapi saya merasa doa kami bertemu di satu frekuensi. Saya percaya setiap doa
yang tulus pada akhirnya akan bermuara kepada Tuhan yang sama: cinta,
harapan, dan kebaikan-kebaikan yang mengikutinya.
Setelah Uda Pinto dan Uni Welli sah menjadi suami-istri, saya mengecek chat room. Ternyata isinya adalah doa-doa hadirin yang dipanjatkan dalam teks yang sunyi. Saya tersenyum; menyadari bahwa doa bergerak melampaui segala zaman. Jauh sebelum kita memasuki era siber, doa sudah hadir sebagai sesuatu yang virtual.