Kesebelasan Kupu (bagian 1): Sebuah Prolog



Sebelum cerita tentang setiap personel Kesebelasan Kupu, kayaknya Dea harus cerita jauh ke belakang. Kesebelasan Kupu sampai di rumah kami dianter serangkai peristiwa dan sebuah prolog dari kebun kecil kami.

Kira-kira setaun yang lalu, ada kalong yang rutin dateng ke ruang makan kami. Tiap malem dia gelantungan di lampu dan eek di meja makan. Kehadiran si kalong jelas mengganggu, tapi kami nggak mau nyakitin si kalong.



Ikan Paus punya ide. Dia masang jaring-jaring di antara ruang makan dan kebun.  Karena kalong “ngeliat dengan telinga”, kalau “denger” ada penghalang, dia nggak akan masuk lagi ke ruang makan kami. Karena kami nggak bisa ngobrolin aturan sama si kalong, itulah cara kami ngasih tau bates teritori kami.

Beberapa bulan kemudian, entah dari mana, tumbuh taneman rambat di jaring teritori kami. Karena menurut kami nggak mengganggu, taneman itu kami biarin tumbuh liar di situ. Nggak lama kemudian taneman itu dipenuhin ulet kupu-kupu. Lucu juga. Di masa-masa itu, Ikan Paus dan Dea selalu makan di ruang makan bareng ulet kupu-kupu. Kami makan masakan rumah, mereka makan daun taneman rambat. 



Pada suatu hari, tepat di Hari Bumi, Dea nemu sayap kupu-kupu bagus banget. Dea nggak pernah liat kupu-kupunya terbang di sekitar kebun kami, tapi keindahannya seperti pesen kecil dari bumi buat rumah kami. Entah kenapa Dea percaya sayap kupu-kupu itu seperti prolog sebuah cerita. Dan ternyata bener.

Waktu sayap Si Kupu mau Dea foto, ujungnya yang rapuh sobek sedikit.

“Semua yang organik dan udah mati emang harus jadi lebih rapuh,” kata Ikan Paus.
“Kenapa?” Tanya Dea.
“Supaya lebih gampang bersatu lagi sama bumi…”

Hari itu soka di kebun kami juga ngebungkuk, ngedeket ke bumi.
Bunga-bunganya yang jadi deket dengan tanah gugur satu persatu.


Komentar